Katalis

Aisyah A
Chapter #53

Betrayer

- Marina POV -

"Tolong jagain Ina ya, Nak Andrew? Akhir-akhir ini dia susah dibilangin buat makan, alasannya sibuklah, lupalah, makanya Tante sering ngomelin dia." Andrew menatapku tajam, sedangkan aku hanya tersenyum. Pasti dalam hatinya dia bilang begini, 'Pantesan drop kemarin, orang jarang makan'. Ya, aku sudah bisa menebak isi kepala Andrew hanya dari ekspresinya sekarang.

"Siap, Tante! Nanti Andrew omelin Nana kalo dia nggak mau makan."

Mama tertawa mendengar jawaban Andrew. "Dicubit juga nggak apa-apa, biar kapok dia masuk rumah sakit."

Ini yang anak mama sebenarnya siapa, ya? Ada yang tahu jawabannya? Aku langsung menarik tangan Andrew agar cepat keluar dari rumah, atau aku akan menjadi bahan obrolan mereka yang tidak ada habisnya.

"Ndrew, mampir ke Beau Senopati, ya," ujarku saat Andrew baru saja membantuku memasang seatbelt.

"Mau ngapain?" Dia mulai menyalakan mesin Audi A7 miliknya dan mulai keluar dari halaman rumahku.

Aku tersenyum dan menoleh ke arahnya sembari menyalakan radio. "Aku mau beli sourdough, loaf seed and grain, sama herb focaccia buat Tante Mirae," jawabku mantap.

Andrew menaikkan satu alisnya dan menatapku sekilas sebelum kembali fokus pada jalanan di hadapannya. "Nggak perlu, Na. Kamu dateng aja mami udah seneng banget."

Aku menggeleng pelan. "Aku pengen makan itu semua sama Tante Mirae dan Airyn, mereka kan suka bread yang rasanya agak gurih gitu, kan? Aku juga sama, ditambah sama greentea pasti enak banget." Andrew hanya terkekeh sembari mengusap kepalaku pelan.

"Sama mereka aja, nih? Aku sama kak Andreas?"

"Iya, girls time. Tapi, nggak apa-apa deh kalian nyelip-nyelip juga nanti tapi pake rok dulu, ya?"

Andrew tertawa nyaring setelahnya. Beberapa menit kemudian, Andrew memarkirkan mobilnya di halaman toko. Suasananya masih sama, tokonya penuh dengan tanaman hijau yang membuat suasana menjadi asri. Tak banyak bangku yang tersedia di sana, namun tetap ramai pengunjung. Dia berjalan sembari menggandeng tanganku. Aku berdiri di depan etalase dan mulai memesan.

"Saya pesan sourdough, loaf seed and grain, sama herb focaccia masing-masing satu kotak, ya?" ujarku pada pelayan toko.

"Baik. Kami siapkan."

Aku kembali menatap deretan roti dan kue di sana, hingga akhirnya mataku terhenti pada sebuah cake berwarna hijau yang aku ketahui rasa matcha.

"Kamu mau?" tanya Andrew. Aku hanya tersenyum.

Andrew mengalihkan pandangan ke pelayan. "Mas, Whopera Matcha-nya satu, ya?"

"Ndrew, ntar nggak abis," gerutuku.

"Nggak abis, ntar aku yang abisin, biasanya juga kan gitu." Aku langsung memeluk bahu Andrew erat.

"Ini disatukan aja?" tanya mas kasir.

"Ya, bread-nya dipisahkan Mas," ujarku.

"Satuin aja sih, Na."

Aku menggeleng pelan. "Nggak mau, orang ini kan rotinya buat Tante Mirae dari aku."

"Lah, itu cake buat siapa?" tanya Andrew.

"Buat aku, dari kamu."

"Ye, pengen banget dibeliin. Orang cake-nya buat aku sendiri," canda Andrew dengan nada meledek.

