Katalis

Aisyah A
Chapter #44

I Want to Hug You

- Andrew POV -

Berawal dari pertemanan, kemudian dekat, dan akhirnya cinta. Itulah fase yang biasa dialami oleh mayoritas dari jenis spesies manusia di bumi ini yang dinamakan wanita. Memang tidak semuanya, tapi kebanyakan seperti itu.

Entah kenapa aku malah bahas tentang perasaan sebagai pembuka. Mungkin karena gadis di sampingku ini sedang memperlihatkan ekspresi cemberut ke arahku. Dia diam seribu bahasa, padahal dari tadi aku sudah berbicara panjang lebar.

Kalian mau tahu apa penyebabnya?

Di saat gadis-gadis di luar sana melarang kekasihnya untuk bertemu dengan sang mantan. Nana justru sebaliknya, dia memaksaku untuk bertemu dengan Iris yang sore tadi mengirimkan pesan singkat padaku, yang isinya mengajakku untuk bertemu. Dan, Nana adalah orang pertama yang membacanya.

"Listen to me, Na. Misalnya nih ya, ibaratnya kamu sama aku baru kenal, terus deket, abis itu temenan, dan pada akhirnya aku suka sama kamu. Apakah kamu harus tanggung jawab atas perasaan yang tumbuh di hati aku?" tanyaku yang membuat matanya berkedip beberapa kali.

"Tanggung jawab?" tanya Nana yang kini beralih duduk di sampingku sembari memakan potongan terakhir kue tiramisu yang kami beli tadi sore.

Aku mengangguk pelan. Nana menggigit bibir bawahnya. Dia meletakkan piring kecil yang dia genggam di meja, kemudian entah dorongan dari mana dia mendaratkan telapak tangannya hingga menyentuh dadaku. "Andrew?" ujarnya dengan suara lirih.

Aku mengangkat satu alisku, heran dengan perubahan ekspresinya yang tiba-tiba melunak. "Hmm?"

"Aku kan nggak hamilin kamu, kenapa aku harus tanggung jawab?" ujarnya dengan wajah polos.

Aku menghela napas, kemudian mengubah posisiku dengan membaringkan diri di atas sofa bed. Padahal aku berusaha memberikan pengertian ke dia, tapi malah jadi kesal sendiri. "Lupakan."

Nana mengerucutkan bibirnya. Dia berbaring di lenganku dan menghadap ke arahku. "Pertanyaannya salah, Ndrew, diibaratkannya tuh gini, gimana kalo aku suka sama kamu, kamu mau tanggung jawab? Di saat ada orang lain yang juga suka sama kamu?"

Aku mencoba mengerti maksud ucapan Nana, kemudian memiringkan tubuhku menghadapnya yang kini sedang menatapku intens. "Misalnya nih ya, kita ibaratkan, kita deket, abis itu temenan, dan aku suka sama kamu. Apakah kamu akan tanggung jawab atas perasaan aku?" ujar Nana.

Aku mendengus. "Aku kan nggak hamilin kamu, kenapa aku harus tanggung jawab?" jawabku mengcopy jawaban Nana sebelumnya.

"Yaudah." Senyum Nana melebar. "Kalo gitu hamilin dulu, baru tanggung jawab," usulnya.

Aku melongo tak percaya dengan ucapan Nana, kemudian menyentil dahinya pelan. "Jangan ngomong gitu ke sembarang orang, bahaya!"

"Emang kalo ngomong ke kamu, nggak bahaya gitu?" tanyanya datar tanpa dosa.

"Ya, menurut kamu bahaya nggak?" Aku justru balik bertanya.

Nana mengetukkan jarinya di atas bibir, terlihat dia sedang berpikir. "Hmm.... Bahaya sih, soalnya kan kamu ngaku kalo kamu itu laki-laki normal yang manly." Aku hanya bisa menghela napasku pelan, sembari mengelus dada, jika kelakuan aneh Nana sedang kumat. "Tiramisunya nggak hilang-hilang dari lidah, padahal kuenya udah habis, tapi rasanya masih ada. Ibaratnya hubungan dengan mantan, statusnya memang udah nggak ada, tapi kenangan dan perasaan tetap ada. Nggak hilang," ujar Nana lagi.

"Bawa-bawa mantan, ingat Ryan?" tanyaku yang membuat kedua mata Nana melotot seketika.

