- Marina POV -
Me : Kamu free nggak hari ini?
Aku memutuskan untuk mengirimkan Andrew pesan di pagi buta ini setelah kesulitan tidur yang aku alami semalaman. Entahlah, akhir-akhir ini banyak hal yang mengganggu pikiranku, terutama skripsi yang tak kunjung selesai.
My Andrew : Free, Yang, kerjaan baru ada lagi lusa kok. Kenapa?
Aku menyunggingkan senyumku.
Me : Gimana kalo kamu nemenin aku olahraga?
My Andrew : Olahraga di mall kan, maksudnya? Okay. Aku jemput jam delapan ya? Kamu nggak usah siapin sarapan, kita sarapan di luar aja.
Yes! Akhir-akhir ini Andrew sering sibuk, makanya kalau ada waktu luang untuk kami berdua, itu adalah salah satu kesempatan yang harus kami manfaatkan sebaik mungkin.
Me : Siap, bos! Makasih :*
My Andrew : Maaf, Na, nggak nerima ucapan terima kasih beserta emotnya via chat, maunya live.
Aku tertawa seketika tanpa berniat membalas pesan aneh Andrew. Dia selalu saja punya cara untuk membuatku senang.
Jam sudah menunjukkan pukul empat sore dan ini adalah ketujuh kalinya aku menyelesaikan pembayaranku. Tujuh kali. Maksudnya, sudah lebih dari tujuh kali juga aku pindah store lebih dari jumlah tersebut. Mengingat tidak semua store membuatku ended up untuk membeli barang di sana, belum lagi durasi yang aku habiskan di tiap store yang tidak bisa dikatakan cepat.
Aku teringat saat masih di parkiran PI, aku sempat melihat jam tangan di tangan kiriku yang menunjukkan pukul sepuluh dan itu berarti aku sudah menghabiskan waktu sekitar tiga jam untuk memutari tempat ini.
Dan, hebatnya lagi adalah laki-laki yang sejak tadi menggandeng tanganku itu tidak pernah mengeluarkan sedikit pun keluhan dari mulutnya. Dengan sabar dia membawakan shopping bag milikku sembari sesekali memberikan opini saat aku mencoba beberapa barang. Mungkin baru kali ini aku bertemu cowok yang seperti dia. Kak Ryan, Fardan, Haikal, atau kak Mario sekalipun yang pernah menemani aku belanja akan berakhir pada marah-marah karena saking terlalu lamanya aku berputar-putar.
Ah, tadi dia menarik aku untuk masuk ke store yang menjual sepatu. Tiba-tiba, dia menyuruh aku duduk. Dia membawa sneaker warna putih dan langsung memakaikannya di kakiku. Tanpa meminta persetujuanku dia langsung membayarnya. Lalu, meminta aku langsung memakai sepatu tersebut.
Saat aku tanya, kenapa dia membeliku sepatu? Dan, dengan santainya dia menjawab; 'Kaki kamu lecet, Na. Aku nggak tega lihat kamu mondar-mandir dengan kaki merah kayak gitu.'
Dan, itu sukses membuat hatiku luluh seketika. Aku memang pakai wedges empat senti, mungkin karena saking seriusnya belanja, aku sampai tidak merasakan sakitnya.
"Kamu laper nggak, Ndrew?" tanyaku pada Andrew.
"Kalo kamu udah laper belum? Kalo aku sih laper terus, jadi nggak perlu ditanya."
Kami tertawa bersama. "Mau makan apa?" tanyaku.
"Hm ... Seribu Rasa, gimana?" tawarnya.
Aku mengangguk pelan. "Oke," jawabku setuju. Seribu Rasa adalah restoran yang menyajikan cita rasa masakan lokal ala-ala dapur keluarga. Ya, lagi pula aku kangen masakan mama, padahal baru tiga hari ditinggal.
"Mampir mushola dulu, yuk," ajak Andrew. Dia melirikku sekilas sebelum kembali fokus ke depan. Senyumku semakin melebar, kemudian mengangguk kuat-kuat. Perasaan hangat semakin kuat menyelimutiku.
Aku selesai terlebih dahulu, Andrew memintaku untuk tidak perlu menunggu dia. Jadi, aku tiba di restoran terlebih dahulu sembari menunggu Andrew.
Beberapa menit kemudian, Andrew sudah duduk di sampingku. "Lama ya, Yang? Maaf, ya?"
"Nggak kok, Ndrew, ini pesenan juga baru dateng." Aku menatap rambut di dahinya yang terlihat masih sedikit basah, wajahnya juga terlihat lebih bersinar. "Maaf ya, kamu pasti capek nemenin aku seharian ini."
"Aku nggak capek kok, Yang. Kalo kamu butuh ditemenin lagi, bilang aja ke aku." Dia mulai mengambil nasi dan menyodorkan ke arahku, kemudian dia mengambil lagi untuk dirinya sendiri.
