Katalis

Aisyah A
Chapter #41

Revenge

- Andrew POV -

"Aku masih penasaran dari tiga hari yang lalu, gimana ceritanya kamu bisa yakinin mama, bahkan papa semudah itu? Mereka sampai izinin kamu bawa aku ke Singapura, dan itu cuma berdua. Can you tell me? Because, I'm so clueless," ujar Nana saat kita sudah berada dalam pesawat menuju Singapura.

Aku menarik kepalanya untuk bersandar di bahuku. "Well, mereka pasti punya alasan untuk itu. Kamu lihat sendiri apa yang aku lakukan kemaren pas minta izin bawa anak gadisnya pergi beberapa hari. Aku nggak ngasih iming-iming ataupun ancaman apa-apa, kan?" jawabku santai.

Tidak semua hal perlu alasan yang jelas, tapi semua hal memiliki alasan dibaliknya. Dan, tidak semua sejarah itu harus kita ungkap secara gamblang, karena terkadang sejarah juga butuh waktu untuk diungkapkan.

Nana mendongak menatapku. "Nah, makanya aku bingung banget, Ndrew. Kamu tahu? Aku udah deg-degan banget. Bisa pas banget papa lagi di rumah dan aku udah overthinking aja sih kalo nggak bakalan dikasih izin." Dia menggigit bibir bawahnya sebentar. "Tapi aku langsung speechless pas lihat papa nyambut kamu hangat, bahkan sampai meluk kamu dan langsung jawab buat izinin aku pergi sama kamu."

"Kamu nggak seneng?" tanyaku.

"Bukannya nggak seneng, saking senengnya sampai nggak percaya, it's amazing," ujarnya sembari menggelengkan kepala lucu.

"Yaudah, daripada mikirin itu, mendingan kamu pikirin deh mau ke mana aja di sana? Nanti pasti aku temenin."

Mata Marina berbinar seketika. "Seriously?"

Aku mengangguk cepat. "Yes, Princess."

Dia tersenyum lebar, kemudian kembali menyandarkan kepalanya di bahuku sembari berpikir keras. Aku mengusap pipinya lembut sambil menikmati perjalanan kami yang tersisa dua puluh menit lagi.

"Do you need to sleep there?" tanyaku saat menunggu taksi. "At Sheraton Tower, I mean," lanjutku dengan menyebutkan salah satu nama hotel yang terletak dekat dengan kampusku.

"What do you mean, Andrew?" tanyanya.

Aku menoleh sekilas ke arahnya. "Tidur aja di apartemen aku, Na," tawarku padanya.

Nana tidak langsung menjawab, melainkan sibuk menatap jalanan di hadapan kami. "Are you sure your house is clear?"

Aku mengerutkan dahiku. "Clear from what?" tanyaku bingung.

"Your girlfriend?"

Aku menoleh ke arahnya cepat. "What? Na...."

"Okay. Ayo, ke apartemen kamu," ujarnya cepat sembari terkikik geli melihat ekspresiku yang kesal.

"Serius?"

"Sebelum aku berubah pikiran lagi," jawabnya sembari mengerucutkan bibirnya.

Aku mengacak rambutnya pelan. "Kamu ini jago banget ya ngeledek aku?" Aku berdecak. Sedangkan Nana, hanya meringis sembari tertawa kecil.

Taksi yang kami tumpangi telah sampai di One North Residence, tempat di mana aku dan kak Andreas menghabiskan waktu selama tiga tahun ini.

"Kamu tinggal sama Andreas di sini berdua aja?" tanya Nana saat kami memasuki lift menuju lantai delapan.

Aku tidak menjawab pertanyaan Nana dan sibuk mencari sesuatu dari dalam tas. Tidak lama kemudian aku mengeluarkan access card dan menyerahkannya kepada Nana. "Just use it whenever you need. Aku bakalan kirim passcode-nya dichat."

Nana mengerutkan dahinya. "Are you crazy?"

"No." Aku menunduk dan membawa Nana ke dalam pelukanku, beruntungnya hanya ada kami berdua di dalam lift. Aku tersenyum tipis. "Kalo kamu lagi suntuk, atau kamu butuh liburan dan aku nggak ada di samping kamu, kamu bisa ke sini sesuka kamu, Na."

Nana menghela napasnya pelan. "Jangan aneh-aneh deh, Ndrew." Dia menarik tas ranselku dan berniat memasukkan access card itu kembali, namun dengan cepat aku mengambilnya dan memasukkannya ke dalam D&G yang Nana pakai.

"Nggak apa-apa, Na, anggap aja kayak rumah kamu sendiri." Aku mengecup pipinya sekilas. Kemudian kami keluar lift. Aku mulai memasukkan delapan digit angka hingga pintu terbuka. "Welcome! Ah salah, apakah aku harus bilang 'Welcome home, Na!'?"

Nana tertawa setelahnya, kemudian berjalan memasuki apartemenku terlebih dahulu. Setelah memasukkan koperku dan koper Nana, tanganku beralih untuk menutup pintu apartemen. Aku langsung mengambil handbag Nana yang sedang sibuk memperhatikan sekeliling dan meletakkannya di atas meja.

Aku membalikkan badan Nana untuk menghadap ke arahku. Aku menatapnya lekat-lekat. "Padahal kita nggak ketemu baru tiga hari, tapi kamu udah bikin aku serindu ini." Aku mengecup keningnya. "Should I say I miss you, Na?"

"No, you don't have to." Nana tersenyum, kemudian menyandarkan kepalanya di dadaku.

"Kayaknya aku harus sering-sering mandi air dingin selama kamu di sini, Na," ujarku yang membuat Nana menjauhkan diri dariku dan menatapku tajam. Aku terkekeh setelahnya, dan kembali menarik tubuhnya mendekat.

"Aku ini cowok normal, Na." Aku menangkup wajahnya, kemudian mengecup pipinya cepat. "Tapi aku tahu batasannya."

Nana balik menangkup wajahku, membuatku tersentak seketika. "Really?" Dia tersenyum menggoda ke arahku.

Aku menghela napasku. "Na, aku udah bilang kalo aku laki-laki normal loh."

Lihat selengkapnya