"Nggak tuh, aku malah teringat sama Iris," jawabnya tanpa ragu. "Lagi pula, ngapain ingat mantan kalo di depan aku udah ada masa depan?" lirihnya, namun aku bisa mendengarnya dengan jelas karena jarak kami yang terlampau dekat.

Aku menarik pinggang Nana agar semakin memangkas jarak di antara kami. "Itu harusnya kata-kata dari aku buat kamu, Na, biar kamu nggak maksa aku buat terima ajakan Iris. Dia kan cuma masa lalu, kalau kamu kan masa depan," jawabku.

"Ndrew, aku yakin dia bakalan tetep nungguin kamu di sana sampai Starbucks tutup. Kamu nggak kasihan gituin anak orang?" gerutunya yang membuatku menunduk untuk beberapa saat.

"Na?"

"Ndrew, dengan kamu terima ajakan dia buat ketemu, bukan berarti kamu harus tanggung jawab dengan perasaannya. Kamu hanya menghargainya, nggak ada yang bisa mengontrol perasaan, kayak aku waktu itu. Walaupun waktu itu kamu udah punya pacar, aku juga sama. Tapi, perasaanku tetep sama kamu." Tangan Nana mengusap pipiku lembut. "Dan, pasti perasaan Iris ke kamu itu sama. So, datang, temuin dia, dengerin apa yang mau dia sampaikan, dan jawab sejujur-jujurnya." Nana mengakhiri kalimatnya dengan sebuah senyuman.

"Kamu yakin?" tanyaku memastikan.

Dia mengangguk pelan. Aku membawanya ke dalam pelukanku, kemudian mengecup keningnya. "Aku cuma takut kamu nggak nyaman kalo aku masih berhubungan dengan Iris. Tapi, kalo ini permintaan kamu, aku nggak bisa nolak," lirihku.

"Aku percaya kamu kok, Ndrew," jawabnya.

Aku melepaskan pelukanku kemudian beranjak dari sofa bed. "Ndrew?" panggilnya.

Aku langsung menoleh ke arahnya. "Kenapa? Kamu berubah pikiran, kan?" tanyaku dengan senyum yang sudah melebar.

"Ketemunya di Starbucks, kan?" tanyanya, yang aku jawab dengan sebuah anggukan kecil.

Dia tersenyum. "By the way, aku ngidam pengen makan Signature Chocolate Cake-nya Starbucks, sekalian beliin, ya?" pintanya.

Senyumku luntur seketika, aku pikir dia berubah pikiran dan tidak memperbolehkan aku untuk pergi. Aku mengusap kepalanya. "Iya, mau berapa slice?" tanyaku.

Nana mulai menghitung jarinya, hingga sampai hitungan ke tujuh. Kemudian dia memperlihatkan telunjuknya padaku. "Satu aja," jawabnya sembari tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang rata.

"Yaudah. Tunggu, ya." Saat aku akan berjalan menuju pintu keluar, Nana kembali memanggil namaku.

"Ndrew!"

Aku berbalik menatapnya. "Kenapa lagi, sayang? Mau nambah lagi yang lain?" tanyaku lembut yang dia jawab dengan gelengan kecil.

"Terus?"

"Kamu nggak mau ganti baju?" tanyanya.

Aku memandangi setelan yang aku pakai. Celana training hitam dengan t-shirt putih bertuliskan 'Comfort', tidak ada yang salah dari penampilanku. "Emangnya kenapa?" tanyaku.

"Kan mau ketemu mantan, nggak pengen apa dibilang tambah ganteng?"

"Aku mau pakai apa aja juga tetep ganteng, Yang. Apalagi kalo nggak pakai apa-apa."

Bukk!

Nana melemparkan dua bantal sofa ke arahku, untungnya aku langsung menghindar, kemudian tertawa melihat ekspresi wajah Nana yang terlihat lucu.

"Cieee, ngebayangin!"

"ANDREW!" teriaknya.

Aku langsung berlari ke arah pintu keluar sebelum jurus cubitan khas Nana menyerang. Namun sebelum memasuki lift, aku kembali berbalik dan masuk ke dalam apartemen. Aku melihat Nana yang sedang memungut bantal yang berserakan di lantai.

