- Marina POV -
Aku dan Andrew menikmati sore hari ini dengan sedikit bersantai setelah perjalanan yang cukup melelahkan. Dan sepertinya, cacing-cacing di perut kami sudah keroncongan. Kami memutuskan untuk mampir di salah satu kafe dekat Haw Par Villa bernama Paddy Hills.
Kafe minimalis ini benar-benar cozy and friendly place. Ornamen-ornamen shabby chic banyak bertebaran di mana-mana, membuat kami nyaman untuk berlama-lama berada di dalamnya.
"Nih." Andrew menyodorkan pancake pesananku yang telah dia potong kecil-kecil.
Aku tersenyum ke arahnya. "Makasih," ujarku lirih.
"Makasih apa?" tanya Andrew yang membuatku sedikit memiringkan kepala.
"Makasih banyak?"
Dia menggeleng pelan.
"Makasih karena udah potong pancake punyaku?"
Dia kembali menggeleng pelan, sudah persis seperti orang India.
"Makasih apa dong?" Akhirnya aku menyerah, jika perdebatan ini tak kunjung selesai, cacing-cacing di perutku akan terus berdemo setelah menghirup aroma pancake cokelat yang begitu menggoda ini. Kalau kalian bertanya, lebih menggoda mana dengan bibir Andrew? Jawabannya tetap pancake, soalnya Andrew tidak bisa dimakan. Hehe.
"Makasih, Sa...." Andrew menjeda kalimatnya, tidak berniat melanjutkannya.
"Sa?" Aku mengerutkan dahiku. Padahal aku sudah menebak kelanjutannya.
"Sa apa?" tanyanya.
"Sa...." Andrew menaikkan kedua alisnya, menunggu kelanjutan kalimatku. "....Ngat?"
Andrew terdiam untuk beberapa saat sambil mengedipkan matanya, kemudian menghela napasnya berat. "Lupain aja."
Aku terkekeh, kemudian mengambil satu potongan kecil pancake milikku dan menyodorkannya ke hadapan Andrew. Andrew menatapku bingung.
"Anggap saja ini sebagai ucapan maaf, karena udah bikin kamu kesel. Jadi, kamu aku kasih kesempatan pertama untuk menyicipi pancake-ku," rayuku. Dia menatapku dengan tatapan menelisik, namun kemudian membuka mulutnya.
Saat dia sibuk mengunyah pancake dalam mulutnya, tanganku terulur dan mengusap kepalanya pelan. "Pinter, sayangku." Tak lama, senyumnya mengembang kembali.
Tiba-tiba, bau yang menyengat masuk ke dalam hidungku, membuatku sedikit terbatuk. Andrew menatapku sekilas, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada sosok laki-laki yang tak jauh dariku sedang merokok dengan santainya. Padahal di sudut tertulis dengan jelas, tentang larangan merokok di kafe ini.
Andrew langsung mengambil orange juice dan americano dari atas meja. "Bawa pancake sama lasagna-nya," ujar Andrew.
Aku segera mengikuti langkah Andrew berpindah tempat duduk yang sedikit lebih jauh. "Udah nggak kecium kan baunya?" tanyanya, dan aku mengangguk pelan.
"Siapa sih yang mempopulerkan kalimat 'Peraturan itu dibuat untuk dilanggar?'" gerutunya, membuatku mendongak menatapnya yang kini berwajah masam. "Minum jusnya banyak-banyak," titahnya. Aku hanya menuruti ucapannya.
"Awalnya, bukannya kita juga melanggar aturan, Ndrew?" Andrew mengerutkan dahinya, kemudian tersenyum kecil ke arahku.
"Benar juga," lirihnya. "Dan aku tak merasa bersalah sedikit pun saat itu, bahkan sekarang pun demikian."
Dia menyesap americano miliknya sebentar, sebelum mengedarkan pandangan ke arah lain dari sudut kafe ini. "Perasaanku saat itu tak bisa dicegah sekuat apa pun penghalangnya. Entah kenapa, aku merasa terikat kuat denganmu. Puncak tertinggi dari sebuah hubungan di atas persahabatan adalah cinta, dan saat itu kita sudah dalam tahap itu."
Aku tersenyum, kemudian menyuapkan Andrew pancake milikku. Kalian semua pasti tahu, bagaimana kami menentang sebuah ketidakmungkinan, bagaimana kisah kami yang menggebu satu sama lain, atau cerita tentang bagaimana kami mengakhiri semua karena ketidakberdayaan kami? Ya, saat itu kami memilih untuk menyerah.
"Terkadang, melewati batas itu terasa begitu menyenangkan dan mendebarkan di saat yang bersamaan. Tapi sekarang, aku berusaha untuk mengikuti garisku, Na, meski belum sepenuhnya sesuai."
Aku berharap, garisku dan garisnya akan bertemu di sebuah titik yang saling bersinggungan, kemudian membuat garis yang baru bersama-sama, hingga sebuah titik batas kami berdua nantinya.
"Hm.... Ndrew, someone just texted me."
"Who?" tanya Andrew sembari menyendokkan lasagna ke arahku. Aku mengunyah sebentar, sebelum menjawab pertanyaan Andrew.
"Your ex." Andrew menatapku sekilas, sebelum kembali memakan lasagna di tangannya.
"Dia ngomong apa?"
"Dia minta untuk ketemuan."
"Tujuannya?"
Aku mengedikkan bahu. "No idea," jawabku. "Well, aku belum bales sih, makanya itu aku kasih tahu kamu sekalian aku mau tanya, bagusnya aku harus jawab apa?"