Katalis

Aisyah A
Chapter #59

Apologize

- Andrew POV -

Aku tak ingat seberapa cepat aku menyetir mobil, aku tak peduli dengan semua hal itu hingga akhirnya aku tiba di balkon kamar hotel, terdiam menatap langit yang saat ini terlihat mendung.

Menyebalkan!

Kenapa semesta seolah berkonspirasi untuk membuatku jatuh lagi lebih dalam? Mengapa mereka tidak menghiburku dengan menghadirkan langit cerah yang syarat akan kebahagiaan?

Saat ini aku sedang ketakutan. Benar. Aku takut jika semua ini membuat dia pergi dariku. Dan, aku memang terlambat menyadarinya. Bagaimana saat aku masih berpegang dengan prinsipku untuk menutupi rahasia orang lain, di saat aku sendiri justru menyakiti orang yang aku sayang. Dan, dengan bodohnya berpikir bahwa seharusnya dia percaya dengan segala ucapanku, seolah aku tak bersalah.

Hey, Andrew!

Di sini kamulah yang bersalah sepenuhnya. Setelah semuanya yang dia katakan, aku tahu jika aku melukainya cukup dalam. Ah, sangat dalam sepertinya. Aku juga sadar seberapa sulit untuk dirinya menerima semua fakta tersebut, dan juga aku sadar seberapa sulit hidupnya selama ini karena aku. Aku selalu mencarinya saat aku butuh, di saat aku justru menutupi hal penting darinya. Bahkan, di saat dia mengetahui semuanya, dia tetap berusaha untuk percaya, namun aku yang justru memperlakukan dia sebaliknya, seolah menjadikannya tersangka dan aku korbannya. She is trying so hard, and I'm just being stupid and selfish.

Aku memang tidak berhenti untuk merutuki diriku sendiri. Betapa bodoh, jahat, tidak berperasaan, egois, dan segala macam makian yang memang pantas untuk ditujukan padaku. Bahkan, aku menyesali semua perbuatan dan pemikiran jahatku terhadapnya hanya karena masalah dia percaya pada semua ucapan Maryam. Yang sejujurnya, semua yang dikatakan olehnya adalah sebuah fakta. Aku saja yang terlalu egois dan terlalu merasa insecure karena semua itu membuatku lupa bahwa ada seseorang yang seharusnya memang aku percaya dari awal, seharusnya aku ungkapkan semuanya dari awal hubunganku dengannya.

"Are you okay?" tanya mami yang tiba-tiba saja sudah duduk di sampingku. Mami memandang ke arah yang sama denganku. "Mami udah denger semuanya dari Andreas."

Aku menoleh ke arah mami, yang kini sedang tersenyum ke arahku. "Ina udah pulang barusan, for your information, dia sempet cancel dua penerbangan," lirih mami. Aku menatap mami datar. "Kamu mikir nggak, Ndrew? Kenapa Ina sampai cancel dua penerbangan itu?"

Aku terdiam, mencoba berpikir. Dan, akhirnya aku menyimpulkan sesuatu yang menurutku tidak mungkin terjadi di saat-saat seperti ini.

"Ya, dia nunggu kamu dateng dan minta dia untuk tetap stay. Itulah yang mami pahami sebagai sesama wanita." Mami mengusap bahuku pelan. "Manusia itu tempatnya salah, Ndrew, itu wajar. Jadi, jangan merutuki diri kamu sendiri kayak gini. Kamu harus percaya bahwa setiap masalah pasti ada jalan keluarnya."

Seharusnya hari ini menjadi hari yang membahagiakan untukku. Hari wisudaku, dan hari di mana aku ingin mengajak Ina untuk melangkah lebih jauh bersamaku. Bahkan, aku mengira semua ini hanya mimpi.

Kalau ini mimpi, aku berharap untuk segera terbangun.

"Mami minta petugas hotel bersihin kamar sebelah, ya?" Aku terdiam sejenak, namun akhirnya mengangguk pelan saat mami pergi dari hadapanku.

***

Biasanya setelah proyek selesai, mood aku akan baik seharian. Apalagi kalau hasil akhirnya memuaskan seperti hasil kerja sama Mike Company dan Fly Art Company, salah satu perusahaan terkenal di bidang desain, ketika mereka luar biasa puas dengan hasil kerja timku. But, that was 'biasanya'.

