- Andrew POV -
Flashback.
Hari di mana Marina hampir dicium kak Yuta.
"Why did you just say, Andrew?" Mata Iris memicing sempurna. Aku tahu, ini adalah keputusan gila yang pernah aku pilih selama hidupku. Tapi, bukankah dari awal aku memang sudah gila?
Aku menghela napasku panjang. "Let's end our relationship."
Iris menatapku masih dengan tatapan tidak percaya, kemudian tersenyum tipis, seolah apa yang aku katakan hanyalah sebuah lelucon belaka. "Kamu ngomong apa, sih? Setelah sekian lama bersedia berkomitmen, hanya karena kita balik ke Jakarta dan bertemu mantan kamu, kamu memilih untuk mengakhiri semuanya?"
Aku pun sama frustrasinya dengan Iris. Mungkin benar, sebelum aku kembali ke sini, aku sudah meyakinkan hatiku bahwa sudah tidak ada lagi sosok Marina. Setelah tiga tahun, apakah belum cukup untukku menghilangkan namanya? Dan, jawabannya adalah belum. Namanya terukir sangat dalam di sana, dan sekuat apa pun aku menghapusnya, masih saja akan muncul kembali ke permukaan sewaktu-waktu.
Tidak ada yang salah dengan hubunganku dan Iris selama setahun ini, mungkin itulah yang membuat Iris sulit untuk mengerti situasiku.
"Should I give you the reason?" tanyaku.
"Yes."
Aku lagi-lagi menghela napasku berat. "Aku udah mikirin ini sejak lama, Ris. Sejak pertama kamu ngajak aku pacaran, aku udah bilang aku nggak bisa menjanjikan apa pun dalam hubungan kita. Aku menjaga hubungan ini karena dasar perasaan nyaman. Aku selalu berusaha meyakinkan kalo ini memang keputusan terbaik. Tapi, sepertinya ini tidak akan pernah sesuai dengan kita."
"Kita tahu itu bukanlah alasan yang logis." Helaan napasnya penuh keputusasaan. "Kamu nggak mungkin tiba-tiba kayak gini, kita baik-baik saja sampai kamu ketemu sama mantan kamu itu."
"Marina nggak ada kaitannya, ini murni kesalahan aku, Ris. Aku yang egois. Aku yang berharap bahwa kehadiran kamu bisa mengubah segalanya dalam hidupku, tapi sayangnya aku memang sebatu itu, nggak ada yang berubah. Serius, jika kita lanjutkan hubungan kita ini, yang ada aku semakin nyakitin kamu, Ris. Dan aku nggak mau itu terjadi. Kamu orang baik, kamu pantas mendapatkan seseorang yang dapat memperlakukan kamu dengan baik juga." Aku menatap mata Iris serius. Matanya sudah mulai berair.
Aku tahu, aku telah menyakitinya terlalu dalam. Dalam hubungan kami, selalu dia yang memulai; mengajak pacaran, mengajak untuk lebih terbuka, bahkan masalah pertunangan kami, dialah yang memintanya.
Aku tahu, aku telah membawa Iris terlalu dalam masuk ke dalam hidupku yang berantakan ini. Aku mengakui jika semuanya adalah kesalahanku.
"Ris, listen to me! Mungkin kamu berpikir bahwa nggak ada yang salah di antara kita sekarang. Tapi, semua itu bikin aku sadar kalo aku nggak bisa melanjutkan hubungan ini lagi." Aku menjeda kalimatku untuk beberapa saat. "Kayak.... Kita pasti lelah menjalani semuanya lebih dari setahun ini, dengan jarangnya ada masalah di antara kita. Kita nggak pernah berantem, meski hanya untuk sekali saja."
"Dan, sekalinya kita berantem, itu karena masa laluku. You just realized it. Tapi sekali pun semuanya seolah berjalan lancar, ada beberapa hal yang nggak bisa kita paksain. Aku tahu, aku akan jadi pihak yang jahat di sini karena meminta semua ini secara sepihak dan tiba-tiba di saat situasinya lagi nggak bagus, seolah aku lagi nyari-nyari alesan buat menyudahi semuanya. But still, I have to do it!" lanjutku.
