- Marina POV -
“Hai! Marina, kan?” tanya seorang laki-laki bermata sipit yang sudah berdiri tepat di depan gerbang gedung fakultasku.
“Sorry, gue nggak kenal lo," jawabku acuh tak acuh, kak Ryan menggandengku keluar, namun laki-laki itu kembali mencegah langkahku.
“Kalo nomor whatsapp punya dong, jaman sekarang kalo nggak punya sih cupu banget.”
“Gue minta lo minggir," cowok di hadapanku itu mematung sejenak, namun kemudian menebar senyumnya kembali.
“Lo bakalan nyesel kalo sampe lo anggurin cowok ganteng kayak gue," ujarnya selangit, kemudian matanya memerhatikan kak Ryan dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
“Tipe cowok lo nggak jauh beda kayak Andrew, flower boy yang manis," ujarnya mengesalkan, kak Ryan mengempaskan cengkeraman tangan cowok tidak dikenal itu dari lenganku.
Aku menghela napasku menatap sosok di hadapanku ini dengan kesal. “Siapa pun lo. Gue nggak peduli!”
“Gue Yuta, sepupu Andrew," ujarnya yang membuatku memutar bola mataku kesal. Pantas saja, mungkin kepedean itu diturunkan berdasarkan gen kali, ya?
“Gue juga nggak nanya tuh. Nggak pengen tahu sih lebih tepatnya. Mendingan sekarang lo pergi dari hadapan gue, karena gue mau jalan. Jangan halangi jalan gue, please," ujarku penuh penekanan.
Aku merasa dia kembali tertegun untuk beberapa saat, dan beberapa saat kemudian laki-laki itu justru terkekeh. Aneh. “Jadi tipe yang disukai Andrew tuh, tipe yang tsundere kayak gini, ya?” Dia tersenyum kemudian selangkah lebih dekat denganku. “Well, kalo lo mau buat Andrew cemburu, nggak bisa kalo sama cowok modelan dia, mending sama gue aja. Lo belum pernah nyoba yang kayak gue, kan?” Dia menaik-naikkan alisnya ke atas. “Gimana, mau kan lo jadi cewek gue?”
Kak Ryan menarikku untuk berada di belakangnya. “Sorry, kayaknya bahasa Indonesia lo nggak bagus makanya pas cewek gue ngomong, lo nggak paham kan apa yang dia omongin?” ujar kak Ryan sinis.
“Udah kak, yuk pergi aja," seruku sembari menarik lengan kak Ryan. Tidak lucu kalau di tempat umum seperti ini mereka ribut sampai berkelahi. Dan jujur, aku tidak nyaman, karena beberapa orang saat ini sedang menjadikan kami bertiga sebagai pusat perhatian.
Kak Ryan mendengus, kemudian mengusap kepalaku lembut. “Yaudah, ayok."
“Besok gue dateng lagi! Oy! Marina!” seru siapa tadi namanya? Aku bahkan lupa namanya.
“Hmm, kak, anterin aku ke Cafe Caramel aja. Mau ketemu temen.” Ck, teman dari mana? Salaman saja tidak pernah. Lagi pula ada perlu apa dia minta untuk bertemu? Mau pamer seperti yang kemarin mereka lakukan? Atau, bagaimana?
Shit! Sejak kapan seorang Ina jadi suka negative thinking sama orang lain?
“Yaudah, nanti kalo udah selesai langsung telfon aku, ya? Aku mau urus kepanitiaan OSPEK bentar, kasihan mereka keteter.”
Aku mengangguk, beberapa saat kemudian mobil kak Ryan berhenti di depan sebuah kafe bernuansa etnik itu.
“Aku masuk ya, kak." Kak Ryan mengusap pipiku lembut.
“Iya. Aku juga langsung pergi, ya?"
“Kakak hati-hati, ya?" Aku keluar dari mobil, sementara kak Ryan melambaikan tangannya sebelum keluar dari parkiran.
Aku menghela napasku menatap pintu transparan kafe, kemudian menatap jam yang melingkar di tangan kananku yang menunjukkan setengah dua belas lewat. Aku mengundur pertemuan kami karena ada jadwal kuliah. Dan, aku berharap setelah pertemuan ini takkan membuat semuanya menjadi semakin rumit. Akhirnya aku melangkahkan kakiku memasuki kafe, membuat suara lonceng berbunyi.