Aku mengerucutkan bibirku. "Andrew!"

"Hm?"

"Matcha cake-nya buat aku!"

Andrew mengusap kepalaku dan terkekeh setelahnya. "Kamu ini seumuran Alice apa gimana, sih?"

"Ih, justru karena aku udah tua, lebih susah kalo minta sesuatu, padahal orang tua itu lebih banyak kebutuhan nutrisinya loh, jangan salah. Di mana keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia seperti yang tertulis di sila ke-lima Pancasila kalo gitu?" protesku.

Sama seperti saat Alice di rumahnya, mama selalu menuruti keinginan bocah cilik itu dan diberikan porsi yang banyak, padahal yang butuh makanan untuk proses pertumbuhan yang banyak kan aku.

"Iya deh, iya."

"Iya, apa?"

"Iya, cake-nya buat kamu, bukan buat aku. Sekarang malah aku yang ingin mengucapkan sila ke-lima itu sama kamu."

Aku tertawa seketika. "Fix ya ini cake buat aku? Kamu nggak boleh makan kecuali ada sisa."

Andrew hanya tersenyum terpaksa. "Iya," lirihnya, kemudian mengelus pipiku, dia pasti paham kalau aku lagi bercanda, kan?

"Yes! Bye the way, bayar dulu dong sayang cake-nya."

Aku sadar kalau mas kasir sejak tadi terkekeh mendengar perdebatan kami. Tapi, aku tak terlalu memedulikannya. "Giliran dibeliin aja manggilnya sayang," gerutu Andrew.

Aku tertawa kecil. "Sayang..." Aku semakin memanjakan suaraku, dan aku bisa melihat wajah Andrew yang memerah sembari menyodorkan kartu kreditnya. Well, berbeda dengan Andrew, aku memang tak memiliki panggilan sayang untuk Andrew. Ya, mungkin akan berganti kalau kami menikah nanti. Mungkin.

Setelah membayar, aku menggandeng tangan Andrew keluar toko, namun langkah kami terhenti tepat setelah dua orang yang awalnya bergandengan segera melepaskan gandengannya. Aku dan Andrew saling berpandangan. Saat Andrew melangkahkan kakinya untuk berbelok melewati mereka, sebuah tangan mencegatku, dan itu adalah Tiara.

"Let's talk, Marina," lirihnya. Aku memandang Andrew untuk meminta persetujuan, lalu Andrew mengangguk pelan.

Akhirnya, kami duduk di salah satu bangku panjang dan saling berhadapan. Aku memesan ice moccha, sedangkan Andrew ekspresso double shoot.

"Lo udah ngapain aja sama kak Ryan?" tanyaku menatap Tiara tajam. Aku tak berniat untuk mencampuri urusannya, tapi dengan dia sendiri yang membawaku ke dalam lingkaran yang membuatku mau tidak mau masuk ke dalamnya.

Dan, sebuah kejutan kecil untuk Tiara, karena sekarang kak Nabila sudah berada di antara kami. Aku menghubunginya dan ada satu orang lagi yang masih dalam perjalanan.

"Nggak ngapa-ngapain," jawab Tiara santai.

"Na, minta maaf sama Tiara," pinta kak Ryan.

Aku terkekeh mendengar ucapan tersebut. "Sorry, Tiara," ujarku.

"Aku ke toilet bentar, Yang," ujar kak Nabila yang sedari tadi diam saja.

"Mau aku temenin?"

Kak Nabila mengangguk pelan. "Boleh."

Kak Ryan dan kak Nabila pergi meninggalkan kami bertiga. Aku masih menatap datar ke arah Tiara, sedangkan Andrew sibuk dengan minumannya. Sesekali, dia menyendokkan sweet potatoes ke mulutku.

"Lo sengaja kan bikin kak Nabila ke sini, dan ngasih pertanyaan kayak tadi?" tanya Tiara menyelidik.

