- Andrew POV -
Aku sungguh tidak mengerti, di saat kita mencoba untuk melepaskan satu sama lain. Namun kenyataannya, kita justru semakin terikat satu sama lain. Sebenarnya kenapa? Apakah memang semesta selalu gemar mempermainkan kita berdua yang jelas berbeda ini?
Suasana di mobil begitu hening, kami sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Sibuk banget, chat siapa?” tanyaku pada akhirnya.
“Tiara, mau gue ajakin nugas bareng, tapi akhir-akhir ini dia selalu nolak ajakan gue, entah karena apa," ujarnya lesu. Aku berusaha untuk tidak menyahuti ucapan Marina saat ini, karena itu bukan lagi urusanku untuk menjawab.
Suasana kembali hening. “Kenapa latihannya nggak di rumah gue aja sih, Ndrew?” tanya Marina memecah keheningan.
“Mami kangen sama lo, katanya," jawabku jujur, bahkan mata mami yang berbinar saat aku menyebut nama Marina masih terngiang di otakku. Ya, sesuka itu mami pada gadis di sampingku ini.
“Gue juga kangen sama tante Miranda," jawabnya. Aku menatapnya sekilas, dia tersenyum memandangi jalanan.
“Kenapa nggak pernah mampir ke rumah?” tanyaku.
“Gue pengen lupain lo," jawabnya singkat yang membuatku tersenyum seketika, senyum yang entah untuk apa. “Klise banget, ya? Tapi, itu kenyataannya," lanjutnya sembari mengembuskan napasnya pelan.
Untuk sesaat, semuanya terasa berputar di otakku. Tidak ada yang baik dari sebuah perpisahan. Ada perih yang tetap dirasakan. Atau, memang benar kata kebanyakan orang, hanya orang yang telah menciptakan lukalah yang mampu menyembuhkannya.
“Pacar lo sopan banget, ya?”
Dia terkekeh. “Well, dia tetep laki-laki dewasa kok, Ndrew. Masih ada sisi nakal yang sampai saat ini belum bisa aku terima. But, he is still a good boy.”
“Kalo dia ternyata nggak seperti yang lo pikirkan, apa yang bakalan lo lakuin, Na?” tanyaku penasaran.
“Maksudnya gimana?”
Aku terdiam sejenak, mencoba memikirkan kata-kata yang sesuai. “Hmm, like.... Dia nggak kayak apa yang lo pikirkan, kayak mungkin dia punya pacar lain selain lo. Who knows?”
“Gue kenal dia udah tiga tahun, Ndrew. Dia nggak mungkin kayak gitu."
Aku tersenyum tipis. “I hope."
“Gimana hubungan lo sama Iris?” tanyanya.
“Ya, nggak gimana-gimana, kayak orang pacaran pada umumnya," jawabku.
“Lo ngomong ke Iris kan kalo ngajak gue ke rumah?” tanyanya memastikan.
“Gue lagi berantem sama Iris, kalo bilang, malah jadi lebih ribet.”
Aku mendengar helaan napas Marina. “Lo tahu nggak sih, Ndrew, yang lo lakuin sekarang itu justru malah memperkeruh suasana?" ujarnya. “Kalo gue tahu lo lagi marahan sama Iris, gue bakalan nolak ajakan lo buat latihan. Harusnya lo tuh selesaikan dulu masalah lo sama Iris, gue ngerasa nggak enak sama dia. Lo pasti sadar kalo dia nggak terlalu suka sama gue.”
“Dia butuh waktu, Na. Dia lagi pergi sama Rachel.” Aku menoleh sekilas ke arah Marina yang sedang menatapku tajam, bukannya takut, itu malah terlihat menggemaskan untukku. “Kalo dia mau menjalani hubungan sama gue, dia harus bisa nerima masa lalu gue yang selalu ada lo di dalamnya.”
“Nggak semua orang berpikiran sama kayak lo, Ndrew. Terkadang, ada beberapa hal yang harus kita simpan seorang diri tanpa orang lain tahu. Gue malah nyesel karena kak Ryan tahu semuanya tentang lo dan gue.”
“Why?”
“Mungkin kalo dia tahunya lo cuma mantan gue aja, itu nggak akan bikin dia merasa insecure kayak sekarang. Gue tahu, dia hanya nutupin perasaannya dengan mengatakan dia nggak apa-apa, atau dengan senyuman. Tapi, dalam hatinya pasti nggak nyaman kalo gue deket sama lo.”
“Kalo dia merasa insecure gitu, artinya dia nggak yakin sama perasaan lo ke dia?”
“Pastinya Apa yang bisa dia harapkan dari gue? Makanya gue berusaha untuk meyakinkan dia sama perasaan gue.” Matanya terlihat menerawang, entah apa yang sedang dirasakan dan pikirkan sekarang.
“Lo nggak perlu meyakinkan dia," ujarku.
“Kenapa?”
“Harusnya dia yakin dengan perasaan lo tanpa harus lo yakinkan dia."