"Kok kamu betah sih nemenin aku belanja?" tanyaku sembari menyendokkan kuah sup ke dalam piringku.
"Betah dong. Aku seneng nemenin kamu belanja. It's fun to do for me." Dia menebarkan senyum ke arahku.
"Makasih loh, Ndrew. Nanti kalo aku butuh temen belanja, boleh hubungi kamu, ya?"
"Belanja doang?" tanyanya dengan menaikkan satu alisnya.
"Emang maunya nemenin apa?"
Bukannya menjawab, Andrew malah memperhatikanku, setelah itu tersenyum miring dan kembali melanjutkan makannya dengan santai, seolah tidak ada pertanyaan yang perlu dia jawab.
***
"Kamu kenapa nggak bilang kalo ada bimbingan?" tanyaku pada Tiara yang sedang santai memakan cheese burger miliknya di pojokan McD dekat kampus. Aku datang setelah dia memberitahukan keberadaannya beberapa menit yang lalu. Aku menarik kursi di hadapannya dan menatapnya lekat-lekat.
"Emangnya Bu Amanda nggak ngabarin kamu?" Tiara malah bertanya balik.
Aku menghela napasku pelan. "Kamu penanggung jawabnya, dan aku denger dari anak-anak lain kalau mereka dapet chat dari kamu masalah bimbingan itu. Tapi, aku nggak ada tuh terima chat dari kamu," ujarku sembari memperlihatkan isi pesan WhatsApp-ku di hadapannya.
"Oh, berarti aku lupa. Sorry," ujarnya santai.
Aku menatapnya lekat-lekat, kemudian menghela napasku sejenak. "Kamu sebenernya ada masalah apa sama aku sih, Ra? Kalo ada yang kamu nggak suka, kamu bisa langsung ngomong ke aku." Aku berusaha berbicara selembut mungkin.
Tiara menatapku sekilas, namun kemudian kembali pada burger di tangannya.
"Aku minta maaf kalo emang aku ada salah sama kamu," lanjutku.
"Kalo lo nggak merasa bersalah, ngapain minta maaf?" ketus Tiara, bahkan aku terkejut saat Tiara menggunakan kata 'lo' pada kalimatnya.
Aku terdiam menatapnya. Tiara meletakkan burger-nya yang sisa setengah di atas piring. "Lo penasaran kenapa gue kayak gini?" Dia tersenyum tipis. "Lo pasti bertanya-tanya kan alasan di balik ini semua?"
"Lo pantes dikhianati oleh kak Ryan." Aku mengerutkan dahiku. "Lo pantes digituin karena lo sama aja kayak kak Nabila."
"Maksud kamu apa?" tanyaku tidak mengerti. Apa hubungannya masalahku dan Tiara dengan kak Ryan?
"Gue tahu ya, Na, lo sering diajak jalan sama Fardan, pas gue masih sama dia. Lo bahkan jalan bareng Andrew di saat Andrew masih sama Iris, dan saat itu juga lo masih punya pacar. Lo mikir nggak sih perasaan Iris kalo tahu semua itu?"
Mendengar ucapan Tiara barusan menjadi tamparan keras untukku. Oke, aku akui aku memang jahat pada kak Ryan mengenai Andrew. Tapi untuk Fardan, demi apa pun aku selalu mengajak Tiara juga, tapi dia yang selalu sibuk dan akhirnya aku berakhir berdua dengan Fardan atau bertiga dengan Haikal.
Hingga akhirnya, tanpa bisa aku tahan, aku menangis. Bukan karena semua hal yang telah terjadi, tapi karena ternyata aku telah menyakiti sahabatku sendiri tanpa aku sadari.
"See? Lo tuh ya nggak usah peduli sama gue lagi. Lo tuh munafik dan saat dalam keadaan kayak gini, lo bisanya cuma nangis. Lo merasa paling tersakiti di sini dengan pengkhianatan kak Ryan, padahal lo nggak ngaca apa yang udah lo lakuin ke orang-orang di sekitar lo!"
"Aku nggak bermaksud kayak gitu, Ra," ujarku. "Aku cuma ingin tahu kenapa kamu jauhin aku, kalo aku ada salah itu diingetin. Aku pengen kita balik kayak dulu lagi. Dan untuk masalah kak Ryan, aku tahu aku salah, begitu pun Kak Ryan melakukan kesalahan. Bukankah itu impas?"
"Apa yang lo tahu sih, Na? Lo nggak tahu gimana rasanya kalo cowok yang lo suka itu malahan lebih sering cerita tentang sahabatnya sendiri daripada lo! Lo nggak tahu perasaan gue yang sering nolak ajakan lo sama Fardan, karena apa? Karena gue tahu Fardan suka sama lo. Gue berusaha ngalah saat itu, tapi lama-lama gue muak dengan semua tingkah lo!"
Aku terdiam, bayangan Tiara terlihat buram karena mataku yang berembun.
