Katalis

Aisyah A
Chapter #28

I Still Love You

- Marina POV -

Aku menatap ponsel dalam genggamanku, membaca pesan terakhir yang kak Ryan kirimkan. Hatiku gelisah semenjak semalam, bahkan mataku tak kunjung tertutup. Karena setiap mataku terpejam, suara Andrew kembali terngiang di otakku dan itu benar-benar membuatku frustrasi. Padahal aku berharap, kak Ryan bisa menenangkanku, namun sampai sekarang pun kak Ryan belum juga muncul. Aku menghela napas panjang, dan ini bukan sekali dua kali aku melakukannya pagi ini, karena perasaan sesak itu benar-benar sudah berhasil mengangguku.

Bodoh kamu, Ina!

Berhentilah memikirkan kekasih orang lain, meski dia mengatakan hal yang membuatmu bahagia, karena itu adalah sebuah kesalahan.

Aku memukul dadaku yang tiba-tiba kembali terasa sesak. Ah, ternyata rasanya melelahkan, ketika kita mengharapkan sesuatu yang tak mungkin kita miliki.

“Udah sarapan?” tanya Andrew yang tiba-tiba sudah duduk di sampingku. Aku menatapnya sekilas, kemudian kembali fokus menatap orang-orang yang berlalu-lalang di hadapan kami.

Jantungku berdebar kencang, padahal dia adalah orang yang paling ingin aku hindari hari ini. Namun, dia justru datang sebelum acara dimulai.

“Udah," jawabku singkat.

Semenjak pengakuannya semalam, suasana di antara kami menjadi tambah canggung. Senang? Tentu saja. Bukankah itu artinya penantianku selama ini tak sia-sia? Tapi, semua itu tak berarti bahwa kami bisa bersama, karena aku pun cukup sadar untuk tak menyakiti siapa pun atas keegoisanku.

“Tapi lo kelihatan lemes banget, kayaknya lo kurang glukosa.” Dia menyodorkan paper bag kepadaku. Aku mengintip isinya dan sebuah tupperware yang dulu sering dia bawa tersimpan rapi di dalam sana, tupperware kotak berwarna cokelat, dengan tutup transparan. Dan, tebak apa isinya? Brownies yang sudah tiga tahun ini aku rindukan. Brownies hasil tangan tante Miranda.

Aku menoleh menatapnya yang masih menatap lurus ke arah panggung. “Mami nitip, pas gue bilang mau lihat lo tampil," ujarnya kemudian.

Aku mengangguk pelan. “Tolong sampein ucapan terima kasih gue ke tante Miranda, ya?” Dia menengok sekilas ke arahku, kemudian mengangguk pelan. “Iris mana?” tanyaku lirih.

Dia menunjuk dua orang yang sedang sibuk berfoto di salah satu booth yang tersedia. Iris sangat akrab dengan Rachel, sangat berbeda saat aku berpacaran dengan Andrew.

“Semalem....” Aku menutup mataku seketika saat Andrew mengatakan satu kata itu. Aku belum siap untuk mendengarnya. “Gue tahu lo pasti denger, kan?” Dia tersenyum tipis, sedangkan aku masih menutup bibirku rapat-rapat.

“Kenapa lo berlagak seolah nggak denger itu semua, Na?”

Aku menelan salivaku dengan susah payah. “Gue merasa nggak nyaman aja.” Bohong, Marina! Bohong! Kamu hanya tidak kuat mendengarkannya, kan?

“Iris cinta sama lo, Ndrew....,” lirihku sembari meremas mini pleated skirt bermotif kotak-kotak yang aku pakai. “Gue juga cewek, dengan lo kayak gini, lo udah nyakitin dia.”

“Gue tahu, dan alasan yang membuat gue mengungkapkannya, karena gue juga nggak mau lihat lo sedih lagi karena melihat gue sama Iris,” ujarnya.

Aku terkekeh kecil. “Kalo lo nggak mau lihat gue sedih karena kalian berdua, kenapa lo nggak ninggalin Iris?” Entah mendapat keberanian dari mana, aku justru mengatakan hal aneh seperti ini.

Lihat selengkapnya