- Marina POV -
Setelah berbalas pesan dengan kak Ryan, aku masih betah memainkan ponselku. Kantuk belum juga menghampiriku, akhirnya aku memutuskan untuk membuka instagram dan melihat-lihat beberapa postingan teman-temanku di sana.
Tiara memposting dirinya sedang berjalan-jalan dengan anak BEM dan paduan suara. Dia sekarang lebih sering menghabiskan waktu bersama mereka, bahkan Fardan juga mengeluhkan hal yang sama denganku. Tapi, itu adalah hak Tiara. Sedangkan, Fardan memosting sebuah game di mana dia mendapatkan MVP, hal yang Tiara tidak suka dari moto hidup Fardan: ‘Game dulu, baru kamu'. Itulah yang membuat mereka sering berantem.
Cindy dan Andreas tidak posting apa-apa, mereka memang jarang posting kecuali Cindy, itu pun kalau dapat endorse. Dan, menurutku hubungan merekalah yang paling harmonis dan jauh dari kata berantem. Sama-sama ‘budak cinta’ soalnya.
Kak Ryan hanya memposting gambar langit sore tanpa caption. Aku swipe kembali dan menemukan sesuatu. Akun kak Nabila, dia memosting foto di mana dia bersama banyak orang di sebuah mal, tidak ada caption, hanya tandai sebuah tempat yaitu Kokas, sekitar lima jam yang lalu. Selanjutnya, adalah video call antara dia dan.... Kak Ryan. Dengan menggunakan baju yang sama seperti foto yang kak Ryan kirimkan. Jadi, setelah chattingan sama aku, dia video call sama kak Nabila?
Aku ingin marah, tapi aku sadar kalau terkadang aku lebih parah melakukan hal seperti itu pada kak Ryan. Seperti aku lebih sering posting tentang aku dan teman-temanku, atau terkadang lebih ke Haikal dan Rayhan. Mungkin yang dirasakan kak Ryan juga seperti ini.
Dua hari berlalu. Rencana siang ini aku keluar rumah langsung pesan ojek online, tapi sosok kak Ryan sudah berdiri di depan mobil Honda Jazz merah miliknya, sembari melambaikan tangan ke arahku.
Aku tersenyum dan menghampirinya. “Tumben jemput tanpa diminta? Udah nggak sibuk?” tanyaku karena sudah dua hari ini aku dan kak Ryan belum bertemu meski hanya sekali.
Dia mengusap rambutku. “Lagi rajin. Ya udah. Yuk."
Aku sudah duduk di kursi penumpang samping kak Ryan sembari mendengarkan siaran radio pagi ini yang memutarkan lagu hits barat.
Berhubung aku teringat sesuatu, aku tanyakan langsung sama kak Ryan. “Kak, tiga hari yang lalu pas kakak bilang lagi nugas, kakak telponan sama kak Nabila, ya?” tanyaku.
Dia seperti sedang mengingat sesuatu. “Hmm, kan itu tugas bareng anak BEM, kebetulan Nabila nggak ikut karena kecapean katanya, jadi dia video call. Kamu tahu dari mana?”
“Aku tahu dari snapgram kak Nabila, dia post foto kakak sama dia lagi video call. Kakak nggak bikin snapgram? Atau, aku dihide?” tanyaku mulai curiga.
Kak Ryan terkekeh. “Kamu mikir apa sih, Dek? Sampe sejauh itu.” Bukannya marah atas tuduhanku tadi, dia malah tertawa setelahnya. Aku mengerutkan dahiku karena bukan ini respons yang aku inginkan.
“Dek, aku nggak mikir sampe ke arah sana. Bikin snapgram gitu, masalah Nabila bikin snapgram, itu kan instagram dia, mau dia post apa juga terserah dia. Aku nggak bisa larang, karena aku kan sama dia cuma temen.”
Benar juga. Aneh. Kenapa aku bersikap seperti ini? Hanya saja rasanya aku ingin bilang kalau aku tidak suka, tapi aku cukup tahu diri karena itu.
“Kamu nggak suka Nabila bikin snapgram sama aku? Atau, kamu lagi cari-cari alasan buat bikin masalah sama aku, Dek?”
Aku menggeleng pelan. “Aku lagi nggak cari alasan, cuma ya aku nggak suka aja lihatnya. Emang nggak boleh?”
“Ya, boleh, cuma aku kayak ngerasa aja kamu lagi cari alasan supaya kita berantem. Kalo nggak kayak gitu ya bagus. Kamu nggak terlalu suka aku deket sama Nabila? Yaudah, aku bakalan menjauh dari dia.” Kak Ryan tersenyum sembari mengelus kepalaku, mencoba menenangkanku. Tapi aneh, aku merasa tidak tenang, malah berniat untuk memperpanjang perdebatan di antara kami.
“Abis ini kakak langsung ngampus juga, atau gimana?” tanyaku setelah aku tahu kabar bahwa kak Ryan tinggal menunggu jadwal sidang, sepertinya untuk mahasiswa tingkat akhir akan jarang di kampus setelah melalui masa itu.
“Nggak, kakak ada acara sama perwakilan angkatan kamu, Fardan. Sama siapa, lupa," jawabnya.
“Yah, padahal baru ketemu.” Kak Ryan terkekeh mendengar ucapanku.
“Kamu kangen sama aku?” tanyanya. Aku hanya tersenyum tipis. Entahlah, perasaan ini disebut dengan apa.
“Dua hari kemarin kamu kemana aja, kak? Dichat juga balesnya lama.” Ini aku kenapa, ya? Padahal aku tidak pernah seperti ini sebelumnya.
“Di apartemen, tidur, lagi nggak enak badan soalnya," jawab kak Ryan. Keluarga kak Ryan ada di Bekasi, jadi di Jakarta dia tinggal di apartemen sendirian. Oleh sebab itu, saat dia bilang sedang ada acara keluarga, aku tidak bisa untuk menahannya, soalnya dia jarang banget kumpul sama keluarganya.
Aku menatap kak Ryan yang memandang lurus ke arah jalanan. Sesekali, dia menggaruk tengkuknya, kemudian melirik sekilas ke arahku dan kembali fokus pada jalanan.
“Besok aku ada ngisi acara amal di kampus. Kakak dateng, kan?” tanyaku penuh harap. “Lagi pula, sabtu minggu nanti aku juga ada reuni. Kakak jadi ikut, nggak?” Setidaknya, dengan kehadiran kak Ryan, bisa menjadi bukti kalau yang dibilang Cindy dan Andreas itu tidak benar.
“Hmm, besok aku pasti dateng, kalo sabtu minggu, aku nggak bisa janji, dek," ujarnya.
Aku menghela napasku. “Yaudah, nggak apa-apa kok. Kakak pasti sibuk banget buat persiapan sidang.” Sebenarnya aku sedikit kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Kak Ryan juga punya urusan, waktunya bukan hanya mengurus aku saja. Dan, aku harus mengerti dia.
Tak lama, mobil kak Ryan sudah masuk ke dalam gedung fakultasku. Dia menarik rem tangan kemudian tangannya beralih menggenggam tanganku. “I still miss you," ujarnya.
Aku terkekeh. “Yaudah, kalo kangen besok dateng, ya?" jawabku sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dengan tangan kiriku.
“I’m sorry. I want to hold you, but I have to go now." Dia melepaskan tanganku, kemudian mengusap pipiku lembut.
“It’s okay, besok kan ketemu," jawabku.