Mata Iris sudah berkaca-kaca. Aku yakin, saat ini dia sedang menahan segalanya untuk tetap terlihat baik-baik saja. "You don't love me anymore?" Dia menghela napasnya perlahan. "Aku sadar, bahkan selama satu tahun ini kamu belum pernah bilang cinta sama aku," lirihnya.
"Oke. Honestly, aku sayang sama kamu, Ris. Tapi, bukan berarti itu bisa diartikan dengan cinta. Aku sayang sama kamu. Aku nyaman berada dekat kamu." Aku berhenti sejenak, mencoba mengontrol perasaanku sendiri. "But right now, it's not same anymore."
"Ah! Harusnya aku sadar kalo kamu masih cinta sama dia." Iris mengusap ujung matanya yang berair.
"Inilah yang aku takutkan saat kamu mengajakku untuk kembali ke sini. Aku tahu, bagaimana masa lalu kamu begitu sulit kamu lupakan. Aku tahu, bagaimana hidupmu dibayang-bayangi oleh masa lalumu. Harusnya aku menyerah dari awal, namun yang aku lakukan, justru memaksamu untuk berada di dekatku kayak sekarang. So, in the end, kamu nggak bakalan ngomong ke aku secara jelas kalo alasan kamu mutusin aku adalah dia," lanjut Iris.
Aku memilih untuk tidak menjawab, dan sepertinya itu membuat Iris paham akan jawaban dari pertanyaannya. Dia menarik napasnya dalam-dalam, pasti sekarang dia merasa sesak yang sama seperti yang aku rasakan. Dia menatapku dengan tatapan setegar mungkin. "Actually, dari awal kita ngomongin ini, aku nggak punya pilihan buat menerima atau menolak, kan?"
Aku lagi-lagi memilih untuk tak menjawab.
"I'll ask you once again, why?"
"I gave you the answer. Already, Ris."
"Not even, sorry?"
"Aku lebih memilih untuk bilang terima kasih, buat semua hal yang udah kita lakukan bersama. Aku nggak mau bilang maaf karena aku nggak pernah merasa menyesal dengan semua ini. Perasaan aku sama kamu itu nyata, Ris. Aku sayang kamu."
"Kamu sadar kan lagi bersikap jahat sama aku sekarang?"
"I know," lirihku.
Tercipta keheningan di antara kami untuk beberapa saat. Aku tahu, jika semua ini terlalu terlihat main-main, di mana aku menjadi pihak yang paling egois di sini. Tapi semakin aku bertahan, semakin dalam sakit yang akan diterima oleh Iris. Aku tidak mau semua itu terjadi.
"Aku pengen kita tetep ada hubungan...."
"Ris?"
"Sampai aku pulang ke Singapore. Hanya sampai saat itu, tetaplah menjadi Andrew, pacar seorang Iris Valerie. Setelahnya, let's do what you want, Ndrew."
Dan, aku kehilangan dia, perempuan yang selalu berusaha untuk menjadi yang terbaik untukku, berusaha menenangkanku. Mungkin untuk sesaat, aku merasa yakin untuk menghabiskan sisa hidupku bersamanya. Tapi, tidak semua usaha membuahkan hasil, bukan?
Karena beberapa orang datang bukan untuk melengkapi, bukan untuk menetap, dan menjadi kuat. Dia hanya datang untuk sekadar singgah, kemudian menjadi kenangan, mejadi salah satu alasan yang membuat hatimu patah.
Dia yang tak ingin sama-sama memperjuangkan, bukankah memang harus dilupakan sebagai kenangan? Seperti aku di hidup Iris, contohnya.
***
- Andrew POV -
Para panitia terlebih dahulu pergi ke camping ground untuk mempersiapkan acara.
"Lo sama gue ya berangkatnya?" tawarku pada Marina yang saat ini sedang menatap teman-temannya yang sibuk berkemas. Dia terlihat ragu. "Sama Haikal, Tiara dan Fardan juga kok, nggak berdua doang," lanjutku.