Dia menoleh ke arahku. "Udah? Kok cepet banget?" ujarnya. Aku berjalan ke arahnya, kemudian merengkuh tubuhnya dengan erat.

"Lupa peluk," ujarku yang membuat tubuh Nana kaku seketika. Aku terkekeh kemudian mengecup pipinya sekilas sebelum benar-benar menjauh dari hadapannya.

***

Aku memesan Signature Chocolate Cake pesanan Nana dan segelas Americano, kemudian mataku mengalihkan fokus pada Mermaid Cheese Cake yang tertata rapi di sampingnya. Aku menghela napas sejenak.

"I want to have a slice of Mermaid Cheese Cake, too," ujarku ramah.

Tidak butuh waktu lama, aku membawa pesanan tersebut ke sebuah meja di salah satu sudut Starbucks. Aku menyodorkan Cheese Cake tersebut ke hadapan Iris. Dia tersenyum menatapku.

"Thanks," ujarnya. Aku hanya mengangguk pelan, kemudian menarik kursi yang berhadapan langsung dengan Iris dan menyeruput Americano dalam genggamanku.

"Bye the way, sejak kapan kamu suka Chocolate Cake?" tanyanya sembari menatap paper bag yang aku letakkan di salah satu meja yang kami tempati.

"Pesanan Nana," jawabku.

"Oh, I see." Dia memaksakan senyumnya. "Kirain kamu bakalan dateng ke sini diem-diem," lanjutnya yang membuatku mengerutkan dahiku tidak mengerti.

"Why? Aku nggak ada alasan buat menyembuyikan pertemuan kita," jawabku setenang mungkin.

Dia mengangguk pelan, kemudian mulai mengambil satu sendok Cheese Cake dan memasukkannya ke dalam mulut. "Well, kamu masih inget aja favorit aku," ujarnya sembari memperlihatkan hasil potongan Cheese Cake di sendoknya.

"Aku belum pikun, bahkan aku inget, meja ini adalah meja di mana pertama kali kita ketemu. Right?" jawabku sembari menatap suasana yang masih sama. Tidak ada yang berubah sedikit pun.

"Tante Miranda sama Om Anthon gimana kabarnya?"

"Baik." Aku tetap jawab meski sedikit bingung dengan perubahan topik yang secara tiba-tiba.

"I miss them," ujar Iris. "Padahal baru sebulan yang lalu aku ketemu sama mereka. Aku seneng karena mereka memperlakukan aku dengan sangat baik." Iris mengakhiri ucapannya dengan sebuah senyuman.

Suasana menjadi hening seketika. Aku hanya menatapnya dalam diam. "Apa yang sebenarnya mau kamu bicarakan?" tanyaku memecah keheningan.

Dia menghela napasnya, kemudian mengalihkan pandangan pada jendela samping dengan view sebuah taman. "You didn't look excited when I talk about your parents."

"Correct me if I wrong, aku nggak inget kamu pernah ngomong kalo orang tuaku memperlakukanmu dengan baik. I mean, kamu selalu mengeluh sama sikap dinginnya papi dan cerewetnya mami sebelumnya. Bukankah seperti itu?"

Iris tersenyum. "Aku hanya menyadari kalo mereka nggak suka sama aku, aku hanya ngomong apa yang aku rasakan, Andrew," jawabnya tenang.

"Well, they likes you already, mereka nggak punya alasan untuk nggak suka sama kamu," terangku. Orang tuaku cukup fair dalam hubungan anak-anaknya, entah pertemanan ataupun hal yang lebih sensitif. Bagi mereka, kebahagiaan anaknya adalah yang paling utama.

Iris meletakkan sendok kuenya dan menatapku lekat-lekat. "So, it's true?"

"About?"

"Your girlfriend?"

Aku merasa pertanyaan Iris bukanlah sesuatu yang membutuhkan jawaban, karena jelas dia sudah tahu jawabannya dengan baik.

"Just tell me, Andrew. Itu cuma kabar burung yang nggak sengaja aku denger, kan? Jangan biarkan aku membuat persepsi kalo kamu ninggalin aku emang karena dia." Matanya terlihat berkilatan, meski nada bicaranya masih terlihat tenang.

"Itu bukan urusan kamu, kan?"

"Andrew, I'm asking you seriously."

Aku mengerutkan dahiku. "I'm also answering you seriously, Iris. What should I say then?"

Lihat selengkapnya