"Iya, sengaja," jawabku sembari tersenyum. "Itung-itung pemanasanlah, Ra, lagi pula lo bilang nggak, kak Nabila paling ngira gue lagi bercanda. Walaupun nggak ada tuh sejarahnya gue berkomunikasi dengan dia."

"Gue ada alasan kenapa gue ngelakuin itu, lo harus jaga rahasia ini sampai gue sendiri yang bakal jelasin ke dia."

"Lo ini pelaku Tiara, kenapa lo berlagak kayak korban?" Aku tersenyum sinis ke arahnya. Aku menoleh ke arah Andrew yang hanya mengedikkan bahunya tak peduli. "Kayaknya kita emang harus memperjelas semuanya sekarang. Sebentar lagi Fardan mau dateng."

"Bukan gitu, Na, posisi gue di sini yang jadi masalah. Lalu, gimana dengan kak Nabila dan Fardan?" Aku melihat kegelisahan di mata Tiara.

"Sekarang lo khawatirin Fardan? Ke mana aja lo selama ini yang malah nyalahin masa lalu Fardan yang pernah suka sama gue?" cibirku. "Lo mikirin perasaan gue nggak? Lo seolah menjadikan gue pelaku atas rusaknya hubungan lo. Dan gue yakin, kalo gue dan Andrew nggak lihat lo jalan bareng kak Ryan, gandengan mesra banget sampai suap-suapan, bahkan gue lihat kak Ryan nyium pipi lo, lo pasti bakalan milih untuk tetep main belakang sama kak Ryan di belakangnya kak Nabila, dan terus menjadikan gue kambing hitam dari segala masalah yang terjadi." Aku menyeringai puas melihat ekspresi kaku Tiara. "Sayangnya lo telat Tiara, Fardan dan kak Nabila udah denger semuanya."

Tiara menoleh ke belakang dan ternyata sudah berdiri tiga orang di belakangnya dengan tatapan yang sulit untuk dideskripsikan. Ketiganya menghela napas dan duduk di kursi yang sudah tersedia.

"Aku sama kak Ryan nggak ada apa-apa, kak. Kak Ryan sama aku emang sering saling curhat, hanya sebatas itu. Dan masalah cium pipi itu, waktu itu ada noda di pipi aku, Kak Ryan bersihin, abis itu, ya itu ... Karena terbawa suasana aja."

"Jadi, intinya kamu sama Ryan nggak ada apa-apa? Cuma terbawa suasana?" tanya kak Nabila.

Tiara mengangguk cepat. "Aku minta maaf kak, aku bener-bener nggak ada niat buat ngerebut kak Ryan dari kakak. Aku sama kak Ryan cuma temen kok."

"Yakin lo nggak ada hubungan spesial sama kak Ryan?" tanyaku.

"Yakin," jawab Tiara cepat.

"Giliran gue yang bicara kali ini," sela Fardan. "Siniin HP lo!"

Tiara mengerutkan dahinya. "Buat apa?"

"Kalo lo merasa lo nggak salah, lo nggak bakalan takut Tiara."

Tiara akhirnya menghela napasnya dan memberikan ponselnya pada Fardan. "Bukan yang ini."

"HP gue cuma satu."

"Gue tahu lo punya HP lain, Ra, gue nggak sebego itu buat lo begoin." Tiara mulai gelisah.

"Lo kalo ngomong nggak usah ngarang deh, Dan. Gue nggak ada HP la..."

"Siniin tas lo!" Tiara menunduk, akhirnya dia memberikan tasnya pada Fardan. Fardan membuka tasnya dan mendapatkan lagi satu ponsel di dalamnya. Dia menarik tangan Tiara untuk finger print ponsel tersebut, dan kemudian memanggil sebuah kontak di sana, hingga satu detik kemudian, sebuah suara panggilan terdengar nyaring.

