Katalis

Aisyah A
Chapter #34

Truth or Dare

- Andrew POV -

“Can I kiss you?” tanyaku sekali lagi.

Marina hanya diam menatap mataku dengan saksama. Dia sepertinya masih bingung dengan pertanyaanku. Mungkin kalau biasanya aku akan mengatakan ‘diam artinya iya’, tapi sekarang beda situasi. Sebuah senyum tersungging di bibirku, kemudian aku melepaskan Marina.

“Gue bercanda,” ujarku sesantai mungkin. “Harusnya lo tampar gue aja kalo kayak gitu.”

“Mau gue tampar nih?” protesnya lucu, membuatku terkekeh seketika dan tanganku pun terulur mengusap puncak kepalanya gemas.

Dia mengerucutkan bibirnya, kemudian membalas mengacak rambutku di saat aku masih mengacak rambutnya dengan lembut.

“Minum aja dulu gue ke belakang bantuin mereka.” Dia mengangguk, kemudian aku pun pergi menjauhinya.

Aku berjalan ke arah anak laki-laki dan ternyata pekerjaan mereka sudah selesai. “Telat lo!” seru kak Andreas.

Aku hanya mengangguk pelan, kemudian membantu yang lainnya membawa makanan kembali ke atas tikar.

“Sini semua, woy!” Seru Haikal menyuruh semuanya berkumpul. Aku meletakkan nasi goreng di atas tikar, dilanjutkan beberapa lauk yang anak-anak buat, kemudian aku kembali duduk di samping Marina.

“Masih belum waktunya makan siang, kan? Kita main dulu, yuk,” tawar Haikal. “Truth or dare,” lanjutnya.

“Nggak ada permainan yang lain apa? Ah, ngeselin nih main kayak gituan,” protes Marina.ini

Aku mengangguk setuju. Karena aku tahu, orang seperti Haikal yang tidak ada pasangannya pasti akan menghabisi orang-orang yang berpasangan sekarang. Eh, ngomong-ngomong, aku sama Marina juga tidak ada pasangannya.

“Buat seru-seruan aja, Na. Nanti yang cewek bikin daftar truth, yang cowok bikin daftar dare,” jelas Haikal mantap.

“Setuju!” ujar Melinda semangat.

“Iya, ayo, dimulai aja,” lanjut Luvia.

Sedangkan aku, Marina, Tiara dan Fardan terlihat acuh. Namun, pada akhirnya kami menulis juga untuk daftar truth dan dare tersebut. Kami duduknya berselang-seling, dibuat melingkar dengan urutan; Aku, Marina, Fardan, Luvia, Haikal, Tiara, Cindy, kak Andreas, Melinda, balik lagi ke aku, dan begitu seterusnya.

“Kalian nggak bisa tukar dari truth ke dare, dan sebaliknya, kalo ada yang tukar, kita bakalan ngajuin satu dare yang harus kalian lakukan saat ini juga,” ujar Haikal memberi instruksi.

“Cindy mau di samping kak Ina,” seru Cindy. Saat akan beranjak, kak Andreas menahannya. “Udah, di sini aja,” ujar kak Andreas yang membuat Cindy kembali duduk.

“Lo kebanyakan peraturan, Kal,” protes Tiara.

“Biar nggak ada yang melanggar,” ketus Haikal.

Akhirnya, Haikal memutar botol bekas air mineral di tengah-tengah kami dan berhenti tepat di Cindy. Cindy mengambil kertas truth. Dia membukanya perlahan kemudian membacanya dengan lantang.

“Telepon mantan lo abis itu bilang kangen,” ujarnya. “Cindy nggak punya mantan,” jawabnya polos.

“Rey siapa?” tanya kak Andreas tiba-tiba.

“Temen satu jurusan, dia ketua angkatan Cindy,” jawab Cindy santai.

“Oh, yaudah, telepon si Rey aja cepet. Gue pengen lihat ekspresi cemburunya Andreas,” seru Haikal semangat.

Cindy mengerucutkan bibirnya, kemudian meraih ponselnya dan mencari kontak Rey dan mulai meneleponnya. “Nggak janji ya dia angkat.” Cindy mengaktifkan mode loudspeaker. Tidak butuh waktu lama, panggilan Cindy langsung diangkat oleh pemuda bernama Rey itu.

“Halo, Cin?” sapanya manis, membuat semuanya terkikik geli melihat ekspresi kak Andreas.

“Halo, Rey! Nggak sibuk kan gue telepon?”

“Nggak kok, kenapa?” tanya Rey.

“Hmm.... Gue kangen, Rey.”

Pemuda itu tertawa cukup kencang. “Lo lucu banget, ya? Kan minggu kemarin kita abis jalan bareng seharian.” Cindy membulatkan matanya dan langsung menutup sambungan telepon tersebut. Aku bisa melihat mata kak Andreas yang berkilatan. Dia marah.