“Mungkin benar, tapi gue nggak mau lagi kehilangan seseorang hanya karena gue diam aja nerima keadaan, harusnya kita emang saling memperjuangkan. Gue nggak mau hal kayak gitu kejadian lagi, hanya karena gue nggak bisa jelasin yang gue rasain dulu ke lo.”
Kalimat Marina itu membuatku terdiam sejenak. Aku berusaha mengerti apa yang dimaksud Marina berulang-ulang, sampai akhirnya aku mengerti. Aku pun sama, aku tidak ingin melakukan hal yang sama pada Iris. Menyerah. Itu bukan hal yang ingin aku lakukan pada hubunganku yang baru ini.
“Na? I want to say sorry!"
Marina tersenyum kecil. “Minta maaf untuk apa, Ndrew?” tanyanya.
“Terlalu banyak, ya?” tanyaku sembari tersenyum getir.
“Nggak. Gue bahkan nggak tahu lo minta maaf karena apa. Bukannya dulu saling melepaskan, ya? So, itu artinya nggak ada yang salah di sini."
“Gue cuma nggak ngerti, gue sama Iris pacaran setelah kita putus, tapi temen-temen seolah memperlakukannya sebagai orang yang membuat hubungan kita retak.”
Marina terkekeh. “Udah nggak ada kata kita antara gue sama lo, Ndrew. Honestly, menurut gue itu hal wajar yang dilakukan mereka. Gue nggak bisa ngontrol pikiran mereka, terserah mereka mau nanggepinnya gimana, mau punya pikiran kayak apa. Yang jelas gue nggak pernah meminta buat dikasihani. Well, kalo lo nggak nyaman sama semua itu, lo bisa ngomong langsung ke mereka."
Aku terdiam mendengar kalimat panjang yang keluar dari mulut Marina. Maksudku bukan seperti itu, sungguh. Aku hanya ingin memperpanjang obrolan kami, namun yang terjadi justru semakin memperkeruh suasana. Entah kenapa rasanya menyebalkan ketika aku mulai menyadari jika Marina semakin berjalan mundur menjauhiku.
“Sorry, gue salah ngomong lagi.”
“Lo nggak perlu ngomong maaf lagi, Ndrew, lagi pula mungkin gue juga yang terlalu overact sama pertanyaan lo barusan, gue cuma nggak suka kalo lo nyalahin temen-temen atas apa yang terjadi dalam hidup lo dan Iris."
“Iris nggak ada hubungannya sama kita, Na."
“Nggak ada lagi kita, Ndrew."
“Gue kangen...."
Ucapan itu lantas membuat Marina langsung menoleh ke arahku. Aku menepikan mobilku di depan halaman rumah dan dengan cepat membalas tatapannya.
“Gue nggak," balasnya.
“Seriously?” Aku memejamkan mataku sejenak. Benar, mungkin aku sudah gila karena mengatakan hal itu setelah sekian lama.
Entah apa sebenarnya yang ingin aku sampaikan pada Marina. Semalam aku berpikir, tentang apa yang aku lakukan, mengapa rasanya tetap saja kosong di saat kebahagiaan selalu datang silih berganti.
“Gue yang mau lo move on dan dapetin imam yang bisa bimbing lo, pergi dari gue, gue nggak mau lo terus tersiksa sama hubungan kita yang nggak jelas arahnya waktu itu. Tapi gue sadar, apa bener itu yang lo mau, Na?”
“Sebenernya dari segala pembicaraan ini, intinya apa?” tanyanya kesal.
“Kenapa lo harus sama laki-laki itu bahkan sebelum setahun kita putus?” tanyaku yang membuat mata Marina membulat seketika. Aku mendekat ke arahnya. Semakin dekat. Dan, sejujurnya, debaran jantungku kini berpacu dengan begitu cepat. Aku semakin dekat dengannya, bahkan aku bisa mencium wangi apel dari rambut Marina. Dengan gerakan cepat aku membuka seatbelt yang dia kenakan dan menarik diriku menjauh darinya, membuat Marina memeriksa sekitarnya.
“Kalo lo udah nggak ada perasaan apa-apa sama gue, lo nggak akan se-nervous ini deketan sama gue. Atau, mungkin lo bakalan nolak gue kayak yang dilakuin lo ke pacar lo tadi pagi.” Aku membuka seatbelt-ku dan keluar dari mobil meninggalkan Marina yang masih mematung di dalam mobil.
***
- Marina POV -
“Marina! Tante kangen banget sama kamu," ujar tante Miranda yang membuatku mengeratkan pelukan pada wanita cantik itu.
“Ina juga kangen sama tante," ujarku.
Tante Miranda melepaskan pelukannya dan mencubit pipiku gemas. “Kamu tambah cantik aja sih. Kapan-kapan main ke sini, biar Airyn mau nemenin tante bikin kue, kalo bareng kamu kan dia semangat banget," ujar tante Miranda yang aku jawab dengan ringisan kecil.
