Katalis

Aisyah A
Chapter #24

Thank You

- Andrew POV -

Aku menatap jendela kamarku, langit sudah berganti malam. Suasana kamarku juga hening, membuatku menghela napasku panjang.

Ada sesak yang tak bisa diungkapkan dalam diriku setiap harinya.

Me: Jangan lupa buat latihan besok.

Entah, tanpa beban aku mengirimi pesan itu pada Marina.

Nana: Latihan apa?

Sudah aku duga. Dia adalah orang yang paling anti baca notifikasi grup. Aku masuk ke chat room grup SMA dan mengcopy-paste salah satu pengumuman ke chat room aku dan Marina yang hanya ada dua percakapan.

Me: Udah baca?

Nana: Gue keberatan. Gue bisa diganti sama orang lain aja nggak?

Sudah aku duga. Efek pertemuan kemarin pasti memengaruhi pemikiran Marina. Aku tahu, yang Iris lakukan memang keterlaluan. Tapi, bukankah wajar jika dia merasa terganggu setelah melihat foto-foto masa lalu kami? Dan, apakah Iris akan baik-baik saja setelah tahu kami akan melakukan kolaborasi untuk reuni nanti?

Me: Gue tahu alasan lo. Iris nggak masalah kok. Haikal juga bilang nggak boleh protes.

Lama tak kunjung ada jawaban dari Marina.

Nana: Siapa juga yang mikirin pacar lo, pacar gue yang masalah.

Aku tersenyum membaca balasan singkat itu. Well, ada suatu hal yang membuatku ingin Marina segera putus dari pacarnya.

Me: Pacar lo posesif sama insecure berarti.

Nana: Kayaknya kata itu lebih cocok disematkan pada pacar anda, bapak Andrew.

Me: Emangnya salah ya, berteman dengan mantan?

Aku memang plin-plan banget. Baru saja beberapa hari yang lalu aku menolak berdekatan dengan Marina. Tapi, aku hanya bersikap profesional, bukankah ini tanggung jawab kita bersama, ya?

Nana: Bullshit. Itu mitos, Ndrew.

Seketika aku terkekeh. Benar, karena bagiku juga tidak mungkin.

Me: Gue nggak nerima alasan apa pun, karena Haikal pasti akan marah sama gue. Pokoknya besok gue jemput. Kapan lo kosong?

Nana: Gue sibuk.

Me: Oke, gue jemput di kampus.

Setelah mengirimkan balasan itu, aku langsung mematikan ponselku. Namun, aku teringat sesuatu.

Me: Jangan mau dideketin sama cowok Jepang nyasar yang namanya Yuta. Lo harus jauh-jauh dari dia.

“Andrew?” Suara Iris masuk ke dalam telingaku.

“Loh? Kapan kamu masuk, Ris? Kok aku nggak denger pintu dibuka?”

“Udah aku ketok, kamu nggak nyahut. Aku buka pintu, ternyata kamu sibuk sama HP kamu. Chat siapa, sih?”

Aku tersenyum. “Haikal," ujarku. Aku kembali berbohong. Sejak kapan aku jadi sering berbohong seperti ini?

Iris memicingkan matanya curiga. “Bohong," serunya.

“Beneran, Ris," kilahku.

“Aku ke sini untuk manggil kamu karena ada Haikal di bawah. Kamu chat sama siapa? Coba sini aku lihat!”

“Ris....” Dia merebut ponselku dan menatap nama yang terpampang di sana.

“Nana? Who is that?”

Aku baru teringat, bahwa aku tak pernah mengganti nama kontaknya di ponselku. Aku merebut ponselku kembali. “Nggak penting, Ris. Yuk, ke bawah aja. Kasihan Haikal nunggu lama.” Aku menggandeng Iris keluar kamar.

“Kenapa, Kal?” seruku saat melihat Haikal dan kak Andreas sudah duduk bersama di ruang tamu.

“Nongkrong, yuk. Udah lama kita bertiga nggak main bareng," ajak Haikal. Aku duduk di salah satu sofa, dan Iris di sampingku.

“Boleh aja. Di mana?”

“Six Scene, yang kemarin jadi tempat rapat pertama kita.” Aku terdiam tidak langsung mengiyakan, mengingat Marina juga pasti di sana.

“Ayo! Aku boleh ikut, kan? Ada Rachel juga di kamarku, sekalian aja ikut," ujar Iris.

Aku menghela napasku.

