Katalis

Aisyah A
Chapter #22

Memories

- Andrew POV -

Aku menghela napasku pelan saat sosok Nana, ah maksudku, Marina menghilang di balik pintu rumahnya. Bohong jika aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja selama ini, setelah kehilangan sosok yang teramat penting dalam hidupku. Bohong jika aku bilang tidak terusik saat telah ada sosok laki-laki lain yang menggantikan posisi yang dulu menjadi milikku. Tapi, Marina berhak mendapatkan kebahagiaan setelah segala hal menyakitkan yang dia dapatkan karena kehadiranku dalam hidupnya.

Aku kembali melajukan mobilku, membelah jalanan ibukota yang sudah lama tak kulewati.

Tiga tahun. Dan, semuanya telah banyak yang berubah. Bagaimana denganku? Banyak orang yang bilang jika aku berubah, entah sejak kapan. Mungkin benar, bahkan aku bisa melihat raut wajah kehilangan yang terpancar dari ekspresi Nana. Tuh kan, Nana lagi! Aku harus terbiasa memanggilnya dengan sebutan Marina mulai sekarang.

Ponselku berdering, menampilkan nama kak Andreas di sana. Aku mengaktifkan earphone untuk mengangkat panggilan tersebut.

“Lo pikir cara lo bersikap kayak tadi itu bener, Ndrew?" bentak kak Andreas dari seberang sana tanpa ba-bi-bu, membuat telingaku berdenging.

“Menurut lo, dengan lo bersikap childish, memamerkan hubungan lo di hadapan Ina, Ina bakalan simpati gitu ke lo?”

Aku menghela napasku pelan. Mungkin benar kata kak Andreas. Yang aku lakukan tadi sudah keterlaluan, Marina bahkan sampai menangis. Biasanya aku tidak pernah melakukan Public Display Affection.

“Nggak gitu, kak.”

“Terus?”

“Gue cuma...."

“Cuma apa? Cuma mau buktiin kalo lo udah bisa cari yang lain? Hah? Childish banget yang lo lakuin, Dek!” Aku mendengar kak Andreas menggeram. “Lo pasti tahu walaupun nggak usah dibilangin. Ina.... Dia itu masih sayang sama lo. Bahkan, semua orang di meja tadi bisa tahu. Atau, lo emang pura-pura nggak tahu aja?” Aku diam, tak berniat menyahuti ucapan kak Andreas.

“Intinya, kalo lo nggak bisa ngebahagiain dia, cukup nggak usah nyakitin, dia, Ndrew. Harusnya lo paham itu. Bukannya lo bilang mau lupain dia? Tapi dengan lo bertingkah kayak gini, kesannya malah bertolak belakang.”

“Sebenarnya perasaan lo gimana, sih? Lo masih cinta sama dia? Kenapa lo nggak memperjuangkan, dan malah nerima Iris masuk ke dalam hidup lo?”

Iris. Aku semakin merasa bersalah pada gadis itu. Meskipun aku mengatakan jika aku masih merindukan Marina pun, pasti gadis itu akan memaafkanku. Ah, bukan, kalau pun aku selingkuh dengan Marina, yang ada dia yang minta maaf, bukan aku.

“Lo mikir nggak sih kalo lo yang ada di posisi Iris?" tanya kak Andreas.

“Kak.... Please!”

“Putusin hubungan lo dengan Iris, jangan membuat dia digantung kayak gini. Menggantung perasaan orang walaupun sebaik apa pun dia bakalan maafin lo. Lo pikir Iris akan terus diam kayak gitu? Ndrew, please.... Lo harus terima semuanya. Ina udah bukan lagi buat lo, dia udah nemuin seseorang yang pastinya lebih baik dari lo.” Rahangku mengeras seketika, namun aku mencoba untuk tenang.

“Gue matiin, udah nyampe.” Aku mematikan sambungan telepon secara sepihak, dan memarkirkan mobilku di garasi.

Kakiku melangkah menuju rumah yang sudah lumayan sepi. Dan, saat membuka pintu kamarku, aku menemukan sosok Iris di sana, sedang duduk di meja belajarku sembari menangis. Aku berjalan cepat ke arahnya dan menangkup wajahnya agar menatapku.

Lihat selengkapnya