Akhirnya, Marina mengangguk dan mengabaikan Tiara yang sedang menatapnya tajam. Yang aku sadari setelah kejadian kemarin adalah; Tiara menatap Marina dengan tatapan yang berbeda, antara marah dan benci.
Aneh. Dia melakukan itu seolah dia tak memiliki salah apa pun pada Marina. Padahal itu juga hanya masa lalu Fardan di saat dulu mereka sudah putus. Bahkan, ini bukan kesalahan Marina.
Aku mengetikkan sebuah pesan singkat untuk papi. Pagi ini mami mengeluh demam, makanya aku kepikiran sama keadaan mami. Airyn lagi ada study tour ke Hongkong, dan papi belum pulang dari meeting semalam. Aku dan kak Andreas juga lagi tidak di rumah.
Me: Pi, posisi?
Papi: Posisi siapa?
Ini bapak yang satu menyebalkan juga ya, pakai basa-basi segala seperti ibu-ibu.
Me: Bambang Pamungkas.
Papi: Penyerang.
Me: Yaelah, come on, Pi. Posisi papi lagi di mana sekarang?
Papi: Di rumah.
Aku menghela napasku. Syukurlah, mami sudah ada yang jaga.
Me: Bilangin mami, suruh makan, itu obatnya udah ada di nampan juga.
Papi: Oke.
Me: Papi juga.
Papi: Oke.
Me: RCTI.
Papi: Oke.
"Hahaha." Itu suara tawa Marina yang sudah tertawa kencang di sampingku. Ternyata dari tadi dia mengintip pesanku dengan papi. Dia sampai memegang perutnya dan mengusap ujung matanya yang berair. "Papi lo lucu banget, Ndrew. Sumpah."
Aku mengusap rambutnya. "Jangan ketawain calon mertua, Na, dosa," ujarku yang membuat Marina diam seketika. Pipinya memerah. Lucu.
Kami semua sudah berada dalam mobil masing-masing. Di mobilku, ada Fardan di kursi kemudi dan aku di sampingnya. Di kursi belakang ada secara berurutan; Marina, Haikal, dan Tiara. Terasa canggung. Tiara bahkan tak melirik Marina sedikit pun.
"Ra, kemarin itu kan hanya permainan," ujar Haikal pada akhirnya. "Lagi pula, kejadian itu kan udah lama saat lo dan Fardan udah putus."
"Kal, diem," seruku.
Haikal melirik ke arahku. "Ndrew, gue nggak bisa tinggal diem lihat temen-temen gue ini pada diem-dieman kayak gini," balas Haikal.
"Ra, emangnya lo nggak pernah suka sama pacar sahabat lo apa?" tanyaku sinis, membuat Fardan menoleh ke arahku, namun langsung kembali fokus pada jalanan.
Saat ini, Marina memilih untuk diam dan mendengarkan lagu dari ponselku, beberapa playlist yang aku buat semalam.
"Lo jangan malah bikin ribet deh, Ndrew," gerutu Haikal. "Fardan kan bilang masa lalu, dan itu udah lama. Lagi pula rasa suka nggak bisa dicegah, wajar kalo kita menyukai seseorang yang punya kelebihan. Kayak gue, pasti pernah mikir pengen punya pacar kayak kalian, yang pengertian kayak Marina, yang peka kayak Tiara, yang bucin kayak Cindy, pasti ada pemikiran kayak gitu. Tapi nggak dilakuin, intinya hanya sebatas suka atau kagum aja," lanjut Haikal.
"Kalian berdua ini pasti masih saling sayang, kenapa nggak dipertahankan aja sih?" tanya Haikal pada Tiara dan Fardan, namun tak ada respons apa pun dari keduanya.
"Lo marah Fardan dan Marina karena Fardan bilang pernah suka sama Marina? Atau, karena lo sedang menyembunyikan sesuatu?" tanyaku dengan ekspresi datar. Aku melihat Tiara mengerutkan dahinya menatapku. Suasana menjadi tegang setelah pertanyaanku itu.