Masalahnya sekarang, ini bukan biasanya. Tidak ketika seseorang yang punya andil besar dalam hidupku terutama selama satu bulan ini tidak aku tahu kabarnya. Dan, dengan ajaibnya tadi ikut dalam meeting tersebut. Dia sangat cantik, dengan setelan formal berwarna cream dan rambut yang digerai. Jangan lupakan senyuman manis yang dia lemparkan ke hadapan semua orang.

Sejujurnya, ini adalah pertama kalinya aku mati-matian menjaga moodku agar tidak rusak. Dan, ini seperti bukan aku yang biasanya. Entah ini kebetulan atau apa, dia berada dalam ruangan yang sama denganku. Untunglah, aku berhasil menahan diriku untuk tidak terpancing dengan perasaanku sendiri, dan memperlihatkan ketidakprofesionalanku di hadapan orang lain, aku nyaris gagal.

Kalau kalian bertanya perasaanku saat ini seperti apa? Aku bahkan tak bisa menjelaskannya. Bahkan, saat ini ucapanku jadi tidak jelas. Perasaanku terlalu campur aduk hingga aku sendiri tidak tahu harus mengatakan perasaan macam apa ini. Padahal itu kejadian beberapa jam yang lalu, namun bertahan hingga saat ini aku berada di ruangan kerjaku.

"Ndrew, lo mau ikut ke Skylar nggak?" tanya kak Andreas yang masuk ke dalam ruanganku tanpa permisi. Dia duduk di kursi depanku dengan segelas cola di tangannya.

"Gue nggak ikut, mau lembur, bulan depan masuk kuliah soalnya," lirihku pada kak Andreas.

Kak Andreas mendengus seketika. "Tiga minggu lagi gue berangkat loh, Ndrew, biasanya selesai projek lo ngajakin seneng-seneng. Patah hati aja lo masih bisa lembur kayak gini," ujarnya heran.

Aku menghela napasku pelan dan menatap kak Andreas lekat. "Kalo hidup gue nggak lagi in mess kayak gini, gue bukannya lagi di kantor kayak gini, Kak. Tapi, lagi di Menteng," jawabku saat mengingat jika hari ini adalah jumat malam, yang seharusnya aku menghabiskan TGIF-an bersama seseorang yang mengisi setiap jumat dan sabtu malamku.

"Mau gue anter?"

Aku tertawa kecil mendengar ucapan kak Andreas. Ucapannya benar-benar menolong dalam situasi seperti ini. "That's not my 'place' anymore, Kak."

Shit! Aku harap semua ini adalah break yang sesungguhnya, di mana pada akhirnya kamu akan kembali entah sampai kapan. Satu bulan, dan rasanya masih sakit saja untuk mengingat semuanya. Patah hati memang sebegini beratnya, ya? Padahal ini bukan pertama kalinya.

Kak Andreas menatapku lekat. "Selama pemiliknya masih mau menunggu lo. Gue pikir itu akan tetap menjadi tempat lo pulang," ujarnya setelah menghabiskan sisa cola di genggamannya. "Ngomong-ngomong, gue boleh minta tolong nggak?"

***

"Lo nggak pesen makan?" tanya Maryam saat aku hanya memesan ice americano di Cafe Caramel.

Aku diminta kak Andreas untuk menjemput Cindy di kampus untuk fitting baju, dan tanpa sengaja bertemu dengan Maryam. Tidak peduli fakta bahwa sebenarnya tadi siang aku melewatkan makan siang. Tapi, memang aku tidak berniat untuk makan siang di sini, bersama dia. Bukan karena tempatnya, tapi karena momennya saja yang membuat aku tidak nafsu makan.

Aku benar-benar ingin menolak ajakan Maryam tadi, tapi karena nama seseorang keluar dari bibirnya, entah kenapa itu jadi sihir terkuat untukku mengiakan ajakannya.

"I'm sorry."

Aku tidak menjawab ucapan Maryam. Hanya menatapnya dengan wajah datar.

Lihat selengkapnya