- Marina POV -
"Can I back to my home, Nana?"
Aku menyadari jika efek suara itu begitu luar biasa aku rasakan. Suara yang selalu masuk ke dalam mimpiku setiap malamnya. Aku pun masih tak percaya dengan keberadaan sosok di hadapanku saat ini. Apakah aku berhalusinasi atau semacamnya?
Entah kenapa rasanya saat suara itu masuk ke dalam gendang telingaku, perasaan yang kupendam selama dua bulan ini seolah keluar bersamaan dengan sesak yang sudah lama aku tahan. Dan, ini menyiksaku. Sungguh.
Tapi, aku tak ingin terlihat lemah di hadapannya. Tanpa merespons apa pun, aku berbalik dan membiarkan pintu tetap terbuka. Tanpa harus aku minta pun, aku tahu, bahwa laki-laki itu masuk ke dalam apartemenku saat mendengar suara pintu yang tertutup. Kakiku langsung berjalan ke arah dapur, dengan cepat aku menuangkan air mineral di dalam gelas kaca, kemudian meminumnya sampai habis untuk sekadar menenangkan diri.
Ketika aku memutar tubuhku, sosok laki-laki itu sudah berdiri tepat di belakangku, menatapku dengan penuh atensi seolah tak ada apa pun yang dia lihat kecuali diriku.
Shit!!!
Aku membenci hal-hal seperti ini, tapi saat itu juga aku menyadari jika aku begitu merindukannya. Merindukan keberadaannya di sekitarku, merindukan wangi mint yang selalu melesak masuk ke dalam indra penciumanku, merindukan tatapan dari mata yang selalu indah di mataku. Stop being weak, Ina!
"What?" Suaraku bergetar hebat. Aku memejamkan mataku sejenak menyadari jika banyak hal yang tak bisa aku tutupi di hadapannya, bahkan meski mati-matian aku tutupi, rasanya terlalu sulit.
"Aku tidak akan berbasa-basi untuk menanyakan kabar kamu, atau bagaimana keadaanmu sekarang. Karena kita berdua sama-sama tahu, bahwa semenjak hampir dua bulan ini kita sama-sama nggak baik-baik saja." Dia menunduk sebentar sembari menghela napasnya panjang. "It's been a long time to us. Nana."
'Nana', sudah lama sekali dari kali terakhir seseorang menyerukan panggilan itu. Karena dia adalah satu-satunya orang yang memanggilku dengan sebutan tersebut.
Aku hanya memandanginya tanpa jeda, rasanya masih terlalu seperti mimpi.
"We need to talk, Na."
"Ngomongin apa?" tanyaku. "Hal apa yang ingin kamu omongin ke aku, Andrew?"
Aku sadar kalau akulah yang meminta kami untuk break, dan akulah yang membuat kami berdua tersiksa satu sama lain. Tapi, dengan dia pergi begitu saja selama ini tanpa mengabariku sedikit pun juga bukanlah hal yang mudah untukku. Dia tidak pernah mengerti betapa pentingnya dia di hidupku, dan hanya karena aku mengatakan satu kata itu, dia seolah meninggalkanku tanpa ingin kembali. Lalu, selama hampir dua bulan, tiba-tiba dia datang begitu saja di hadapanku.
Andrew menghela napasnya pelan. "Maaf, Na. Maaf. Maaf karena keegoisanku. Aku..."
"Stop!" selaku sebelum Andrew melanjutkan ucapannya. "Biarin aku yang minta maaf lebih dulu ke kamu, karena aku sadar, semua ini nggak akan terjadi kalo bukan karena aku." Aku tak membiarkan Andrew merespons, karena sejujurnya, sekarang aku ingin mengatakan semua hal yang aku pendam begitu dalam. Aku ingin menjelaskannya sekarang juga. "Maaf karena belum bisa bikin kamu percaya sama aku, sampai akhirnya kamu memilih untuk menyembunyikannya, aku meminta maaf karena membuatmu merasa perasaan yang nggak enak karena keraguanku, maaf karena dengan egoisnya aku nggak mikir dari sisi kamu dan menganggap semua kekacauan dalam hubungan kita disebabkan oleh kamu tanpa sadar posisiku sendiri seperti apa, maaf karena memilih untuk break di saat seharusnya aku mengucapkan kata 'maaf' itu dari dua bulan yang lalu." Aku mengatakan semuanya, sesuatu yang kupendam untuk diriku sendiri.