“Boleh, ikut aja, kan jadi seru kalo banyak orang," ujar Haikal. Dan akhirnya, mau tidak mau aku harus mengiyakan ajakan tersebut.

Beberapa menit kemudian, mobilku sudah tiba di sebuah kafe yang Haikal pilih untuk menjadi tempat berkumpul kami saat ini. Aku dan Iris berjalan ke arah pintu kafe, dengan tangan Iris yang melingkar di lenganku.

Tepat saat lonceng kafe berbunyi, mataku dan mata Marina yang sedang duduk di kursi panggung bertemu. Kami sama-sama tertegun sesaat. Namun, dengan cepat dia mengalihkan pandangannya ke arah seorang laki-laki yang sedang memetik gitar di sampingnya.

“Sini, Bro," ajak Haikal padaku dan Iris.

Dan, sialnya lagi, lagu yang sedang dibawakan oleh Marina adalah lagu dengan judul ‘Mantan Terindah’.

Mau dikatakan apa lagi

Kita tak akan pernah satu

Engkau di sana aku di sini

Meski hatiku memilihmu

Engkau di sana aku di sini

Meski hatiku memilihmu

Yang t’lah kau buat sungguhlah indah

Buat diriku susah lupa

Kami langsung memesan makanan, dan aku memesan sebotol air mineral.

Semua para pengunjung kafe memandang ke arah Marina, termasuk aku, dan air mata Marina terjatuh tepat setelah bait terakhir lagu itu berhasil dia nyanyikan. Dengan gerakan cepat dia langsung bersiap menyanyikan lagu selanjutnya.

I biga

Meori wiro ssoodajimyeon

Heumppeok jeojgo malgessjyo

Nae maeumdo

Meomulleojwoyo

Ajikkajin geudae eopsi na honja

I bireul majgien

“Kamu tahu arti lagu ini?” tanya Iris padaku.

“Nggak ngerti," jawabku.

Iris tersenyum. “Ini lagu salah satu girlband Korea, namanya IOI, judulnya downpour.” Dia menopangkan wajahnya di kedua tangannya. “Ceritanya tentang seorang yang belum bisa merelakan kepergian seseoraang yang dicintainya. Tentang kenangan manis yang mereka lalui di bawah hujan.” Dia menyesap hot chocolate di hadapannya. “Kapan-kapan kamu dengerin deh, abis itu nyanyiin buat aku," pintanya, yang aku jawab dengan sebuah anggukan kecil.

Ije geuman

Da geuchilkka

I bismuldo

Nae nunmuldo

Bie jeojeo chuwie

Tteolgo sipjin anhayo

Jeongmal eonjengan

Neomu chadichassdeon bismuri

TTatteushan nunmuri doeeo

Heulleonaerigeessjyo

Gwaenchanhayo

Geumbang jinagal sonagijyo

Aku tak tahu arti tepatnya, tapi entah kenapa aku seperti tersihir dengan nada menyedihkan yang Marina nyanyikan.

“Marina cantik ya, pandangan kamu sampai kayak gitu," tukas Iris yang membuatku langsung mengalihkan pandanganku padanya.

“Jangan mikir aneh-aneh," ujarku sembari mengelus lembut rambutnya.

Aku tak ingin memperkeruh keadaan, cukup kemarin dia menangis. Ya, aku mengalah untuknya. Gadis itu memang tak menyalahkanku, tapi dia tahu bagaimana membuatku merasa bersalah.

“Kalo aku minta Marina nyanyi di acara pertunangan kita, menurut kami gimana?”

Kak Andreas dan Rachel yang mendengar ucapan Iris langsung menoleh. Aku pun langsung mengerutkan dahiku, bertanya-tanya apa yang sedang ada di pikirannya sekarang.

“Bagus juga, lagi pula Andrew sama Marina kan udah masing-masing, kayaknya nggak masalah deh," ujar Rachel.

“Ris?”

Iris terkekeh. “Bercanda. Aku nggak sejahat itu dengan menempatkan masa lalumu di antara kita. Aku hanya ingin mengundangnya agar kita sama-sama sadar kalo di antara kamu sama dia udah nggak ada apa-apa lagi. Dan, itu kenyataannya. Terkadang, beberapa orang harus ditampar dulu biar sadar akan kenyataan.”

Aku tak berniat menyahuti ucapan Iris. Sementara pandanganku kembali teralihkan pada sosok tinggi yang sudah menyambut Marina yang berjalan ke arahnya. Dia mengusap rambut Marina pelan, seolah apa pun yang dimilikinya tercurahkan sepenuhnya untuk Marina.

