- Marina POV -
Sore ini aku pergi bersama Andrew mencari makan. Mungkin dengan menerima ajakannya, adalah sebuah kesalahan, tapi tidak ada satu pun alasan untukku menolak ajakannya. Dia hanya berusaha bersikap baik, dan aku menghargainya.
Tiba-tiba Andrew menghentikan Audi A6 miliknya di sebuah florist, membuatku menoleh ke arahnya. “Ngapain berhenti di sini?” tanyaku bingung. “Mau beli bunga buat mami, lo tunggu aja di sini.” Aku hanya mengangguk, kemudian memerhatikan dia yang berjalan masuk ke arah toko.
Fokusku beralih pada ponselku, mencoba mengecek pesan masuk dari kak Ryan, namun nihil, tak ada satu pun pesan balasan darinya. Aku menghela napasku sejenak, kemudian berpikir. Sepertinya pulang dari makan bersama Andrew, aku mampir sebentar ke apartemen kak Ryan untuk memastikan keadaannya.
Tiba-tiba pintu sampingku terbuka. Aku memandang Andrew yang menyodorkan sebuket bunga carnation warna merah ke hadapanku, membuatku terdiam untuk beberapa saat.
“Buat gue?” Aku menunjuk diriku sendiri, kemudian dia tersenyum dan mengangguk pelan. Aku menerimanya dengan senang hati. “Makasih,” lirihku. Dia menutup kembali pintu sampingku, kemudian membuka pintu belakang untuk meletakkan sebuket bunga Matahari yang aku yakini untuk Tante Miranda, kemudian berjalan memutar menuju kursi kemudi.
Carnation, bunga yang pernah dia berikan padaku dulu. Bedanya, waktu itu dia memberiku carnation berwarna putih, yang artinya ‘Aku tidak akan melupakanmu’. Dan yang aku tahu, carnation berwarna merah artinya ‘Aku menginginkanmu’. Oke. Andrew hanya asal kasih saja, jangan terbawa perasaan, Ina.
“Lo ngapain kasih gue bunga?” tanyaku saat mobilnya mulai melaju meninggalkan toko bunga tersebut.
“Buat ganti bunga yang dikasih bocah setan tadi,” jawabnya ketus, membuatku mengerutkan dahiku.
“Calvin, maksudnya?”
Andrew menghela napasnya. “Dibilang bocah setan.” Aku terkekeh mendengarnya. “Ntar kalo tu bocah punyak anak, terus mau ngumpat ke anaknya. Dia bilang gini, ‘Dasar anak gue!’, gitu.”
Aku tertawa seketika. Paham, kan? Jadi, kalau setan punya anak, terus mau marah sama anaknya, si setan itu bilangnya, ‘Dasar anak gue!’. Paham, kan? Paham, dong!
“Berarti kalo semut kesemutan, bilangnya ‘Tangan gue keguean’ gitu?” tanyaku, kini Andrew yang tertawa kencang.
“Iya, Na, terus kalo ada naga kaget, bilangnya ‘Astaga gue!’.” Aku dan Andrew tertawa bersama.
“Lo kayaknya udah mulai gila, Ndrew,” ujarku.
“Iya, gue kan emang gila karena....”
“Jangan bilang gila karena gue, nggak ngaruh modus lo, Ndrew,” potongku sebelum dia menyelesaikan ucapannya.
Dia terkekeh. “Pede banget sih, orang gue mau bilang gila karena cinta,” jawabnya santai. Aku mendengus ke arahnya.
“Cinta sama lo,” lanjutnya yang membuatku tertegun seketika. Dan sialnya, jantungku berdebar kencang. Sangat kencang.
“Cie, blushing,” ledeknya yang membuatku refleks mencubit pinggangnya kencang.
“Sorry, Na. Iya, iya, maaf,” keluhnya, membuatku melepaskan cubitanku. Bukannya kesakitan, dia malah terkekeh setelahnya.
“Lo kenapa senyum-senyum? Jangan bilang lo gila beneran, Ndrew? Nggak lucu,” gerutuku.
“Nggak apa-apa, gue cuma jadi inget masa lalu,” jawabnya.
“Masa lalu itu selalu di belakang, Ndrew, nggak usah diinget-inget,” ujarku santai, lalu kembali memandangi jalanan.
“Kata siapa masa lalu di belakang? Buktinya sekarang masa lalu ada di samping gue.” Aku menggigit bibir bawahku, tak tahu harus merespons seperti apa ucapan Andrew ini, dan memilih untuk diam. Kemudian suasana di dalam mobil kembali hening.