"Tapi, rasanya sangat sulit aku ungkapkan saat itu, meski kata itu sudah ada di ujung lidahku. Maaf karena bikin kamu kecewa, marah, nggak percaya, dan semua hal yang menyiksa kamu. Aku minta maaf karena dengan keegoisanku waktu itu, aku merusak semua rencana yang sudah kamu susun, harusnya aku sadar, kamu terlalu berharga, kamu yang begitu baik dan perhatian sama aku. Seharusnya kamu dapetin seseorang yang lebih dari aku, seseorang yang bisa bikin kamu percaya. Aku bener-bener minta maaf, Andrew, I didn't any have to change back time. I'm sorry."
Aku telah mengungkapkannya, semua hal yang ada di pikiranku sejak lama. Tapi kenapa, rasanya tetap menyakitkan, bahkan lebih sakit dari sebelumnya. Aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela, kemudian menghela napasku kuat-kuat. Aku tahu jika Andrew masih menatap ke arahku, dan aku memilih untuk menunduk, membiarkan keheningan menyelimuti kami untuk beberapa saat.
"What do you mean about 'seharusnya kamu dapetin seseorang yang lebih dari aku', Na?" Dia beralih ke hadapanku, membuatku kembali menemukan tatapannya. "Aku tahu kalo aku pengecut karena lari selama dua bulan ini dari masalah yang harusnya aku selesaikan lebih awal, aku lari hanya karena kamu mengatakan satu kata yang harusnya nggak jadi penghalang di hubungan kita. Dan, nggak pernah sekali pun aku ngerasa kalo aku memilih orang yang salah, Na. Nggak pernah sekali pun dalam pikiran aku keluarkan kata-kata itu."
Aku mendengus ke arahnya. "Apa kamu mau ulang kejadian waktu itu sekarang? Kamu dengan pendapatmu dan aku dengan pendapatku? Kalo iya, aku terlalu malas untuk melanjutkannya, mendingan pembicaraan kita sampai di sini aja."
"Aku hanya ingin memperjelas segalanya yang terjadi di antara kita, Na. Aku tahu ada yang belum clear dari hubungan kita, makanya aku memilih untuk ketemu sama kamu."
"Setelah dua bulan?"
Shit! Sekuat apa pun aku menahannya, rasanya masih saja tak bisa di bendung, aku menyerah dengan sikapku yang sok kuat. "Walaupun aku bilang break, kamu pasti denger kalo aku membatalkan dua penerbangan waktu itu hanya buat nungguin kamu cegah aku, menjelaskan semuanya yang saat itu begitu abu-abu di mata aku. Dan, setelah selama ini, kamu tiba-tiba dateng dan bilang mau memperjelas semuanya? Selama ini kamu ke mana aja?"
Andrew terlihat terkejut dengan perubahan emosiku. "We need time, Na," lirihnya. "Baik kamu dan aku tahu jika kita sama-sama butuh waktu untuk mengerti situasi kita."
"Dengan pergi begitu saja? Setelah dengan jelas aku memberikan kode sama kamu bahwa aku ingin diperjuangkan?" Aku menatapnya dengan tatapan kecewa. "Setelah kamu bilang 'don't go', tapi kamu malah membiarkan aku pergi, bukannya memperjuangkan keberadaanku di sisi kamu. Aku sadar aku egois saat itu karena nggak melihat dari sisi kamu, tapi apa kamu pikir yang kamu lakukan itu nggak keterlaluan?" Aku tak bisa mengontrol emosiku lagi, bahkan mataku sudah memanas.
"Dua bulan, Andrew, dua bulan aku nungguin kamu seperti orang gila, dua bulan aku merasa menjadi orang paling nggak diinginkan oleh seorang Andrew, dua bulan aku mati-matian bertahan untuk terlihat baik-baik saja padahal aku begitu berantakan. Aku berusaha menata hidupku kembali yang akhirnya kembali terasa hancur oleh orang yang sama untuk kedua kalinya. Dan demi apa pun, kamu dengan mudahnya datang sekarang dan bilang ingin memperjelas semuanya?" Air mataku akhirnya meluncur tanpa bisa aku tahan. "Apa yang mau kamu perjelas lagi? Sedangkan semuanya sudah jelas, kamu nggak menginginkan aku, Ndrew, kamu tak ingin memperjuangkan aku lagi, dan kamu berhasil menyakiti aku, Andrew."
