- Andrew POV -
Sore harinya, aku dan Nana kembali ke kampus untuk pengambilan toga. Aku mencobanya di sebuah ruangan khusus, dan Nana menunggu di luar ruang ganti. Toga National University of Singapore untuk program sarjana lebih dominan berwarna navy.
Saat aku keluar Nana langsung tersenyum lebar ke arahku. "Wah!" Serunya, kemudian beranjak dari kursinya dan menghampiriku.
"Kamu ganteng banget, Ndrew," ujarnya dengan tatapan kagum, dia berjalan memutariku dengan ceria.
Aku terkekeh melihat tingkah lucunya, kemudian menangkup bahunya agar berhenti bergerak. "Aku kan emang ganteng dari dulu, Yang," ujarku yang membuatnya berdecak.
"Sayang banget, aku masih lama pake ginian," ujarnya sembari merapikan toga yang aku pakai.
Aku melepaskan mortarboard, semacam topi wisudanya dan mendaratkannya ke puncak kepala Nana. Kemudian jari-jariku merapikan rambut Nana, agar tak menutupi wajahnya.
Cantik. Sangat cantik. Harus berapa kali aku bilang kalo Nana itu cantik, biar aku tidak usah bilang setiap hari? Sepertinya tak terhingga, soalnya setiap lihat Nana bawaannya ingin bilang cantik sampai mulut berbusa.
"Yaudah, coba pake punya aku dulu, nanti nyusul tahun depan," ujarku yang membuat senyum Nana semakin semringah.
"Ntar aku mau foto-foto, kamu sih kecepatan, baru tiga tahun udah lulus aja," gerutunya sembari memainkan tali di topi tersebut ke kanan dan ke kiri.
"Biar bisa nyari duit buat kamu secepatnya," jawabku yang membuat Nana tertawa seketika.
"Kamu nggak mau ambil S2 kayak Andreas?" tanyanya.
Aku menarik tubuhnya hingga menabrak dadaku."Mau, tapi mau di Indonesia aja, biar bisa lihat kamu tiap hari," ujarku sembari mencolek ujung hidungnya.
"Sayang loh, mendingan kamu ambil di mana gitu yang bagus sekalian, kamu kan pinter," ujarnya.
Aku menatapnya lekat-lekat. "Kamu nggak mau deket-deket sama aku?" tanyaku menyelidik.
"Nggak gitu, aku pasti pengen banget deket sama kamu, tapi kalo kamu emang niat untuk sekolah lagi di luar, aku bakalan dukung kamu, Ndrew. Kamu berhak menentukan masa depan kamu kayak apa, jadi jangan pernah jadiin aku alasan, karena aku bakalan dukung apa pun alasan kamu," ujarnya sembari tersenyum.
Beruntung sekali aku punya pacar seperti Nana. Sangat pengertian, sampai rasanya hatiku terenyuh mendengar kata-katanya.
Akhirnya, setelah memilih ukuran yang sesuai, kami berjalan keluar ruangan. Saat kami berjalan melewati Central Library Building, Nana berhenti sejenak menatap ke arah NUS CO-OP@CENTRAL FORUM, salah satu book store yang ada di sini.
"Ke situ dulu yuk, Ndrew," ajak Nana.
Aku mengerutkan dahiku. "Beli apaan, Na? Ntar kan bisa beli di Gramedia Jakarta pas pulang."
Namun, Nana tetap menyeretku untuk masuk ke dalamnya. "Aku mau beli pulpen sama pensil yang ada tulisan National University of Singapore-nya. Ayo, ih," serunya. Mau tidak mau aku hanya mengikutinya masuk ke dalam.
Kami langsung menuju ke deretan pensil dan pulpen. Aku hanya memerhatikan gerak-gerik Nana yang sibuk memilah-milah beberapa pensil dan pulpen dengan serius. Sesekali pipinya menggembung, matanya menyipit, kemudian bibirnya tersenyum sendiri.
Aku mendekat dan mencubit kedua pipi Nana. "Kamu gemesin banget sih, sayang. Mana pipi kamu tambah gembul gini, kamu banyak makan, ya? Hmm?" Nana hanya pasrah tanpa perlawanan, aku sudah sangat sering melakukan hal ini hingga dia sudah tak terpengaruh sedikit pun.