“Cindy, puter lagi!” seruku sebelum suasana semakin memanas.

Cindy memutar botol dan berhenti di depan Tiara. Dia memilih dare.

“Ini siapa yang bikin dare gila kayak gini?” tanya Tiara dengan melemparkan kertas tersebut dan diambil oleh Haikal dan langsung dibaca.

“Cium pacar di depan temen-temen lo! Kalo lo jomblo, pilih salah satu dari cowok yang ada di dekat lo!” Haikal terdiam sejenak. “Wah, gila! Ini siapa yang bikin?” Semuanya terdiam, tidak ada yang mau mengaku.

“Yaudah, Ra, cepetan. Tuh, Fardan ada di situ,” seru Melinda.

Tiara menghela napasnya pelan. “Gue udah nggak ada hubungan apa-apa sama Fardan, artinya gue jomblo,” ujar Tiara. Tiba-tiba Tiara menangkup wajah Haikal yang ada di sampingnya dan mengecup bibir Haikal sekilas, membuat semuanya mematung seketika, sedangkan Tiara terlihat biasa saja dan memutar botol kembali. Aku yakin, setelah ini, Fardan, Tiara dan Haikal akan canggung banget.

Ternyata botolnya berhenti di Fardan. Fardan mengambil truth dan langsung membacanya. “Lo pernah suka sama cewek temen lo sendiri? Kalo pernah, siapa? Dan, hal paling berkesan apa yang pernah lo lakuin sama cewek itu?”

“Kayaknya yang bikin dendam banget pengen ada yang terbongkar aibnya deh,” seru Luvia.

Fardan menghela napasnya, kemudian menelusuri satu per satu orang yang ada di sini.

“Kalo lama gini, berarti pernah, ya? Siapa, Dan?” tanya Marina penasaran.

“Siapa, Fardan?” tanya Tiara yang juga penasaran.

“Sorry, Ndrew, gue pernah suka sama Marina dulu pas SMA. Udah lama banget, kan? Marina selalu bikin lo nyaman, selalu ceria, mau nungguin lo, dan itu bikin gue iri. Tapi, tenang aja, gue udah nggak suka sama Marina sekarang. Lagi pula, kalian juga udah putus, kan?” tanya Fardan yang tak kami respons. Sebenarnya, aku sudah menduga hal itu dari dulu.

“Hal berkesan apa yang pernah lo lakuin?” Suara Tiara menginterupsi Fardan, membuat dia langsung menoleh ke arah Tiara.

“Tiara.... Please!” ujar Fardan memelas.

“Lo harus jawab, Dan,” seru kak Andreas, membuat Fardan menghela napasnya berat.

“Oke. Lo inget waktu lo nungguin Andrew, dan ketiduran di kelas?” tanya Fardan pada Marina. Gadis itu hanya mengangguk pelan. “Gue nyampirin jaket gue ke lo,” lanjut Fardan.

“Terus?” tanya Tiara lagi, membuat Fardan menatap Tiara lekat-lekat. Namun, akhirnya menghela napasnya kembali dan menatap Marina dan aku secara bergantian. “Sorry, Na, Ndrew, gue harap setelah ini lo berdua nggak marah sama gue.” Fardan menjeda kalimatnya. “I steal a kiss on your check,” lanjutnya.

Aku langsung teringat ucapan Fardan saat berada di rumah Haikal dulu, tentang seseorang yang tak terikat status dan pernah dia cium. Dan, orang itu adalah Marina. Marina terlihat biasa saja, tapi tangannya mengepal. Aku menangkup tangannya yang terasa dingin itu, membuat Marina menoleh ke arahku.

Kini, tiba giliran Marina. Dia mengambil kertas truth. Matanya membulat saat membaca isi kertas tersebut, berulang kali dia membaca kembali isinya, kemudian dia menghela napasnya. “Gue ganti dare boleh?” tanyanya.

“Kalo ganti, lo harus cium salah satu orang di samping lo,” seru Haikal.

“Yang satunya mantan, yang satunya lagi orang yang pernah suka,” seru kak Andreas, membuat Cindy mencubit lengannya.

“Jangan ledekin kak Ina kayak gitu,” seru Cindy, membuat kak Andreas terdiam seketika.

Marina menghela napasnya, menunduk, kemudian menatap Fardan untuk beberapa saat. Namun, kemudian dia beralih ke arahku dan mengecup bibirku singkat.

Shit! Gila! Ini gila! Debaran jantungku tak bisa dikondisikan. Aku langsung menatap ke arah pepohonan, mencoba mencari sesuatu yang bisa membuatku tenang. Tapi, sialnya tidak ada, bahkan tangan kami masih saling menggenggam.

“Cieee, jatah mantan!” goda Haikal dan beberapa orang lainnya terkekeh mendengarnya. Sedangkan, Marina langsung memutar botol kembali dan kini berhenti di depanku. Aku langsung mengambil kertas dare.

