- Andrew POV -
Flashback on....
Satu tahun yang lalu.
"Nak Andrew, kan?" Suara itu membuatku menoleh, kemudian tertegun sesaat, sebelum cepat-cepat menyelesaikan masalah tali-temali sepatuku dan menyalami sosok yang tadi menyapaku.
"Benar, om," jawabku.
Om Pras, ayah Marina, sudah duduk di sampingku dengan sepatu hitam yang baru saja dia letakkan di hadapannya. Belum selesai dia pakai.
"Nak Andrew, kenapa ada di sini?"
Aku terdiam sejenak, kemudian tersenyum. "Saya hanya baru saja selesai menjalankan kewajiban saya, om."
Om Pras terdiam, tak langsung menjawab. Dia terlihat berpikir sejenak. Aku tahu, dia cukup kaget dengan jawabanku barusan.
"Ndrew?" Suara papi terdengar di telingaku. Dia beralih pada sosok di sampingku. "Wah! Pak Pras, ketemu lagi di sini," ujar papi pada Om Pras, kemudian mereka langsung bertukar salam.
"Iya, Pak Anthon."
Papi tersenyum ke arah Om Pras, dan beralih padaku yang hanya diam. Dia paham situasinya. "Ini Andrew, anak saya. Dia saya minta untuk membuat proyek APD yang bekerja sama dengan Pak Pras selama kuliahnya libur, makanya dia bisa ada di Pangkalan Militer ini," terang papi yang membuat Om Pras mengangguk paham.
"Gimana kalo kita makan siang bersama dulu?" Papi mengalihkan perhatiannya ke arahku. "Kamu udah selesai, kan?" tanya papi.
Aku mengangguk pelan. "Sudah kok, Pi."
Papi tersenyum dan mengalihkan perhatiannya ke arah Om Pras. "Bagaimana Pak Pras, apakah Bapak ada waktu?"
Flashback off....
"Ndrew, minggu depan jangan bikin schedule yang lain, inget Ara!" seru mami sebelum aku keluar rumah.
"Iya, mi," jawabku.
"Mau ke mana? Pagi tadi dicariin sama Yuta."
"Ketemu temen-temen, ntar bilang aja suruh nyusul ke Caramel. Mami udah kayak wartawan tahu nggak nanya-nanya mulu? Mami kenapa sih?" Aku akhirnya berbalik menatap mami yang lagi berdiri menatapku.
"Nggak apa-apa, mumpung kamu belum nikah, mami pengen ngatur-ngatur kamu sepuasnya." Aku menghela napasku pelan. Mungkin ini syndrome orang tua yang anaknya mau punya pasangan.
"Ya udah, Andrew pergi dulu ya, mi," ujarku sembari menyalami tangan mami, kemudian mami jawab dengan anggukan kecil.
@Caramel Cafe
"Andreas is really did it?" Aku, Haikal, Fardan, Rayhan dan Kak Yuta sebagai personel terakhir yang duduk mengelilingi meja kotak dengan kak Andreas sebagai bahan obrolan.
"Yes! Tadi pagi dia bilang ke mami mau lamar Cindy sebelum mulai kuliah di Jepang."
"So, undangan selanjutnya dari lo?" tanya Haikal dengan tatapan jahilnya menatapku.
Aku tertawa seketika. "Lo nggak minat jadi yang kedua?" tanyaku balik.
"Yes! He is not single anymore," ujar Fardan.
"Seriously?" Aku menegakkan punggungku seketika. "Siapa? Siapa?" tanyaku penasaran.
"Yang dulu," jawab Fardan lagi.
Aku mengerutkan dahiku. "Yang dulu? Shit! Layla, maksudnya?" Ketika Fardan tak menjawab, aku langsung tersenyum lebar ke arah Rayhan dan Kak Yuta yang tidak paham apa yang sedang kami bicarakan. "Layla, cinta pertama Haikal pas kelas satu SMA, abis itu dia pindah. Dan, entah gimana ceritanya tiba-tiba udah pacaran aja sekarang."
Aku menepuk bahu Haikal. "I'm totally happy for you, Bro!" Haikal terdiam, namun tak bisa menyembunyikan senyum tipis di bibirnya. "Layla itu ... Nggak ngerti sih, dari dulu lihat kalian cocok aja gitu."
"Sok tahu lo, Kambing!" umpat Haikal.
"Ye, dasar Monyet! Ntar ajaklah ke nikahan sodara gue."
"Oh. Si Ara, ya? Udah lama juga nggak ketemu dia setelah lulus SMP, dia pindah ke mana sih?" tanya Haikal.
