Katalis

Aisyah A
Chapter #40

Flashback

- Marina POV -

Aku menaikkan alisku, kemudian tersenyum tipis. "Ah, to bad. Because, I'm Andrew's woman."

Aku mendengar helaan napasnya panjang, sebelum akhirnya kembali bersuara. "I see."

"Sorry, I forgot, what can I help you again?"

"Just tell Andrew that I called him. Thank's!" ujarnya dengan nada bicara yang tak ramah sebelumnya.

"Will do." Aku menjawabnya singkat, kemudian mematikan sambungan telepon. Aku meletakkan ponsel Andrew kembali di atas meja. Hingga akhirnya, Andrew sudah kembali duduk di sampingku dan meletakkan satu porsi besar Mac N Cheese di atas meja.

"Dari siapa, Na?"

Aku menatap Andrew sekilas. "Awalnya aku kira temen kamu yang namanya Rebecca, tapi pas aku tanya ternyata dia Iris."

"What did she say?"

"Dia cuma mau kamu tahu kalo dia nelpon kamu," jawabku sembari menyendokkan Mac N Cheese ke dalam mulutku.

"I see." Andrew mengangguk pelan, kemudian ibu jarinya mengusap noda makanan di ujung bibirku, membuatku refleks menatapnya.

Dia mengusap pipiku lembut. "Udah gede makannya masih aja berlepotan," ujarnya. Aku mendengus mendengarnya.

"Ndrew?"

"Hmm?" Responsnya sembari mengunyah makanan.

"Kamu nggak penasaran apa yang aku ngomongin sama Iris?" tanyaku yang membuat dia berpikir sejenak.

Dia menyandarkan punggungnya di sofa. "Aku sih udah bisa nebak apa yang dia omongin ke kamu, Na," jawab Andrew santai.

"She said, she's your girlfriend," ujarku.

"And, then?" Andrew menatap lurus ke arahku dengan tatapan yang sulit untuk dibaca.

Aku menghela napasku sejenak. "Aku yakin kamu pasti udah tahu kan maksudnya apa?"

Flashback.

Acara reuni, setelah penampilan aku dan Andrew.

Andrew memelukku begitu erat. Setelah turun dari panggung, udara memang terasa lebih dingin. Apalagi dengan pakaian serba pendek yang aku pakai sekarang.

"Na, nanti akhir bulan temenin aku balik bentar ke Singapura, yuk. Mau urus wisuda, pas banget di sini lagi tanggal merah," ujar Andrew sembari mengusap kepalaku yang bersandar di bahunya.

"Aku bakalan bilang yes sih, selama kamu nggak lagi dalam hubungan bersama seseorang," jawabku datar. Aku tahu apa yang kita lakukan ini sudah di luar batas pertemanan, tapi rasanya aku masih ragu jika tiba-tiba Andrew menginginkan aku lebih dari ini.

"Gimana kalo aku masih dalam sebuah hubungan dengan orang lain?" Andrew menghela napasnya sejenak. "Kamu memilih nggak peduli dengan semua yang kamu rasakan? Sekali saja kamu sadar atas apa yang kita lakukan selama ini bukanlah sekedar kerja sama semata antar teman."

Aku mendongak menatap Andrew yang sedari tadi sudah menatapku begitu intens. "Aku lebih memilih untuk menghilangkan perasaan aku daripada harus merebut milik orang lain."

Andrew tersenyum kecil, entah apa maksud dari senyum itu. "Mungkin aku terlambat buat cerita, dan ini bukanlah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya. Tapi, kamu mau dengerin, kan?"

Aku menjauhkan tubuhku dari Andrew, kemudian mengalihkan tubuhku untuk menghadap Andrew sepenuhnya. "Cerita apa? Cerita aja, aku dengerin kok."

Andrew menghela napasnya pelan. "Pertama, aku mau kamu tahu kalo sekarang aku tidak sedang berada dalam hubungan dengan seseorang." Aku mengerutkan dahiku, pasti Andrew sadar dengan perubahan ekspresiku saat ini. "Aku tahu, itu adalah pertanyaan yang ada dalam pikiranmu semenjak aku mengejar kamu secara terang-terangan akhir-akhir ini."

"Benar," jawabku cepat. "Karena aku pikir kamu masih sama Iris. Well, pertunangan artinya kamu sudah yakin akan masa depan kalian berdua. Dan melihat bagaimana kamu memperlakukan Iris begitu pun sebaliknya, yah, semua orang pasti tahu kalo kalian sedang dalam masa-masa ingin memperlihatkan kemesraan di hadapan orang lain," ujarku santai.

Andrew tertawa kecil. "Tidak, Na." Dia kembali membawaku ke dalam pelukannya. "Aku udah putus sama Iris pas kamu dateng pertama kali latihan di rumah aku."

Aku segera menjauh dari tubuh Andrew. "Jangan bilang karena Iris lihat aku ada di rumah kamu, terus Iris minta putus?" tanyaku semakin merasa bersalah.

Andrew menggeleng cepat. "Tidak, Na. Bukan karena itu." Andrew menghela napasnya sejenak. "Aku yang putusin dia."

Aku mengerutkan dahiku, mencoba untuk menebak alasan seperti apa yang membuat Andrew memilih untuk meninggalkan sosok seperti Iris. "Boleh aku tahu apa alasannya?" tanyaku menyelidik.

"Tentu," jawabnya, kemudian jemarinya mengisi kekosongan jari-jariku. "Dari awal, aku nggak yakin dengan hubungan yang aku jalani dengan Iris. Well, kalo kamu mau tahu, Iris yang nembak aku duluan waktu itu, believe it or not? Dia bahkan sudah nembak aku sampai tiga kali," ujar Andrew, membuatku menatapnya tak percaya.

Lihat selengkapnya