"Ra, lo nggak ada niat balikan sama Fardan? Kalo masalahnya hanya karena dia pernah suka sama Marina, serius, itu nggak masuk akal. Dan, itu juga udah masa lalu. Sekarang pasti Fardan cuma sayang sama lo. Iya kan, Dan?" tanya Haikal pada Fardan, namun Fardan memilih untuk tetap diam.
Setelah beberapa saat, Fardan akhirnya buka suara. "Kayaknya nggak bakalan deh," jawab Fardan.
"Why? Lo punya cewek lain?" tanya Haikal gamang, membuat Marina kini menatap Tiara horor.
Fardan tersenyum dan menggeleng pelan. "Tiara mungkin bosen sama gue atau mungkin dia punya ekspektasi lebih sama cowok lain. Entahlah, gue nggak mau berprasangka buruk." Fardan tersenyum, dan senyuman itu menyiratkan banyak arti. Aku melihat Tiara menunduk beberapa saat.
Aku menyodorkan susu kotak dingin kepada Marina, membuat dia menaikkan satu alisnya. "Minum buat dinginkan otak lo," ujarku, dia mengerucutkan bibirnya kemudian meminumnya dalam diam.
"Kata siapa masa lalu cuma jadi masa lalu?" ujar Tiara sinis. "Buktinya lo sama Ina kan masa lalu, tapi apa yang lo lakuin sekarang? Nggak ada yang menjamin tentang perasaan orang lain, Ndrew. Padahal lo udah punya pacar. Terus, apa bedanya lo dengan Fardan?"
"Lo benar, nggak ada yang bisa jamin perasaan seseorang, termasuk perasaan orang yang mengaku sebagai sahabat, tapi ternyata dibalik itu semua...." Aku tak melanjutkan kalimatku, hanya tersenyum sinis melihat Tiara yang terlihat mengepalkan tangannya.
"Kalian kenapa jadi ribut gini sih?" tanya Haikal yang mulai bingung.
"Lo mendingan jadi penonton aja, Kal, karena terkadang yang nggak tahu apa-apa itu lebih baik, daripada tahu segalanya, malah jadi menyeret lo ke dalam masalah yang harusnya nggak lo tahu," ujarku yang kini kembali menatap jalanan.
***
"Sini, gue bawain," seruku sembari mengambil ransel besar milik Marina. "Ntar lo tambah kecil lagi," lanjutku.
"Makasih," ujar Marina yang kini berjalan di sampingku.
"Fardan kuat banget, ya," ujarnya, membuatku menoleh ke arahnya sekilas. "Lo ngajak ngomong gue?" tanyaku.
"Iyalah," jawabnya.
"Emangnya gue kelihatan mau ngomong sama lo?" tanyaku yang membuatnya mendengus kesal.
"Kalo lo nggak mau ngomong sama gue, lo nggak bakalan respon omongan gue," gerutunya lucu.
"Kuat dari mananya sih? Tuh lihat. Bawa carrier gitu aja berhenti beberapa kali. Gue bawa dua punya lo biasa aja," ujarku pada Marina.
"Bukan itu maksud gue, hatinya yang kuat." Marina menghela napasnya perlahan. "Waktu itu gue nggak sengaja lihat pas Tiara putusin Fardan."
"Nggak sengaja lihat apa emang penasaran?" tanyaku, membuat Marina mencubit pinggangku, dan itu rasanya sakit saudara-saudara sebangsa dan setanah air.
"Ya, intinya Fardan itu nggak mau diputusin, terus dia kayak terpukul banget. Tapi lihat, dia sekarang udah bisa ketawa gitu, bahkan dia bisa manage ekspresinya pas sama Tiara." Dia tersenyum sekilas. "Dulu gue nggak bisa sekuat itu."