"Lulus SMP dia ke Aussie sama sodara yang di sana, sampai ketemu jodohnya dan sekarang balik mau nikah."
Haikal mengangguk pelan.
"Adek lo masih single kan, Ndrew?" tanya Fardan yang membuatku langsung menoleh ke arahnya.
"Airyn maksud lo?" Fardan mengangguk seketika. "Lo naksir adek gue?" tanyaku sembari memicingkan mata.
"Emang Airyn mau?" tanya kak Yuta yang terdengar seperti meledek.
Fardan terkekeh. "Gue sih pengen, tapi sayang, beda kolom KTP."
Aku mengangguk paham. "Tiara mau lo kemanain?"
"She leaves me. Ngapain gue pertahankan? Lagi pula, dia terlihat lebih baik tanpa gue." Jujur Fardan dengan tampang datarnya, kemudian dia menyesap cappucino di hadapannya. "Oh ya, gue pengen nanya ke lo mumpung inget, Tiara sama Ina kenapa? Kok mereka kelihatan jarang bareng sekarang?"
Aku mengedikkan bahu. Aku jadi teringat pesan yang dikirimkan Tiara tempo hari yang langsung aku hapus. Mungkin hanya pengamatanku saja, atau memang Tiara sedikit berubah semenjak aku memergokinya jalan bertiga dengan Ryan dan Nabila.
"Kalo lo gimana?" tanya Haikal pada Kak Yuta.
"Belum nemu yang pas," jawab kak Yuta.
Haikal tertawa mendengar jawaban kak Yuta. "Bukannya kakak-kakak S2 di sekitar lo cantik-cantik, ya?"
"Yah, Kak Yuta aja yang emang masih nggak mau komitmen," ujarku. "Lihat aja tampilannya kayak gitu, udah gue bilang kalo dia itu fuck boy tingkat legend."
"Kagak kali," bela kak Yuta.
"Kagak dengkulmu!" seruku. "Coba lo tulis tuh nama-nama mantan lo! Habis dah dijadiin satu skripsi buat kelulusan Haikal."
"Bangke lo pada!" umpat kak Yuta. Semua tertawa melihat wajah kesal kak Yuta.
"Ndrew?" Aku langsung menoleh dan mendapatkan Nana yang tersenyum menghampiriku. "Yuk," ajaknya.
Aku mengangguk, kemudian menatap teman-temanku. "Gue pergi dulu, ibu negara udah dateng," ujarku sembari berdiri, dan membuat mereka menatapku malas.
"Na, besok ada job, jangan lupa," seru Haikal.
Nana menoleh ke arah Haikal saat aku menggenggam tangannya. "Siap, bos! By the way, gue ketemu sama Layla di depan kampus, dia tadi nanyain lo."
Mata Haikal melebar dan langsung membuka ponselnya. "Shit!" Dia menyambar jaket dan kunci mobilnya. "Gue pergi!" Dia berjalan cepat keluar kafe dengan tergesa-gesa.
"Bucin!" umpatku.
"Halah! Kayak lo nggak aja," gerutu kak Yuta yang membuatku melotot seketika ke arahnya.
Akhirnya, kami keluar meninggalkan para jomblo yang sedang rapat darurat membahas pencarian pasangan. Setelah memberikan oleh-oleh dan makan siang untuk anak-anak asuhan Nana, kami mampir di salah satu restoran seafood terkenal di Jakarta Selatan bernama Lovester Shack.
"Yaelah, jauh-jauh ke sini malah ketemunya Kakak gue lagi." Ucapanku membuat kedua orang yang sedang serius memakan lobster mendongak ke arah kami. "Gue pengen ngomong kalo dunia ini sempit, tapi pasti lo bakal nyahut dengan kalimat 'main lo kurang jauh', true? Jadi, mending gue diem." Aku menarik kursi untuk Nana, kemudian untukku sendiri.
"Meja masih banyak yang kosong, kenapa nggak di meja lain aja sih?" ujar kak Andreas dengan intonasi datar.
"Kak Andre, nggak boleh gitu."
Aku tersenyum ke arah Cindy. "Untung ada calon kakak ipar gue di sini, kalo nggak, gue udah nggak bisa nahan buat nggak ngumpat."
"Apanya yang calon kakak ipar? Cindy lebih muda dari lo kali," protes kak Andreas. Sementara, Cindy dan Nana hanya terkekeh mendengar perdebatan kami.