Aku membuka kertas tersebut dan terdiam untuk beberapa saat. Setelah itu, aku langsung mengubah posisi dudukku menghadap Marina, membuat gadis itu terlihat bingung. Tanganku menyelipkan rambutnya di belakang telinga.

“Lo mau ngapain?” tanyanya bingung.

Aku tersenyum tipis, kemudian membawanya ke dalam pelukanku. “Gue cinta sama lo, Na,” bisikku lirih di telinganya.

Dare: Peluk salah satu orang di sini, dan bilang kalau kamu cinta sama dia.

***

- Marina POV -

Aku membuka mataku sejenak karena rasa pusing di kepalaku sudah lebih baik daripada semalam. Saat mataku sudah benar-benar terbuka, aku tersentak melihat sekeliling. Aku tidak berada di tendaku seperti saat sebelum tidur, aku justru berada di sebuah mobil.

“Udah bangun?” Suara itu membuatku kembali tersentak seketika. Aku mendapatkan Andrew di hadapanku, karena ternyata aku tidur di pangkuan Andrew. Aku langsung mengambil posisi duduk dengan cepat, membuat kepalaku berdenyut karena gerakanku yang tiba-tiba. “Aww!” lirihku sembari memegang kepalaku.

Andrew menempelkan telapak tangannya di dahiku. “Syukur deh udah turun, lo makan dulu gih. Tadi sebelum tidur lo belum sempet makan malem.” Dia mengambil sesuatu dari kursi depan dan menyodorkannya padaku. Aku bingung seketika. Sejujurnya, aku tidak ingat apa yang telah terjadi.

“Lo pingsan pas minta ditemenin ke toilet.” Dia merebut kembali piring di tanganku, dan mulai menyendokkannya. “Kalo sakit tuh jangan dipaksain, Na. Lo nggak tahu kita semua pada khawatir tadi malem,” gerutunya, kemudian menyodorkan bubur ke hadapanku, aku membuka mulutku dan mulai memakannya dalam diam.

“Ini jam berapa?” tanyaku kemudian.

Andrew menyalakan jam tangannya, kemudian kembali menyuapiku. “Jam setengah lima, mau salat?” tanya Andrew, kemudian aku mengangguk.

“Yaudah, gue temenin.”

Setelah selesai makan, Andrew mengantarku ke sebuah musala kecil yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat kami camping.

Camping ground ini cukup lengkap, kamar mandinya banyak dan bersih, ada musala, dan ada juga sarana outbound. Sangat membantu anak acara untuk membuat games dan sebagainya nanti.

Aku keluar musala masih mengenakan mukena. Andrew menunggu di teras. “Yang lainnya nanti langsung nunggu di mobil, mau langsung pulang sekitar jam setengah tujuh. Cindy sama Tiara ada kelas pagi katanya," ujar Andrew saat aku duduk di sampingnya.

Aku mengangguk mengerti. “Lo semaleman nggak tidur?” tanyaku sembari melepaskan mukena yang aku pakai.

Terdengar helaan napas kecil Andrew. “Gimana mau tidur, orang lo-nya ngorok,” ujarnya membuatku melotot ke arahnya seketika, dia tertawa hingga matanya menjadi satu garis. “Bercanda, Na, lo kalo demam suka ngigau, gue nggak tega buat ninggalin lo tidur,” ujarnya tulus, membuatku menunduk dan merasa bersalah.

“Lo kenapa sih, Ndrew? Masih baik sama gue. Kan gue cuma mantan lo doang,” lirihku masih bingung dengan segala sikapnya padaku. Siapa sih yang tidak bingung diperlakukan manis seperti ini? Terlebih saat aku sedang tidak baik-baik saja seperti sekarang.

“Bukannya bersikap baik sama semua orang itu perintah Tuhan ya, Na?” jawabnya santai. Aku mendongak menatapnya, kemudian menghela napasku dan beranjak pergi meninggalkannya. Namun, tiba-tiba sebuah jaket merah kembali tersampir di bahuku, membuat langkahku terhenti seketika, kemudian aku berbalik menatapnya. “Pake jaketnya, lo belum bener-bener sembuh,” ujarnya sembari mengeratkan jaket merah milikku.

“Kalo lo mau bersikap baik sama semua orang, jangan cuma gue yang lo perlakukan kayak gini. Kenapa lo nggak kayak gini juga ke Cindy?”

“Kan udah ada kak Andreas,” tukasnya.

“Ke Tiara.”

“Nanti Fardan mikir macem-macem,” jawabnya lagi.

“Ke Luvia atau Melinda mungkin,” ujarku dengan nada bicara yang naik satu oktaf. Pagi-pagi aku sudah dibuat naik darah sama Andrew.

“Gue nggak terlalu deket sama mereka.”

“Lo sama gue juga nggak deket, kita kan cuma mantan.”

Lihat selengkapnya