"Nana?" Suara Andrew tak kalah frustrasinya denganku. "Alasan aku nggak nemuin kamu bukan karena aku ingin buat kamu ngerasa kayak gitu, Na."
"Tapi itu yang kamu lakuin ke aku!" seruku dengan air mata yang sudah meleleh sejak tadi dan tak juga berhenti mengalir. "Kamu tahu? Kamu menyiksa aku dengan perasaan yang entah apa, aku bahkan tak tahu harus menyebutnya seperti apa karena rasanya begitu menyakitkan." Memang sesakit itu, hingga rasanya otakku tak bisa berpikir logis, dan akhirnya membuatku dikendalikan oleh perasaanku sejujur-jujurnya. "Kamu nggak bisa kayak gini, datang dan pergi sesukamu, mempermainkan perasaanku seolah semuanya baik-baik saja. Aku ... Aku nggak bisa!"
"Maafin aku, Na." Suaranya tak kalah bergetar. "Maafin aku yang dengan bodohnya batu menyadari jika aku emang sepengecut itu buat mengakui kebodohanku selama ini. Dan, akhirnya justru nyakitin kamu." Matanya bergetar. "Aku tahu jika kedatanganku ini nggak bisa kamu terima dengan mudah, tapi aku siap menerima resikonya, termasuk respon kamu terhadap aku."
"Aku minta maaf." Aku melihat matanya mulai memerah, dan beberapa kali dia harus menghela napas untuk melanjutkan kalimatnya. "Aku tahu kalau kata ini mungkin nggak akan merubah apa pun dari kamu, tapi meskipun begitu, aku ingin mengatakannya sekarang."
"Satu hal yang pasti, sudah sejak lama aku merasakan perasaan ini sama kamu tanpa alasan apa pun, jangankan dua bulan ini, meski bertahun-tahun perpisahan kita pun tak pernah bisa menghilangkan perasaanku pada kamu, Na. Tak ada satu pun wanita di dunia ini yang bisa menggantikan perasaan tersebut sampai detik ini. Aku cuma terlalu bodoh dan pengecut karena harga diri yang saat itu aku junjung tinggi, merahasiakan semuanya, yang akhirnya aku sadar dan membuat kamu pergi ninggalin aku." Dia terdiam sesaat sebelum melanjutkan kalimatnya. "Na, I was and still, and always loving you, mau seberapa lama pun aku jauh dari kamu, perasaan itu nggak pernah hilang sedikit pun, dan kalaupun Tuhan memintaku untuk memilih, aku akan tetap memilih kamu."
***
- Andrew POV -
"Aku harap kamu mau kasih aku kesempatan sekali lagi, Na. Aku nggak akan maksa kamu. Yang perlu aku lakukan sekarang adalah berusaha untuk tidak melakukan kesalahan yang sama lagi, dan di sini aku hanya bisa mohon sama kamu buat izinin aku untuk pulang, to come home." Aku menundukkan kepalaku, pasrah lebih tepatnya. Kalaupun Nana menolakku, aku memang pantas mendapatkan semua perlakuan ini, setelah segala hal yang aku lakukan pada Nana.
Seharusnya aku sadar, apa penyebab dari kekosongan yang aku rasakan selama hampir dua bulan ini. Itu karena tidak ada Nana di sisiku, tidak ada Nana dalam jarak pandangku. Tapi, diriku seolah menutup mata dengan semua kenyataan itu. Selama dua bulan yang begitu berat untukku maupun Nana. Dengan sok kuatnya aku bertahan, tanpa tahu jika hati kami terasa semakin rapuh setiap harinya.
Seharusnya aku sadar, jika kebahagiaan terbesar dalam hidupku saat ini adalah bersamanya, seseorang yang telah sekian lama ada dalam hatiku dan menetap di sana. Dia tak pernah pergi, namun justru akulah yang memilih untuk menjauh.
Kami terdiam, hanya suara isakan pilu Nana yang memenuhi ruangan apartemennya. Jika boleh, aku ingin sekali memeluknya, membiarkan tangisnya pecah dalam dekapanku. Namun, rasanya aku cukup tahu diri untuk tidak bertindak sejauh itu, untuk saat ini.