"Lo nggak mau nyusulin gue?" tanya kak Andreas. Aku menaikkan satu alisku mencoba mengerti arah pembicaraan kak Andreas, dan selanjutnya aku mengangguk mengerti.
"Ntar, kalo Nana udah siap," jawabku sembari menoleh ke arah Nana dengan menaik-naikkan alis. "Kapan skripsinya kelar?"
***
- Marina POV -
Selesai acara pemberkatan dan segala prosesi yang melelahkan, acara pernikahan Arabella akan dilaksanakan nanti malam di Four Season Jakarta. Aku dan semua orang yang digadang sebagai bridesmaid dan bestman dari kedua mempelai harus menahan diri karena acara puncaknya adalah nanti malam. Kami butuh istirahat dijeda waktu ini.
Sebenarnya, mama juga sudah pesan untuk menyewa kamar di hotel tempat resepsi berlangsung. Namun, Arabella dan Christopher sudah terlebih dahulu memesan kamar untuk kami, komplet dengan bridesmaid dan bestman package. Dan, entah bagaimana mereka hanya memesankan satu kamar untukku dan Andrew, serta Cindy dan Andreas, meskipun dengan persetujuan kami tentu saja.
Aku keluar kamar mandi setelah urusan membersihkan segala make up yang aku pakai dan tersenyum setelah melihat Andrew yang sudah tertidur pulas di atas ranjang.
Tanganku mengambil batik yang dia sampirkan asal-asalan dan membereskannya. Aku merebahkan diri di sampingnya. Namun pergerakan tiba-tiba Andrew dengan memelukku, meski matanya masih terpejam membuatku terkejut.
"Kirain kamu tidur," lirihku sembari menatapnya. "Did I wake you up?"
"Yes. Kamu wangi banget, sampai aku terbangun," ujarnya kemudian menarikku semakin dekat. "Jam berapa, Yang?"
"Jam dua, Ndrew, kamu mau dibangunin jam berapa?"
"Kamu mau siap-siap jam berapa?"
Aku terkekeh sejenak, dia tahu banget kalau aku dandan itu paling lama.
"Hm, jam setengah lima atau jam lima cukup, abis itu kita berangkat jam enam lebih lima belasan. Resepsi mulai jam tujuh soalnya."
"Ya udah, bangunin aku jam segitu."
Aku tersenyum kecil mendengar ucapan lirih Andrew. "Oke. Lanjut tidur, gih."
Andrew menggumamkan sesuatu entah apa, hingga akhirnya lima menit kemudian suara napas tenang dirinya terdengar di telingaku.
Aku mengamati wajah Andrew lekat-lekat. Well, melihat Andrew itu sudah menjadi hobi. Entah kenapa kalau melihat dia tidur seperti ini merasa lebih puas saja untuk menikmati keindahannya. Aku merapikan rambut Andrew yang sedikit berantakan. Sepertinya, laki-laki di hadapanku ini sangat kelelahan.
Sepanjang acara tadi Andrew selalu memastikan diriku baik-baik saja. Aku memang tidak terbiasa dengan heels dan harus berjam-jam berdiri, membuat kakiku terasa pegal. Untungnya Andrew selalu ada di sampingku, jadi aku bisa menopangkan tubuhku padanya. Bahkan, masalah makan dan minum pun dia yang mengambilnya. Dia berkata seperti ini, 'Acaranya masih sampai malam, Yang. Mending kamu simpen tenaga kamu, biar nggak habis buat resepsi ntar malem. Dan sekarang kamu andelin aku aja.'
Aku semakin tak bisa menahan senyum saat kembali mengingat ucapan Andrew. Entah mengapa setiap hari aku semakin jatuh pada pesona Andrew begitu dalam.
By the way, aku sudah bertemu dengan Arabella, dan dia sangat baik. Dia bahkan memesankan baju untukku yang notabene baru dia kenal. Entahlah, kami seperti teman lama yang dipertemukan kembali. Dan, tentu saja keluarga Andrew yang lainnya juga menerimaku dengan tangan terbuka, mereka sangatlah kooperatif. Aku bahagia akan hal itu.
Aku memajukan wajahku ke hadapan Andrew, kemudian mengecup pipinya sekilas. Semua takdir ini bergerak seperti mimpi. Dan, satu hal yang belum aku ketahui dari Andrew adalah sebuah alasan yang mungkin belum tepat untuk aku tanyakan sekarang. Dia selalu mengatakan jika alasannya bukan aku, karena kejadian itu bahkan terjadi saat kami berpisah. Namun, rasanya aku masih saja bertanya-tanya dalam hati. Apa sebenarnya yang membuat dia berani mengambil langkah sebesar itu?