"Jadi ini yang pengen lo perlihatkan, makanya lo nyuruh gue datang ke sini?" Aku mengalihkan perhatianku pada sosok Fardan yang sudah berdiri di sampingku.
"Marina sama sekali nggak ada hubungannya dengan kita, Ra. Gue udah berusaha untuk jadi sosok yang baik buat lo. Tapi, lo aja yang selalu melihat masa lalu gue. Gue sadar kalo sebenernya dari awal hubungan kita udah berantakan, nggak ada rasa saling percaya. Dan, masalah kak Ryan dengan dia, kita nggak berhak nge-judge dia. Karena nyatanya, kak Ryan dan kak Nabila pun melakukan kesalahan."
Tiara tertawa meremehkan. "Si Marina pake pelet apa sih sampe semua orang belain dia? Udah tahu dia salah, tapi tetep aja dibelain. Oh, ayolah, Dan, kita semua sudah dewasa jangan perlakukan dia kayak bayi."
"Tiara!" Suara Fardan membuat atensi beberapa pengunjung beralih pada kami bertiga.
Aku terdiam sejenak, kemudian beranjak dan berjalan menjauhi mereka berdua. Satu-satunya yang ada di otakku saat ini adalah Andrew. Aku membutuhkannya sekarang.
***
- Andrew POV -
Hal yang aku lakukan setelah salat subuh adalah mengecek pesan masuk di dalam ponselku, kemudian menemukan sebuah pesan dari Nana.
My Nana : Kamu lagi apa, Ndrew?
Itu pesan pukul 05.31 PM, dan itu tepat saat aku baru saja tiba di Singapura setelah perjalananku dari Jepang. Dan, saat itu juga aku tidak bisa membalas pesan Nana karena langsung mewakili papi untuk datang ke sebuah perjamuan makan malam dengan salah satu rekan bisnisnya.
My Nana : Kamu pasti sibuk banget ya, Ndrew? Ini aku baru nyampe rumah abis rapat divisi buat acara amal UKM-ku besok jam sembilan. Kamu semangat ya di situ.
Aku menghela napasku pelan ketika melihat pesan tersebut yang dikirimkan pukul 02.37 AM, atau di Jakarta pukul 01.37 dini hari. Entah kenapa aku merasa khawatir. Aku tahu kalau Nana sering pulang dini hari seperti ini untuk mengurus UKM, karena dia termasuk seseorang yang berpengaruh. Tapi, ini sudah hari ketiga dia pulang jam begini terus.
Masih dengan perasaan khawatir aku mengetikkan sesuatu sebagai balasan.
Me : Tidur yang cukup, Yang. Semangat buat acaranya besok.
Aku langsung membuka pesan obrolanku dengan Om Dave.
Me : Sorry, mengganggu Om, tolong kirimin aku tiket ke Jakarta pagi ini.
Tak lama, sebuah pesan balasan dari Om Dave masuk ke ponselku.
Om Dave : Bukannya masih ada acara siang nanti?
Me : Aku ada opsi buat nggak dateng, kan? Atau, Om Dave dateng aja ke sini buat nemenin Tante Louisa.
Om Dave : Ya udah, nanti om kirimin, tapi adanya yang jam satu siang.
Aku tersenyum tipis.
Me : No problem, Om. Thank you so much!
Aku kembali merebahkan tubuhku di atas kasurku, saat aku berniat untuk menutup mata, sebuah pesan balasan dari Nana berhasil mengurungkan niatku itu.
My Nana : Thank you, Ndrew. Kamu juga jangan lupa istirahat.
Aku kembali mengambil posisi duduk. Ini baru sekitar jam lima pagi di Jakarta, dan itu artinya Nana baru istirahat sekitar tiga sampai empat jam. Dengan cepat aku langsung menekan opsi memanggil di whatsapp.
"Na?" sapaku saat Nana mengangkat panggilan teleponku. Aku bahkan tak bisa menyembunyikan nada khawatirku sekarang. "Kamu kok nggak tidur?"
"Udah tidur kok tadi, terus kebangun. Abis itu lihat HP, ternyata ada chat dari kamu."
Dahiku langsung berkerut saat mendengar suara parau Nana dari seberang sana. "Na, are you okay?" Aku semakin khawatir. Aku bahkan bisa mendengar suaranya yang bergetar. "Kamu demam, ya? Dingin? Makanya kamu susah tidur?"
"Hm...," gumamnya sebagai jawaban. Dan, itu semakin membuatku menghela napasku berat. Kenapa dia sakit di saat orang tuanya tidak ada di rumah, dan aku juga tidak di Jakarta? Bukannya menyalahkan dia yang akhir-akhir ini memaksakan diri melakukan segala hal seorang diri, mulai dari mengurus skripsi, mengurus anak asuhannya, bahkan acara amal tersebut. Aku tahu dia orang yang bertanggung jawab.
"Kamu tetep ngampus ntar?"