"Ndrew..." Shit! Kenapa suara Nana terdengar begitu tersiksa? Rasanya mataku memanas seketika. Aku mengangkat wajah dan melihat tangisnya semakin deras.
Damn you, Andrew! Ini semua gara-gara aku!
"Aku nggak pernah pergi, Ndrew, aku selalu di sini, nunggu seseorang yang aku harapkan kembali. Meski tiap harinya, aku hanya di hadapkan pada kenyataan bahwa sosok itu tak juga kembali. Tapi seolah tak peduli, yang aku lakuin tiap harinya hanya menunggu dan terus..."
Aku merengkuhnya sebelum Nana menyelesaikan kalimatnya, hal yang sedari tadi ingin aku lakukan. Aku menangis di hadapannya, sementara tubuh Nana bergetar hebat, tangisnya semakin pecah. Dan, rasa bersalah itu semakin kuat di hatiku saat tahu jika yang aku lihat sebelumnya belum seberapa, karena sekarang aku melihat Nana yang begitu rapuh. Isakannya jauh lebih menyedihkan dari sebelumnya, bahkan saat perpisahan kami tiga tahun yang lalu.
I know, I'm stupid.
"Na? Maaf. Maafin aku." Aku semakin merengkuh tubuh Nana dengan begitu erat. Aku pikir akulah yang paling menderita selama tiga tahun ini, setelah kata itu keluar dari mulut Nana. Tapi kenyataannya, aku yang justru telah menyiksanya begitu dalam. Aku mengecup puncak kepalanya berkali-kali. Berharap semoga ini terakhir kalinya aku melakukan hal bodoh seperti ini.
Akhirnya Nana melepaskan pelukanku, dan menatap langsung ke mataku. Perasaan bersalah yang sedari tadi mengungkungku tak berkurang sedikit pun. Jariku langsung mengusap ujung matanya yang masih menggenang.
"Aku minta maaf, Na. Aku tahu pasti nggak mudah buat kamu maafin aku. Tapi kapan pun kamu merasa siap buat maafin aku, aku bakalan nunggu kamu, Na. Aku nggak akan ngelakuin hal bodoh dengan meninggalkan kamu kayak kemarin. Kalaupun suatu hari nanti situasi kayak gini terulang lagi, aku akan berjanji akan tetap berada di pihak yang menunggu kamu."
Dia hanya terdiam dan terus menatapku dengan tatapan yang sulit untuk aku artikan. Aku tahu ini sulit baginya, dan memang rasanya sesakit itu.
"Aku tahu kalau hubungan kita nggak bisa kayak dulu lagi setelah semua hal ini terjadi, tapi please, kasih aku waktu untuk memperbaiki semuanya. Dan, membuatmu nyaman untuk berada di rumah yang sempat aku buat berantakan. I will do my best, to show you how much I love you, Na."
Bukankah memang masing-masing dari kami butuh waktu? Sekalipun Nana menerimaku kembali, kami butuh waktu untuk membangun sesuatu yang sempat retak sebelumnya. Membangun kepercayaan di antara kami salah satunya, dan itu bukanlah sesuatu yang bisa dipulihkan secara instan.
"Aku ... Aku belum bisa ngasih kamu jawaban," lirihnya.
Aku tersenyum tipis ke arahnya, kemudian kembali menarik tubuhnya masuk ke dalam dekapanku. "Nggak apa-apa, Na. Aku bisa nunggu sampai kapan pun itu. Dan, seperti ini saja sudah cukup bagi aku." Aku mengecup dahinya cukup lama. I miss her like crazy, and for the first time after two months, it doesn't feel hurt.
***
- Marina POV -
Andrew menuangkan bungkusan bakso hasil delivery service ke dalam dua mangkuk di hadapan kami. Dia mulai memindahkan daun bawang dari mangkukku ke mangkuknya. "Lupa nggak tulis dinote," ujarnya. Aku hanya tersenyum tipis.
Aku menatap kemeja kerjanya yang terlihat lusuh, dan beberapa bagian basah karena air mataku, membuatku menghela napas seketika.
"Kamu mendingan mandi dulu, di lemari kecil deket wastafel ada baju kak Mario yang ketinggalan di sini, pake aja dulu," ujarku.
Andrew menatap tampilannya dan tersenyum ke arahku. "Kamu belum laper banget, kan?" tanyanya memastikan. Aku menggeleng pelan.
