Katalis

Aisyah A
Chapter #55

Feels Insecure

Flashback on (Sudut Pandang Orang Ketiga)

"Can you explain to me, Ndrew?" Marina yang berbaring di samping Andrew sudah tak bisa menahan rasa penasarannya sejak kemarin. Semenjak dia sadar jika ibu Iris adalah seorang muslim. Dan, Andrew pun membenarkan hal tersebut.

Ya, setelah fakta tersebut....

Lantas, jika Mrs. Roseanne seorang muslim, bagaimana dengan Iris? Bisa saja mereka berbeda, bukan? Tapi, apa sebenarnya yang di-iya-kan oleh Andrew kemarin?

Andrew menghela napasnya, dia memiringkan tubuhnya agar bisa melihat wajah gadisnya itu dengan lebih jelas. "Ini sudah terjadi cukup lama, Na, bahkan sebelum aku berpacaran dengan Iris."

Marina semakin bingung. "Kenapa kamu nggak ngomong ke aku? I mean, selama kita deket lagi, bahkan sampai kita balikan, kamu sama sekali nggak ngasih tahu aku, Ndrew. Aku..."

"Karena kamu nggak tanya, Na," sela Andrew, dia mengusap wajah Marina yang terlihat gusar. Tidak, sebenarnya yang Marina rasakan adalah bingung.

Apakah dia senang? Tentu saja. Hatinya membuncah, bahkan saat kemarin Andrew mengiyakan pikirannya tanpa Marina mengatakan apa pun. Andrew yang begitu peka dapat menduga ke mana arah pikiran Marina. Marina bahagia, bukankah artinya masa depannya dengan Andrew tak abu-abu seperti dulu lagi?

Tapi di sisi lain, dia ingin sekali menanyakan alasan di balik keputusan besar yang diambil kekasihnya itu. Namun, dia tahu, bagi beberapa orang, dia membutuhkan waktu untuk menceritakan sesuatu hal yang berpengaruh pada hidupnya. Sama seperti saat keluarga dan hidupnya begitu berantakan beberapa tahun yang lalu.

"Kalo saat itu aku tanya, kamu bakalan jawab?"

Andrew tersenyum, kemudian mengangguk pelan. Yang Marina lakukan selama ini adalah diam, dia memilih untuk diam dan tidak lagi membahas masalah perdebatan tersebut karena dia terlalu takut, dia takut apa yang sekarang dimulainya kembali berakhir pada satu kata pisah. Dia memilih untuk pura-pura tidak peduli, dan menjalani harinya dengan Andrew yang sudah penuh dengan kebahagiaan.

Sama seperti Marina, Andrew pun demikian. Ada beberapa hal yang membuat dia sadar jika sebagian orang tak mudah untuk menerimanya. Bayangkan jika tiba-tiba Andrew mengatakan akan keputusannya, di saat dia sedang mendekati Marina. Bukankah gadis itu bisa saja menjauhinya karena berpikir bahwa Andrew berpindah karena dirinya? Itulah yang Andrew takutkan saat ini.

"Honestly, I've told you that I'm not as good as you think, right?" Marina mengangguk pelan. "Like I said, aku belum sepenuhnya menjadi pribadi yang baik, pribadi yang bisa menahan diri, apalagi kalo sama kamu."

Akhirnya, ekspresi Marina mencair seketika. Dia tersenyum kecil menatap Andrew yang saat ini tersenyum lebar ke arahnya.

"Yang harus kamu tahu, Na, aku memutuskan hal tersebut bukan karena kamu. Aku harap setelah tahu semua ini, nggak akan merubah perasaan kamu ke aku."

Flashback off....

- Marina POV -

Aku menatap ke luar jendela kafe, terlihat hilir mudik orang-orang dengan wajah gembira benar-benar mengalihkan perhatianku. Mungkin mereka sepertiku, orang-orang yang turut berbahagia saat seseorang yang dekat dengan mereka mencapai sebuah misi setelah perjuangan yang cukup panjang. It's good to see people full of happiness like now.

Tapi, sejujurnya, keadaan meja persegi panjang yang menjadi pembatas antara aku dan Maryam terasa begitu dingin. Bahkan, lebih dingin dari saat aku berhadapan dengan Iris. Sosok di hadapanku ini seolah menyembunyikan banyak rahasia dari wajah tenangnya.

