- Marina POV -
"You ask me just now, apakah dia adalah alasan aku berpindah?" Andrew kembali duduk di kursinya dan menatapku lekat-lekat. "Dan jawabannya sama seperti kamu, bukan. Sama sekali bukan," ujarnya lirih, sementara matanya terlihat tanpa ragu sedikit pun.
Dadaku terasa sakit sekarang. Aku tahu jika saat ini Andrew sudah mengatakan yang sebenarnya. Tapi rasanya ... Shit! Apa sebenarnya yang kamu inginkan Ina? Kalau saja aku bisa menekan egoku, dan sadar lebih cepat atas apa yang tadi aku lakukan pada Andrew. Mungkin semuanya tak akan serumit ini, ketika kata maaf terasa di ujung lidah, tapi tak kunjung terucap juga.
Aku bukannya sedang menelan mentah-mentah ucapan Maryam, sebagian dari diriku tak mempedulikan hal itu. Tapi, ada beberapa hal yang membuat kita tenang saat kita memastikannya secara langsung.
Mungkin beberapa orang berpikiran kalau aku hanya sedang mencari masalah dalam hubungan kami. Bukan. Bukan sama sekali. Aku hanya tidak ingin dalam hubungan yang aku harapkan masa depannya didasarkan dengan kebohongan dan ketidakpercayaan. Meski aku tahu yang aku lakukan dengan memancing Andrew seperti tadi adalah sebuah kesalahan besar, jika saja pikiranku jernih, mungkin yang aku lakukan adalah menanyakannya langsung.
Ini bukan pertama kalinya kami berada dalam situasi yang sulit seperti ini, tapi entah kenapa it feels so damn complicated. Bahkan, aku tak tahu harus bereaksi seperti apa?
"Jika kamu berharap alasan tersebut adalah karena kamu, atau seseorang di luaran sana. Itu salah besar. Terutama kamu, itu sama sekali bukan kamu, Marina." Andrew menghela napas panjang saat melihatku terdiam, dengan air mata yang kini sudah tak bisa aku tahan lagi.
"Apa kamu ingat? Dulu, aku pernah mengajakmu pergi ke gereja." Andrew tersenyum tipis, dan kalian tahu hal yang lebih menyakitkannya lagi? Ini pertama kalinya Andrew membiarkan air mata terus mengalir di pipiku, dia hanya memandangiku, tanpa melakukan apa pun. "Ada alasannya, dan kamu pasti tahu, jika saat itu aku meminta izin pada Tuhan untuk menyayangimu."
"If you want to know, ada satu kalimat yang aku ungkapkan dalam doaku saat itu. 'Aku berjanji, perasaanku padanya, tak akan menjauhkanku dari-Mu'." Andrew berhenti sejenak, suaranya tercekat. "Aku nggak pernah mau menjadikan kamu alasan, Na. Aku tak ingin membebanimu atas keputusan besar yang aku pilih. Dan aku juga tak ingin mengingkari janjiku saat itu, hanya karena alasan perasaanku untukmu."
Kalimat tersebut seperti menamparku dengan keras. Bagaimana bisa aku menyakiti seseorang yang jelas-jelas begitu peduli terhadapku hanya karena perasaan ragu yang tiba-tiba muncul? Bagaimana bisa aku dengan bodohnya berharap menjadi alasan Andrew untuk berpindah, di saat dia justru tak ingin membebaniku?
"Alasannya adalah karena diriku sendiri, dan keajaiban lain yang terjadi di hidupku. Alasannya bukan berasal dari sosok siapa pun. Dan semua itu nggak ada hubungannya dengan kenapa aku memilih untuk kembali berada di samping kamu."
"Bahkan setelah aku pindah pun, aku sama sekali tak berniat untuk menjadikan hal tersebut alasan untuk kembali sama kamu lagi. Dan, aku mencoba menjalani kehidupanku yang baru saja aku bangun secara perlahan."
"To be honest, alasan kenapa aku mencoba hidup tanpa kamu. Karena saat itu, aku tahu sudah ada seseorang yang mengisi harimu, dan itu bukan aku. Membuatku cukup tahu diri untuk berhenti. Berhenti, tapi bukan melupakan. Karena kenyataannya, bahkan saat aku menjalin hubungan dengan yang lain pun, nama kamu masih selalu masuk ke deretan teratas dalam otakku."
"Ditambah lagi, ketika aku kembali melihat kamu setelah sekian lama. Aku berusaha menolak perasaan yang kembali muncul itu dengan berlaku buruk terhadapmu. Tapi, kamu tidak pernah tahu betapa sulitnya aku telah mencoba menahan diri untuk berhenti mengambil langkah lebih jauh ke arahmu."
"So, damn hard, because you're crazily irresistible."
"Itu bukan karena kamu lebih baik dari Iris ataupun Maryam, bukan karena masalah virgin, ataupun kepindahanku. Semuanya terjadi begitu saja, karena setelah kebersamaan, perpisahan, dan pertemuan kembali yang terjadi diantara kita, sama sekali tak mengubah sedikit pun perasaanku ke kamu. Hingga akhirnya, aku berpikir kalau mungkin emang sebenarnya akulah yang harusnya ada di hidup kamu, bukan orang lain." Andrew berhenti berbicara, kini dia hanya menatapku lekat. Dia tersenyum, tapi bukan senyuman manis yang sering dia lemparkan padaku, bukan senyum yang membuatku ikut tersenyum karenanya. Tapi, senyum yang entah kenapa terlihat kontras dengan sorot matanya yang terlihat kesakitan. Bersamaan dengan perasaan sakit di hatiku yang tak kunjung membaik sejak tadi, justru rasanya semakin menyesakkan, hingga membuatku kesulitan bernapas. I know, I made a big mistake toward him.