"Padahal dulu gue iri sama hubungan mereka, hubungan yang harmonis, saling melengkapi, kelihatan bahagia banget. Makanya gue menyayangkan pas mereka putus, ditambah lagi rasa bersalah karena nama gue kebawa dalam masalah tersebut." Dia menghela napasnya sejenak. "Kenapa Tuhan menciptakan rasa iri ini, ya? Kan dosa gue jadi nambah terus. Mana Tiara jadi jauhin gue, padahal harusnya gue ada buat dia, bukan malah jauh kayak gini. Kadang perasaan kayak gitu buat gue bertanya-tanya; 'Kenapa gue ada di dunia ini?' karena gue merasa nggak berguna sebagai seorang sahabat," gumamnya lirih.
Aku meletakkan telapak tanganku di atas kepalanya, membuatnya menghentikan langkahnya dan mendongak ke arahku. "Berhenti membandingkan diri lo sama orang lain. Berhenti menginginkan yang orang lain miliki. Karena lo beda, karena lo bukan mereka."
Aku merapatkan tanganku pada jemarinya. "Sadar nggak sih? Semua entitas di alam semesta ini punya peranannya masing-masing. Sesederhana ojek online yang nganterin lo ke rumah, atau penjaga palang pintu kereta yang dibayar seikhlasnya."
Aku tersenyum tipis. "Gue, lo, dan kita semuanya sama, Na."
"Keberadaan kita di dunia ini pasti bukan kebetulan. Ada cerita yang bisa kita bagi, kekosongan yang bisa kita isi, karena hidup bukan hanya sekedar melihat kebahagiaan orang lain dan menunggu kebahagiaan yang sama itu datang ke kita, kemudian mati. Semua orang berharga kok, keberadaan lo pasti sangat berharga untuk seseorang."
Iya, sangat berharga untukku.
***
- Marina POV -
Aku bersama anak-anak yang lain sedang sibuk memasang foto-foto polaroid pada tali tambang yang akan kami pasang di salah satu sudut camp.
Tiba-tiba, sosok Haikal mengagetkanku dengan tepukan keras di bahu. "Inaaaa!" Seru Haikal yang membuat telingaku langsung berdengung. Haikal itu cowok tapi suaranya cempreng, mungkin itu yang membuat dia tidak bisa masuk polisi. Hahaha.
"Apaan sih, Kal? Ngagetin aja," ketusku padanya yang membuatnya mendengus seketika.
"Lo nggak mau menyambut pacar lo gitu?" tanyanya yang membuatku menaikkan satu alisku bingung.
"Maksud lo?" tanyaku bingung.
Dia menunjuk ke suatu arah, membuatku memandang ke arah tersebut dan terpaku di tempat. "Gue ngundang kak Ryan dari pas awal kita rapat, gue minta dia ngisi acara pembukaan dengan nge-DJ. Anak acara juga setuju, tapi dia bilang jangan kasih tahu lo, buat surprise katanya." Jelas Haikal dengan senyuman lebar yang membuatku menghela napasku berat.
"Kenapa lo nggak ngasih tahu gue?" lirihku.
"Kan gue udah bilang tadi, surprise. Dan lo tahu? Kak Ryan minta tenda khusus untuk dia dan pacarnya. Uhuyyy, Ina gue udah dewasa ternyata," ledeknya sembari mencolek daguku.
"Bukan buat gue, Kal," jawabku datar.
"Maksudnya gimana?" tanyanya bingung. Aku berusaha menahan perasaan kesalku. Ini bukan salah Haikal, dan dia minta tolong juga sebelum aku dan kak Ryan ada masalah. Terlebih lagi dia belum tahu yang terjadi antara aku dan kak Ryan. Aku tidak berhak menghakiminya.
Aku memalingkan wajahku ke sosok kak Ryan dan sosok wanita yang sedang tersenyum ke arahnya. "Lo lihat cewek di sampingnya?" tanyaku pada Haikal yang membuatnya ikut menatap titik yang sama denganku.
"Oh iya, kak Nabila juga ikut," ujar Haikal santai.
Aku menghela napasku pelan. "Tenda yang dia pesen itu buat mereka berdua," ujarku yang membuat Haikal langsung menoleh ke arahku. Aku tersenyum tipis ke arahnya.
