- Marina POV -
“Gue mau putus sama Fardan,” ujar Tiara. Aku, Tiara, Luvia, dan Melinda sedang berkumpul di kamar Tiara bersiap untuk keberangkatan kami ke puncak.
“What? Lo mau putus? Kesambet apaan lo, Ra?” tanya Melinda masih tidak percaya dengan ucapan Tiara. “Lo udah mau tunangan, dan lo kira kayak gitu main-main? Keluarga kalian juga udah tahu loh, main putus-putus aja,” lanjutnya.
Aku juga sebenarnya kaget mendengarnya, mengingat dua hari yang lalu mereka terlihat baik-baik saja. Mungkin benar, apa yang terlihat tak selalu sesuai dengan apa yang sebenarnya terjadi. Rumput tetangga memang selalu lebih hijau.
“Hubungan gue sama Fardan itu udah nggak sehat lagi, Mel. Dan gue nggak mau bertahan dalam hubungan yang kayak gitu. Gue sibuk sendiri, dia sibuk sendiri, kita bahkan kayak menjalin hubungan hanya sekedar status saja,” ujar Tiara. Dia memberikan sedikit penjelasan pada kami.
“Well, nggak sehat dari segi mananya? Siapa yang bisa ngerti orang keras kepala kayak lo lagi kalo bukan Fardan? Lo sayang kan sama dia? Fardan juga pasti sayang sama lo. So?” Kini Luvia yang mengeluarkan pendapat.
“Iya, bener gue sayang sama dia dan begitu juga dia, tapi rasanya itu beda aja kalo sayang karena terpaksa dan tulus. Gue sibuk sendiri bahkan kadang lupa kabarin dia, dan parahnya dia juga sibuk dan nggak peduliin gue. Jadi, kadang kita bahkan lost contact dan nggak ketemu beberapa hari tanpa kabar, bahkan nggak saling nyari, kita kayak nggak saling membutuhkan. Itu udah nggak sehat banget, saat kita udah nggak ngerasa membutuhkan kehadiran kita satu sama lain. Dan, gue nggak yakin hubungan ini bakalan berjalan baik.
Aku yang sedang sibuk membalas pesan dari mama, menghela napasku pelan. “Yaudah, putus aja kalo udah nggak saling yakin,” jawabku santai. Semua mengalihkan perhatiannya padaku, dengan raut wajah yang terlihat bertanya-tanya.
“Are you okay, Na?” tanya Luvia yang buru-buru menempelkan telapak tangannya di dahiku. “Panas. Pantesan.”
Aku menghela napasku pelan. “I just want to tell Tiara, kalo emang ngerasa udah nggak ada harapan, mendingan putus. Serius. Omongin baik-baik karena kalian mulai juga dengan baik-baik. Karena pada akhirnya, hubungan yang udah nggak punya dasar itu justru akan membuat kalian berdua sakit pada akhirnya, entah karena rasa nggak saling percaya, saling nuduh, merasa benar sendiri, atau mungkin mencari pelampiasan lain. Sebelum itu terjadi, mendingan disudahi dengan baik-baik. Ya, kan?”
“Bener juga sih kata Ina, tapi lo harus bilang ke Fardan dulu,” tukas Luvia.
Tiara mengangguk. “Pasti gue bakalan ngomong ke dia, kalo pun dia nggak mau, gue bakalan lepasin dia. Gue nggak mau jadi beban buat dia.”
“Sebenernya masalah lo sama Fardan apaan, sih? Gue padahal lihat lo berdua selama ini adem-ayem aja,” tanya Luvia.
Tiara hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan dari Luvia. Ya, memang seharusnya ada sesuatu yang tidak harus orang lain tahu. Seperti bagaimana hancurnya hubunganku dengan kak Ryan sekarang. Sebenarnya, lebih ke arah malas untuk cerita, karena pasti akan teringat. Dan, aku terlalu malas untuk mengingat kejadian menjijikkan itu.
“Lo nggak selingkuh, kan?” tanya Melinda dengan tatapan menyelidik.