Kami menghabiskan waktu makan malam kami di sebuah restoran Jepang.
“Udah gede, makan aja masih berlepotan,” ujar Andrew dengan sebuah tindakan mengejutkan yang mengusap saus di ujung bibirku
“Gue bisa sendiri.” Aku segera mengambil tisu dan membersihkan bibirku.
“Lo nggak mau pulang?” tanyanya setelah menghabiskan lemon tea yang dipesannya tadi sembari mengecek jam tangan di tangan kirinya.
“Nggak lihat masih makan?” jawabku ketus.
“Lo ke rumah Tiara, kan?” tanyanya, mengalihkan pembicaraan.
Aku mengangguk pelan. “Iya, tapi gue mau mampir dulu ke apartemen kak Ryan.”
Andrew melotot seketika. “Ngapain malem-malem gini ke apartemen cowok, sendirian lagi?” serunya dengan nada suara yang tinggi, membuatku malu karena perhatian beberapa pengunjung beralih pada kami.
“Gue cuma mastiin kak Ryan baik-baik aja, ini masih jam tujuh, nggak usah lebay deh."
“Gue temenin,” ujarnya yang membuatku menghela napasku pelan.
“Nggak. Ngapain lo ikut segala, entar malah kak Ryan mikir yang macem-macem,” jawabku sembari menghabiskan lemon tea milikku.
“Emang kita lagi macem-macem?”
“Ya, nggak sih,” jawabku.
“Yaudah, kalo nggak ya santai aja kali. Lo tuh jangan terlalu percaya sama dia. Lo nggak inget peringatan gue pas nganterin lo waktu itu?”
Aku memutar bola mataku kesal. “Ninggalin kak Ryan? Nggak akan. Dia terlalu baik untuk ditinggalin begitu aja,” jawabku tanpa pikir panjang, dan Andrew langsung menatapku tajam. Aku menggaruk tengkukku. “Bilang aja lo masih ngarepin gue, kan?”
Andrew justru terkekeh. “Udah selesai, kan? Yuk, gue anter.”
“Gue bilang nggak usah.”
Andrew justru menggandeng tanganku setelah menaruh beberapa lembar uang seratus ribuan di atas meja. “Mendingan lo nurut aja.”
“Iya,” ujarku pasrah sembari menarik tanganku dari genggamannya, namun gagal. Cengkeramannya terlalu erat.
***
Andrew memarkirkan mobilnya di basement sebuah apartemen di daerah Kemang. “Gue bisa ke rumah Tiara sendiri, lo pulang aja. Makasih traktirannya.”
Dia mengangguk, kemudian aku keluar dari mobilnya, berjalan cepat ke dalam lift dan berhenti di pintu apartemen nomor 16. Aku ingat, waktu itu alasan kak Ryan memilih unit ini karena nomornya sama dengan tanggal lahirku. Bahkan, passwordnya juga tanggal lahirku.
Aku memasukkan empat digit password apartemen kak Ryan, dan memantapkan hati untuk masuk. Dan, entah mengapa perasaanku jadi tidak enak.
Aku berjalan pelan tanpa suara dan menemukan sepasang flatshoes biru di rak sepatu kak Ryan. Mungkin Mbak Dini, kakaknya kak Ryan datang menjenguk adiknya.
Suara aneh dari ruang tamu membuatku mempercepat langkahku dan membuatku melihat sesuatu yang tak pernah ingin aku lihat.
Live porn in Kak Arrayan’s sofa.
Aku mematung di tempat, tercekat kehabisan suara. Aku melihat laki-laki yang sudah mengisi dua setengah tahun hidupku. In front of my eyes, getting together orgasm with another girl and screaming name each other. Dan, aku mengenal baik perempuan dalam pelukan kak Ryan itu. Nabila, teman satu organisasi kak Ryan.
Aku masih tediam di tempat, menyaksikan cuddle time mereka dengan perasaan yang entah apa. Kecewa? Marah? Entahlah, aku pun bingung untuk mengungkapkannya.
Kak Ryan mengecup puncak kepala perempuan itu berkali-kali dengan senyuman yang biasanya hanya dia curahkan untukku.
“Aku ke toilet bentar, Yang.”
Yang? Aku bahkan tidak memiliki panggilan khusus dengan kak Ryan. Perempuan itu beranjak dan meraih handuk untuk menutupi tubuhnya.