“Kak Ryan! Gabung sini, kak," seru Haikal yang membuatku mengumpat dalam hati.

Laki-laki itu menggandeng Marina untuk duduk satu meja dengan kami. Marina duduk di sampingku karena memang tinggal dua meja sampingku yang kosong.

“Kamu pesen apa?”

Marina membuka buku menu. “Aku lagi pengen yang kuah. Ini menu baru, kak. Ada baksonya," ujar Marina antusias.

“Yaudah, kamu yang ini, aku pesenin dulu.” Marina mengangguk.

“Andrew, kok cheese-nya nggak meleleh sih?” tanya Iris yang sedang memandang burger di hadapannya.

“Mungkin nggak terlalu panas tadi. Makan aja," ujarku yang dibalas anggukan kecil olehnya.

Sementara pesanan Marina datang, dia mulai mencoba memotong baksonya namun kesusahan. Aku menarik mangkuk baksonya ke hadapanku dan mulai memotong-motongnya menjadi bagian kecil. Kemudian mengembalikannya ke hadapan Marina.

Tak lama, Marina mengangkat tangannya dan meminta satu gelas yang pelayan berikan untukku. Dia masih ingat, aku lebih suka minum dengan gelas, di bandingkan dengan botol. Inilah cara dia mengucapkan terima kasih.

***

- Marina POV -

Terik matahari yang menyinari kota Jakarta tak mampu menghalangiku. Aku tersenyum lebar di bawah jembatan bersama anak-anak jalanan asuhanku yang bekerja sama dengan UKM Bina Desa kampus. Bernyanyi dengan diiringi petikan gitar hadiah kelulusanku dari kak Mario.

Di langit bulan benderang

Cahayanya sampai ke bintang

Ambilkan bulan, Bu

Untuk menerangi

Tidurku yang lelap

Di malam gelap

“Yeiyy!” Kami bertepuk tangan bersama.

Anak-anak yang biasa menjadi pengemis, pengamen, hingga pemulung sangat menikmati sesi bernyanyi seperti ini. Aku melirik jam tangan di tangan kiriku. Tugasku mengajar dan menghibur mereka hari ini sudah selesai. Waktunya kembali ke kampus untuk melaksanakan kewajibanku.

“Oke, adek-adek, belajar yang rajin, ya? Minggu depan ketemu kak Ina belajar bahasa inggris, biar bisa ngomong sama bule.” Beberapa dari mereka memasang tampang sedih, tapi aku tak punya pilihan lain. Karena sebelumnya aku sudah membolos mata kuliah Estetika. Jika sampai aku bolos lagi, nilaiku akan berubah menjadi B. Ah, Pak Handri agak susah.

“Adek-adek, nanti sore jam empat kumpul di sini lagi, ya? Kakak ada rejeki buat kita makan es krim bareng-bareng. Mau, kan?”

“Mau kak Ina!" jawab mereka kembali semangat.

“Jadi sekarang kakak kuliah dulu, ya? Kak Ina pamit. Assalamu’alaikum.”

“Walaikum’salam, kak Ina.”

Aku berjalan ke pinggir jalan raya sembari membuka aplikasi ojek online di ponselku, kemudian meletakkan gitar di atas tanah karena terlalu berat. Hingga tiba-tiba, sebuah motor Ninja berhenti tepat di depanku.

“Naik."

Aku memandang sosok di balik helm fullface yang bisa langsung kukenali meski hanya bagian matanya saja yang terlihat.

“Ngapain lo di sini?”

“Kan gue bilang bakalan tunggu lo di kampus, lo nggak ada, dan akhirnya gue dapet info lo di sini.”

Aku menghela napasku. “Sorry, gue ada kelas," tolakku.

“Naik sekarang kalo lo nggak mau ketinggalan kelas Estetika yang bentar lagi mau mulai." Dia mengecek jam tangannya. “Dua puluh menit lagi. Dan tadi di jalan macet banget tuh.”

“Nih." Dia menyodorkan helm padaku. Akhirnya aku menerima helm itu. “Makasih, Ndrew."

“Dipake bukan dipeluk. Nggak perlu aku pakein, kan? Kan udah mantan.”

Aku memutar bola mataku dan memakai helm kemudian menaiki motornya. Aku memandang punggung Andrew yang dulu selalu menjadi pemandangan setiap pagi dan soreku. Aku tersenyum sejenak.

Lihat selengkapnya