“Yaudah, kamu langsung ke kamar Andrew aja, nanti tante nyuruh Mirna siapin camilan dan minuman buat kalian.” Aku mengangguk pelan. “Makasih, tante." Tante Miranda mengusap kepalaku pelan. “Sama-sama, sayang.”
Aku menaiki tangga, mencari kamar Andrew. Ya, ini bukan pertama kalinya aku masuk ke dalam kamarnya. Seharusnya aku tidak perlu gugup seperti ini.
Aku membuka pintu yang tak tertutup rapat dan menyembulkan kepalaku di balik pintu, mataku menangkap sosok Andrew yang justru sibuk dengan stik PlayStation di genggamannya. Aku berjalan pelan ke arahnya, masih dengan perasaan canggung, namun aku berusaha untuk mengenyahkan perasaan itu segera.
“Katanya mau latihan," celetukku sembari menyilangkan tangan di depan dada. “Nanti aku pulangnya kesorean, Ndrew."
“Bentar doang, Na, duduk aja dulu. Lihat-lihat kek, gue main bentar, suntuk banget," ujarnya.
Aku duduk di meja belajarnya. “Lo itu sebenernya udah lulus belum sih, Ndrew?” tanyaku menatap sekitar. Tak banyak yang berubah dari suasana kamar Andrew. Masih dipenuhi dengan warna abu-abu kesukaannya.
“Gue udah tinggal nu...."
“Permisi, ice chocolate dan greentea-nya saya taruh di sini, ya?" ujar salah satu pelayan rumah Andrew yang kuketahui bernama Mbak Mirna.
“Terima kasih, Mbak," ujarku yang dijawab dengan senyuman olehnya.
“Tinggal apaan tadi?”
“Nggak jadi," jawab Andrew ketus.
Dasar aneh! Lihat saja apa yang dilakukannya tadi di dalam mobil, ngapain juga dia membukakan seatbelt-ku, memangnya aku anak kecil? Padahal saat berangkat dia bilang pakai sendiri, karena sudah jadi mantan.
“Lo kapan tunangannya?” tanyaku setelah melihat foto Iris di sebuah pigura kecil di atas meja belajar, yang dulu di sini dipenuhi dengan foto kami berdua. Lantas, apa yang aku harapkan? Untuk apa juga dia menyimpan fotoku, kan?
“Tiga bulan lagi," jawabnya. Matanya masih fokus menatap layar tanpa menoleh sedikit pun.
Aku tersenyum. “Gue nggak nyangka, akhirnya kita beranjak dewasa dan akhirnya berkomitmen dengan seseorang yang akan menjadi masa depan kita. Gue inget banget baru kemarin lo ngasih gue minum pas gue kehabisan napas karena hukuman dari Pak Budiman.”
Aku kembali mengenang pertemuan pertama kami di lapangan bola karena terlambat masuk sekolah. Saat aku hampir pingsan karena kelelahan, Andrew memberiku minum yang dia bawa dan aku menghabiskannya. Ya, sesederhana itu, dia sudah berhasil membuatku memberikan atensi lebih padanya.
“Gue juga nggak nyangka, waktu begitu cepat berlalu," ujarnya. Aku hanya menghela napasku, kemudian ikut duduk di samping Andrew dan mengambil gitar yang tak jauh darinya. Aku kembali mengingat lagu yang akan kami nyanyikan nanti. Jangan kaget, tapi memang lagu yang dipilih Haikal itu sedikit.... Entahlah, menyebalkan menurutku. Tapi, titah Haikal tak terbantahkan, dan itu menambah kadar menyebalkannya, meski terkadang laki-laki itu memperlakukanku dengan sangat baik.
Oh iya, lagu pertama adalah lagu dengan judul Berharap Tak Berpisah oleh Reza Artamevia. See? Aku tidak mengerti maksud dibalik Haikal memilih lagu ini, entah apa yang laki-laki itu rencanakan sebenarnya.
Aku mengambil print out lirik beserta chord gitar dua lagu yang akan kami nyanyikan. Aku memulai intro dengan kunci F, dan mulai kupetik gitar milik Andrew.
Ingatkah kan dirimu
Yang pernah menyakiti aku
Kau kecewakan aku
Tapi kumaafkan salahmu
Entah kenapa lagu ini membuatku tersenyum, membuatku terhanyut dengan setiap harmonisasi dan lirik lagunya sangatlah match, seperti lock and key, atau seni dan keindahan. Dua hal yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain.
Haikal memang tahu lagu yang pas untuk kami berdua.
Kini berganti kisah
Ku menyakiti dirimu
Tapi apa yang terjadi
Kau meninggalkanku
Aku masih sibuk mengamati kertas di hadapanku sembari menikmati lagu tersebut, hal yang sering aku lakukan sendirian di dalam kamar, semenjak ada teman baruku; gitar pemberian kak Mario.
Izinkan aku
Untuk terakhir kalinya
Semalam saja bersamamu
Mengenang asmara kita