Jam lima Andrew keluar dari kamar mandi dengan wajah segar. Aku suka sekali pemandangan rambut basahnya. Entahlah, dia terlihat lebih ... dewasa.
"Kamu nanti nyanyi buat Arabella?" tanyaku pada Andrew. Dia hanya mengangguk. "Kamu kenapa nggak jadi penyanyi aja sih, Ndrew?"
"Kalo aku jadi terkenal, kamu mau punya pacar artis?" godanya sembari mengambil jas khusus bestman di dalam lemari.
"Oke. Lupain aja pertanyaanku tadi. Ndrew, tolong ambilin gaunku sekalian," pintaku.
Andrew kembali membuka lemari dan mengambil gaun berwarna soft pink dari dalam sana. Aku menerimanya dan takjub dengan gaun tersebut. Sebelumnya, aku sudah menerimanya untuk acara pemberkatan dan prosesi. Dan, satu lagi untuk acara malam ini.
"Wah, cantik banget," ujarku kagum. Berbeda dengan gaun sewaktu prosesi yang sudah diberikan beberapa hari yang lalu, sehingga sempat aku kecilkan. Gaun dan jas ini baru kami dapatkan sore tadi.
Aku kembali masuk ke kamar mandi dan keluar beberapa menit kemudian. "Ndrew!"
"Hm?" Respons Andrew yang kini telah duduk di tepi ranjang.
"Tolong zipper-nya," ujarku yang kini telah duduk di meja rias.
Andrew berjalan mendekat, dan terdiam sejenak sebelum menarik ritsleting gaunku ke atas.
Aku berdiri dan menghadapnya. "Wah! Kok bisa pas banget gini sih, Ndrew?" tanyaku takjub melihat gaun yang begitu pas dengan tubuhku. Aku memutar tubuhku di hadapan Andrew.
"Bisa dong, kamu kan nggak bisa ikut fitting waktu itu, terus aku yang ngepasin dengan ukuran badan kamu," jawab Andrew dengan senyuman jumawa.
Aku memicingkan mataku. "Gimana cara kamu ngepasin?" tanyaku menyelidik.
Dia tertawa lirih, kemudian kedua tangannya menarik tubuhku mendekat. "Seperti ini, Na," ujarnya sembari mengungkung tubuhku dalam dekapannya.
Dengan ini, aku bisa mendengar degub jantung Andrew yang begitu nyaring, begitu pun dengan milikku. Aku memejamkan mata sejenak, membiarkan degup jantung itu mengalun seperti nyanyian indah di telingaku.
Beberapa saat kemudian, aku melepaskan pelukanku dan menatapnya. "Kamu mau nyanyi lagu apa nanti?" tanyaku sembari mendongak ke arahnya.
"Arabella request aku sama kak Andreas nyanyi lagu Marry Your Daughter and Beautiful in White."
"Oh, pantesan kamu dari tadi ngulang-ngulang dua lagu itu," ujarku.
"Should I sing for you later?" tanyanya.
"Seriously? When?"
Andrew mendekat dan mengecup pipiku singkat. "Not now, Baby," ujarnya. "On the wedding day, tapi dengan satu syarat."
"Syarat apa?" tanyaku.
Andrew tersenyum lebar setelahnya, memperlihatkan dua lesung pipit yang tercetak sempurna di pipinya. Membuatnya sepuluh kali lebih tampan saat ini juga.
"I'm the one who will stand beside you on your wedding day, as your husband."
Aku terdiam, tak bisa berkata-kata. Entahlah, terkadang aku yakin kalau Andrew adalah penyihir atau dukun, buktinya kedua orang tuaku saja bisa sampai luluh dengan dia dan entah apa alasannya. Sekarang, dia bahkan membuatku tak bisa berkata-kata.
Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, berusaha mencari kembali kesadaranku, kemudian menelan salivaku dalam-dalam. "Kamu nggak lagi ngelamar aku kan, Ndrew?"
Andrew terkekeh kemudian menunduk dan mengecup bibirku. "Sayang, selesaikan dulu skripsinya, baru nanti aku bakalan bilang hal yang lebih serius dari ini," bisiknya di telingaku.
Fix! Aku jadi lebih semangat untuk cepat lulus.
***
- Andrew POV -
Setelah kak Andreas menyanyikan lagu Beautiful in White, kini giliranku menyanyikan lagu Marry Your Daughter.
Very soon I'm hoping that I...
Can marry your daughter
And make her my wife
I want her to be the only girl that
I love for the rest of my life