"Pas nikahan Arabella sama Christopher adalah momen di mana gue udah lama nggak ketemu sama Andrew, dan gue bersyukur akan hal itu." Maryam akhirnya terlebih dahulu memotong kebisuan di antara kami. "Well, gue nggak nyangka bakalan ketemu sama dia setelah berbulan-bulan lamanya dia menghindari gue. And, I'm sincerely happy saw him in a good situation with new girlfriend."

Maryam tersenyum tipis, kemudian menyeruput cola di tangannya. "Gue tahu dengan ngajak lo ngobrol sama gue adalah sebuah kesalahan besar. Which is, Andrew pasti berusaha menjauhkan gue dari lo, seperti yang dia lakukan ke Iris." Gadis itu menghela napasnya pelan. "Tapi seperti yang lo lihat sekarang, yang gue lakukan justru mendekat ke arah lo. Ah, tepatnya kalian berdua, lo sama Andrew. Dan gue tahu kalo di mata lo gue bertingkah 'like a bitch' sama lo karena masih mencoba mendekati Andrew di saat jelas-jelas gue tahu dia udah punya lo."

Aku membiarkan sosok di hadapanku ini untuk mengatakan keperluannya dengan mengajakku berbicara seperti ini. Bahkan, di saat dia sudah mengatakan banyak kata pun, aku masih enggan untuk sekadar menimpalinya. Yang aku lakukan hanya diam, dan mencoba memahami apa maksud dari ucapannya.

"Sejak awal, ketika gue kenal sama Andrew, di saat kita cuma sekedar saling kenal sebagai teman satu jurusan, dan saat itu selalu ada nama lo di dalam ceritanya. Walaupun dia udah pacaran sama Iris pun nama lo masih sering dibawa-bawa sama dia dalam obrolan kami. " Maryam menegakkan tubuhnya. "Mungkin di kelas nggak ada orang yang nggak suka sama Andrew. He's good looking, smart, kind, dan poin penting yang nggak semua laki-laki miliki adalah dia yang care banget sama siapa pun, bahkan orang-orang yang belum terlalu dekat dengan dia pun, dia masih mau bantu."

Aku tersenyum tipis, bahkan tanpa Maryam perjelas pun aku paham maksud ucapannya barusan. Benar dugaanku, she likes him, as a lover.

"Awalnya emang gue nganggep dia temen, ditambah lo pasti paham kalo dulu dia beda, kan? Gue nggak mau terjebak pada situasi yang nggak mengenakkan seperti itu. But, finally I knew, apa yang sebenarnya gue rasain ke dia bukan hanya sekedar perasaan pada sahabat. Terlebih saat gue tahu kalo dia udah pindah."

"Gue deket sama dia sebagai sahabat, dia selalu bantuin gue, begitu pun sebaliknya. Bahkan, di saat dia pacaran sama Iris pun, kita masih deket. Sampai suatu kejadian yang membuat gue tambah yakin kalo gue nggak boleh lepasin dia saat itu."

Aku mengerutkan dahiku. Dan, melihat senyuman tipis yang tercetak di bibir Maryam.

Dia merogoh sesuatu dari slingbag-nya. Sebuah kotak persegi panjang berwarna cokelat yang dia sodorkan padaku. "What is this?" tanyaku bingung.

"Buka aja."

Dengan sedikit ragu, aku membuka kotak tersebut dan terpaku pada sebuah foto yang menampilkan test pack dengan dua garis merah yang tertera di sana.

"Maksudnya apa?" tanyaku bingung, namun aku masih berusaha memperlihatkan ekspresi sedatar mungkin.

"Gue pernah hamil, tapi keguguran saat kandungan gue dua bulan," jawab Maryam santai seolah itu bukanlah aib yang harus dia tutupi.

"Terus?"

Maryam kembali tersenyum dan menghela napasnya pelan. "Gue pernah minta tanggung jawab sama Andrew waktu itu." Jantungku terasa teremas seketika setelah kalimat itu masuk ke dalam telingaku.

Lihat selengkapnya