Fardan tersenyum, kemudian memperlihatkan nama kontak tersebut kepada kami semua. "My boyfriend. Wow! And then, chat mesranya sudah terjadi dari satu tahun yang lalu. Wow! Amazing!"

Bukankah itu artinya sejak kak Ryan masih sama aku?

Kak Nabila menarik ponsel kak Ryan yang ternyata juga membawa dua ponsel, dan lebih dikejutkan lagi dengan wallpaper yang bergambar potret mesra kak Ryan dan Tiara.

Aku tersenyum samar. "Lo tahu, Ra? Apa yang paling gue benci dari semua kejadian ini? Lo masih bertingkat seperti korban padahal lo pelakunya." Aku menarik napasku pelan. "Gue selalu berusaha jadi temen yang baik buat lo, dan di belakang gue ternyata lo kayak gini, gue masih berusaha baik selama lo jauhin gue, nyatanya emang lo bukan temen yang pantas dipertahankan. Temen macam apa yang udah tahu dia salah, tapi malah nyalahin orang lain? Jadiin orang yang peduli sama dia sebagai kambing hitam."

"Gue cuma merasa kalo semuanya nggak adil, Na. Lo selalu mendapatkan apa yang lo..."

"Berhenti menyalahkan orang lain cuma buat alasan pembelaan. Lo nggak ngerti hidup gue kayak gimana, dan lo berlaku seolah Tuhan yang mengetahui semuanya. Sampah!" Aku berdiri dan menarik tangan Andrew, bersiap untuk pergi. "Kalian selesaikan masalah kalian, dan jangan sekali-kali bawa-bawa nama gue lagi!"

Kini semuanya sudah jelas, siapa yang seharusnya aku pertahankan, dan siapa yang seharusnya aku tinggalkan.

"Keren, Na," bisik Andrew saat kami telah memasuki mobil, dia menarik tubuhku untuk masuk ke dalam pelukannya. "Aku diam karena aku tahu kamu bisa menyelesaikan semuanya dengan baik. I'm proud of you." Dia mengecup dahiku.

"Thanks, Ndrew." Selama di dalam tadi, Andrew selalu menggenggam tanganku, itulah mengapa aku berhasil menahan diri untuk tidak meledak.

"Ucapan makasihnya boleh diganti sama yang lain nggak?"

"Sama apa?"

"Hmm...." Andrew pura-pura berpikir. Namun, sebenarnya aku paham apa yang dia mau. Aku memajukan wajahku dan mengecup bibirnya kilat, membuat matanya membulat seketika.

"Wah, nakal, ya," serunya. Dia mulai mendorong aku ke pojok kursi.

"Ndrew, mundur sekarang nggak? Kalo nggak aku teriak?" Bukannya mundur, Andrew malah menyeringai puas.

"Teriak aja. Mobil aku kedap suara kok," ujarnya sembari menaik-naikkan alisnya.

Andrew gila!!!

***

- Andrew POV -

"Kak Ina!" seru Airyn berhamburan ke pelukan Nana. "Maafin nggak sempet jenguk kemarin, udah baikan kan tapi?"

Nana mengangguk dan mengusap kepala Airyn pelan. "Iya, nggak apa-apa, Ryn. Kak Ina malah makasih karena udah dikhawatirin sama kamu."

"Iyalah, Airyn kan sayang sama calon kakak ipar Airyn," ujar Airyn yang membuatku tersenyum.

"Emangnya Ina mau sama kakak kamu?" Mami berjalan mendekati kami dan membawa Nana ke dalam pelukannya. "Kamu mau sama Andrew, sayang? Andrew banyak kurangnya loh daripada lebihnya" tanya mami sembari mengusap rambut Nana lembut.

"Mami, ini kenapa jelekin Andrew mulu sih? Bukannya seneng anaknya laku." Ketiga wanita di hadapanku ini tertawa nyaring. Bukannya marah, aku malah bahagia melihatnya.

Lihat selengkapnya