"Apa maksudnya?" tanyanya.
Aku menepuk bahu Haikal. "Menurut lo, gue segila itu buat tidur bareng sama kak Ryan?" tanyaku penuh penekanan.
Haikal hanya terdiam. "Kak Nabila itu pacar kak Ryan. Gue sama kak Ryan udah putus," lanjutku.
"Lo lagi bercanda, kan?" Ekspresi wajah Haikal terlihat tidak percaya.
"Menurut lo, gue kelihatan lagi bercanda?"
Haikal menghela napasnya berat, dia memegang bahuku. "Sorry, Na, gue nggak tahu kalo...."
Aku menggeleng cepat. " Bukan salah lo. Nggak apa-apa," jawabku diakhiri dengan senyuman tipis.
Biasanya setelah aku bilang seperti ini, dia akan bertanya lebih dalam lagi. Namun, sepertinya dia lebih dari paham akan apa yang terjadi antara aku dan kak Ryan.
Aku meraih tangan kanan Haikal dan menaruh beberapa lembar foto polaroid di tangannya. "Bantuin pasangin, ya? Gue mau ambil minum dulu," ujarku, kemudian meninggalkan Haikal yang masih diam di tempatnya.
Aku berjalan ke arah dapur yang sudah anak konsumsi siapkan. Tanganku meraih botol air mineral dan meneguknya hingga tersisa setengah.
Tiba-tiba, sesuatu yang hangat menempel di pipiku, membuatku menoleh ke samping. Dia menangkup tanganku dan meletakkan secangkir cokelat hangat di sana. "Biar nggak dingin," lirih Andrew.
Aku tersenyum tipis. "Makasih."
Aku menyeruput cokelat hangat itu, rasa manis ini membuatku merasa lebih baik sekarang.
"Yaudah, gue balik dulu bantuin yang lainnya. Lo baik-baik nggak ada gue." Dia mengusap kepalaku lembut, kemudian jarinya menarik ikatan rambutku, membuatnya terurai sempurna.
Dia tersenyum. "Lo lebih cantik kalo rambutnya digerai gini," ujarnya sebelum berjalan menjauh dariku.
Wajahku memanas seketika. Tidak. Ini karena efek cokelat hangat yang aku minum. Pasti karena uap panasnya. Iya, benar. Bukan karena Andrew.
"Dek?"
Aku langsung menoleh ke sumber suara. Sosok itu berjalan mendekat ke arahku. Masih marah, kesal, kecewa, tapi di samping itu juga, terkadang aku merindukan perhatian yang dia berikan.
"Ehhmm...." Kak Ryan berdeham canggung.
Aku berusaha bersikap biasa saja di hadapannya.
"Apa kabar?" tanyanya.
"Baik kok." Aku mencoba tersenyum. Padahal dalam hati, ini cowok di depanku ingin aku maki, aku pukul, sekaligus ingin aku peluk, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Pelukan perpisahan.
"Syukur deh, masih sering ngajar anak-anak?"
"Masih," jawabku singkat.
"Jangan lupa makan, kamu suka telat makan tiap mau ngajar, banyakin minum air putih, biar nggak sering dehidrasi karena kepanasan."
Kenapa masih perhatian? Shit!
"Cewek kakak mana?" tanyaku basa-basi.
"Lagi ganti baju di tenda."
"Oh," jawabku datar. Setelahnya, kecanggungan kembali tercipta di antara kami berdua. Sesekali aku memandangi sekitar yang lumayan sepi. Sesekali bahkan memandangi kuku-kukuku yang sudah mulai panjang.
"Dek, kamu balikan sama Andrew?" tanya kak Ryan tiba-tiba.
"Nggak kok, belum sih lebih tepatnya." Entah kerasukan setan dari mana aku justru menjawab seperti itu dengan santainya. Tapi, rasanya puas melihat ekspresi kak Ryan yang tegang.
"Kalau belum, berarti akan dong, ya?" tanyanya lagi.