Aku sadar, rasa kecewa yang aku rasakan tadi, justru menjadi boomerang untukku sendiri. Dan, itu juga menyakiti Andrew begitu dalam.
"Aku tahu, aku selama ini jahat karena nggak cerita semuanya ke kamu. Aku selalu berpikir I just need time, Na. Aku emang sepengecut itu. Aku berdalih membutuhkan waktu, tapi yang aku lakukan selama ini hanya menunda. Aku terlalu takut jika aku mengatakannya, kamu justru akan memilih untuk meninggalkanku. Atau, mungkin kita akan kembali masuk ke dalam situasi sekarang, aku benar-benar ingin menghindarinya, Na."
Aku melihat tatapan frustrasi Andrew, bahkan ini semua terlihat lebih menyedihkan dibandingkan saat perpisahan kami. Dan yang paling buruk adalah, aku yang menyebabkan ini semua. "Kamu nggak salah, Ndrew."
"Dan..." Dia menyela ucapanku seolah tak mendengar suaraku. "Seharusnya dari awal aku sadar saat aku berniat memulainya kembali denganmu, bahwa pada kenyataannya, aku belum menjadi sosok yang baik yang dapat membimbing kamu. Aku belum menjadi sosok yang bisa kamu percaya sepenuhnya. Aku bukanlah sosok yang tak akan pernah membuatmu menangis. Aku harusnya sadar kalo aku belum benar-benar pantas buat kamu."
"Nggak, Ndrew." Suaraku terdengar bergetar hebat. Bahkan, tenggelam dalam isakanku. Aku mohon, bantu aku untuk mengatakan padanya untuk berhenti membicarakan hal yang membuat kami semakin berjarak.
Suara ponsel Andrew menginterupsi kami, dia menatap ponselnya untuk beberapa saat, hingga akhirnya dia mengangkat panggilan tersebut dan mengaktifkan mode loudspeaker.
"Assalamu'alaikum, Nak Andrew?"
Aku membeku saat suara mama yang terdengar dari ponselnya.
"Walaikum'salam, Tante," jawab Andrew tenang.
"Gimana acaranya? Lancar, kan?"
"Alhamdulillah, lancar, Tante."
"Syukur deh kalau gitu, gimana rencananya sama Ina? Lancar juga nggak?"
Aku masih terdiam, menahan isakanku agar tak terdengar oleh mama.
"Nak Andrew? Gimana acara melamar Ina-nya? Diterima apa nggak?"
Dan saat itu juga, aku membeku di tempat. Andrew menatap langit-langit sembari tersenyum. "Nanti Andrew kabarin lagi, Tante."
"Oh, jadi belum, baiklah. Semangat, ya? Semoga diterima."
"Iya. Makasih, Tante. Assalamu'alaikum."
"Walaikum'salam."
Suasana kembali hening. Hanya isakanku yang menggema, memecah diam di antara kami. Andrew menghela napasnya dalam-dalam. "Sampai tadi, saat aku berniat untuk melangkah lebih jauh bersama kamu, berharap apa yang sudah aku mulai ini akan menjadi keputusan terbaik untuk kita berdua. Di saat kamu sudah tahu semua hal yang terjadi dalam hidupku, meski lewat orang lain."
"Andrew...," lidahku kelu. Kenapa sangat sulit rasanya mengatakan satu kata itu dan menyelesaikan semuanya dengan cepat? "Aku nggak mau denger apa pun lagi, Ndrew. Aku mohon berhenti."
"Nggak, Na, ini emang waktunya buat aku paham. Buat aku terima fakta bahwa aku belum cukup baik buat kamu. Meski rasanya aku sudah berusaha pun, sayangnya itu semua nggak bisa membuat kamu sepenuhnya percaya sama aku, dan sayangnya lagi, aku mungkin nggak bisa jadi imam yang baik seperti yang kamu harapkan." Mata Andrew kini juga berkabut, membuatku semakin tahu jika saat ini, yang kami lakukan hanyalah saling menyiksa satu sama lain. "Aku juga nggak ngerti kenapa pembicaraan kita bisa merembet sampai ke sini, mungkin benar, dasar dari sebuah hubungan adalah kepercayaan. Karena ujung-ujungnya..."
"Andrew, stop! Please!"
"Dengerin aku, Na. Kita tak bisa bersama kalo kita nggak saling percaya, meski kepercayaan kita sama. Dan, saat kita saling percaya, namun kepercayaan kita berbeda pun demikian." Andrew berdiri dari kursinya, berjalan ke arahku dan menunduk menangkup pipiku, dia mengusapnya sekilas. "Itu artinya, dalam satu kata percaya, kita dapat menyatukan dua objek yang berbeda. Dan sebaliknya, jika salah satu tak tercukupi, maka kedua objek tersebut tak akan pernah bisa bersatu."
Aku mendongak menatapnya. "Ndrew?"
"We need time, and you need to take a rest. Udah malem, Na." Dia mengecup dahiku. Lama. Namun, rasanya bukan seperti biasanya, terasa menyakitkan dan menyesakkan secara bersamaan. "Good night, Marina!"