Katalis

Aisyah A
Chapter #27

Not Showing

- Marina POV -

Aku menunggu hujan reda. Beberapa titik di Jakarta pasti macet karena banjir, makanya banyak driver online yang membatalkan pesananku. Cafe Caramel sudah mulai sepi karena jam sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh malam.

“Belum pulang juga?” Aku menoleh ke arah samping. Tama, manager Cafe Caramel itu tersenyum ramah dan duduk di sampingku, sebagai pengisi live music membuat aku dan dia saling kenal.

Aku mengangguk pelan. “Nunggu hujannya reda, kak," ujarku, kemudian kembali memandangi hujan di luar yang turun dengan derasnya.

“Hujan gini mah awet, Na, nggak mau gue anterin?” tawarnya.

“Nggak perlu, kak. Lagian kan rumah kak Tama jauh, kalo harus anterin ke rumah Ina nanti puter baliknya lebih jauh lagi. Belum mau tutup, kan?”

“Biasanya kan tutup jam dua belas, kayak anak baru aja," cibirnya. Aku hanya terkekeh.

“Yaudah, kalo sampe jam sebelas belum ada yang anterin, nanti minta antar sama Surya aja," ujarnya. Surya adalah salah satu pramusaji yang dapat shift malam hari ini.

“Oke, kak. Makasih banyak," jawabku, kemudian kak Tama kembali masuk ke dalam ruangannya. Sepertinya dia berniat untuk pulang.

Aku mulai memakai earphone untuk sekadar menemaniku menunggu. Suara merdu Bruno Mars mengalun bersamaan dengan lagu It Will Rain yang selalu mampu mengingatkanku akan sosok Andrew.

Aku membuka percakapanku dengan kak Ryan. Aku mengirimnya beberapa pesan, namun tak kunjung dia baca. Ada banyak pertanyaan di dalam otakku saat ini.

Sedang apa dia sekarang?

Bersama siapa?

Mengapa dia membohongiku?

Semua pertanyaan itu terus saja terngiang di otakku. Ponselku bergetar, menampilkan sebuah notifikasi pesan atas nama Andrew.

Andrew: Udah pulang?

Me: Belum, nunggu hujan reda.

Andrew: Tunggu gue di situ, jangan kemana-mana.

Me: Gue tunggu, Ndrew. (delete)

Inilah yang membuatku semakin sulit untuk mengikhlaskan Andrew. Dia selalu ada saat aku butuh, dia seolah tahu jika aku sedang sendiri dan membutuhkan teman. Aku hanya terus memandangi hujan di luar sana, membiarkan ponselku tergeletak di atas meja sembari mengalunkan lagu selanjutnya. Tanganku mengapit cangkir ketiga hot chocolate yang aku pesan malam ini.

Aku merasakan sebuah jaket tersampir di bahuku, membuatku mendongak dan menatap si pemilik yang sudah berdiri di sampingku.

Aku menatapnya penuh tanya. “Dingin. Pake aja," ujarnya. Aku menatap jaket berwarna moca di bahuku yang menguarkan wangi yang masih sama. Mint.

“Iris?”

“Dia udah istirahat. Lusa kan dia pulang.”

“Oh.” Aku mengangguk paham.

"Ayo, gue anterin. Udah malem, nggak baik anak gadis sendirian malem-malem gini." Aku menatapnya bingung, membuatku ingin bertanya padanya: Kenapa dia masih peduli padaku? Aku ingin mengatakan padanya untuk berhenti memedulikanku, tapi rasanya bibirku terlalu kelu untuk mengucapkannya.

“Ayo.” Dia meraih tanganku dan membawaku keluar dari kafe. Dia membukakan pintu mobilnya untukku, namun aku kembali tertegun saat melihat dua cokelat bar dengan pita berwarna pink tergeletak di atas kursi penumpang.

Andrew sudah duduk di kursi kemudi. “Masuk gih, di luar dingin,” ujarnya.

Lihat selengkapnya