"Ya udah, aku mandi bentar, ya?" ujarnya sembari mengusap puncak kepalaku.
Hampir tiga puluh menit dan Andrew tak kunjung keluar, aku curiga jika laki-laki itu tak tahu di mana letak lemari tersebut. Akhirnya, aku beranjak dari kursi dan berjalan ke arah kamar mandi. Saat baru sampai di lorong menuju kamar mandi, tempat wastafel itu berada. Aku justru melihat Andrew yang terpaku di depan cermin.
Kakiku melangkah mendekatinya. "Kenapa?" tanyaku lirih. Namun, suaraku itu berhasil membuat Andrew terkejut seketika, aku mendapati matanya yang memerah.
"Kenapa, Ndrew?" Bukannya menjawab, Andrew justru membawaku ke dalam pelukannya. Dan, aku bahkan tak bisa mengerti apa yang terjadi sebenarnya, sampai akhirnya aku menemukan petunjuk dari apa yang aku lihat di dinding. Tempat di mana aku menempelkan post it berbagai warna di permukaan kalender dengan berbagai macam kata.
'Mungkin besok dateng.'
'Kindly to wait.'
'I miss him.'
'Where are you?'
'Are you happy, now?'
'Unhappy without you.'
Dan, masih banyak kalimat lainnya yang tertempel rapi di setiap tanggal yang selama ini aku lewati dengan menunggu Andrew. Hal yang aku lakukan di pagi hari sembari menatap mataku di cermin, meyakinkan diriku bahwa aku mampu melewati setiap harinya dengan baik, meski itu tanpa Andrew di sisiku.
"Ndrew..." Dia justru memelukku semakin erat dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leherku. "I'm still waiting. So..."
Damn! Butuh waktu dua bulan untuk semua ini, dua bulan aku kehilangan pelukan yang membuatku nyaman dan merasa baik-baik saja, dan sekarang ketika aku mendapatkannya kembali, tak berubah sedikit pun.
Tiba-tiba, dia melepaskan pelukannya, membuatku bisa melihat sorot mata penuh penyesalan yang tercetak sempurna di matanya. Kedua tangannya menangkup wajahku. "Thank you for always being here and waiting, Na."
Kalau yang aku alami sekarang adalah mimpi, satu-satunya hal yang kuharapkan sekarang adalah agar aku tak segera bangun.
Aku melepaskan tangkupan tangannya, kemudian meraih pena yang sengaja aku gantung di sana, dan menuliskan sesuatu di atas post it. Aku menempelkan tulisan tersebut di atas kalender tepat di hari ini.
'Akhirnya dia kembali.'
***
"Besok ke acara Kak Andreas sama siapa?" tanyaku pada Nana yang sedang fokus memakan baksonya. Dia diam untuk beberapa saat. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semuanya tidak akan kembali seperti semula secara instan. Dan, bahkan Nana belum memberikanku kepastian secara langsung, apakah dia bersedia menerimaku kembali atau tidak.
"Sama Tanti."
"Sama aku aja, ya?" Aku menatapnya sekilas, kemudian tersenyum saat dia membalas tatapanku. "Tanti pasti ada whatsapp ke kamu."
Dia mengangkat alisnya dan membuka ponselnya di hadapanku. Aku terkejut saat melihat gambar lock screen di ponselnya yang bergambar sebuah gitar. Dan, aku sangat mengenali gitar itu. Karena, yah, itu adalah gitar milikku.
Tanti : Beib, apa pun hasil akhirnya antara lo dan Andrew, gue harap lo tetep datang ke acara Cindy dan Andreas bareng dia. I mean, gue sih berharap kalian berdua nggak sama-sama bego. Gue pengen kalian saling jujur abis itu balik lagi, kalau sampai nggak balik, gue bakalan ngamuk ke kalian berdua di acara Cindy ntar, okay?
"Gimana? Mau, kan?" tawarku lagi setelah Nana menutup pesannya. Dia hanya membalas dengan anggukan kecil.
Aku tersenyum ke arahnya, kemudian dia membalik sendoknya tanda dia sudah selesai makan, bahkan belum setengah porsi. Aku langsung menarik mangkuk bakso Nana dan mulai memakan sisanya, seperti yang biasa aku lakukan. Biasanya aku ngomel-ngomel dulu kalau dia makannya sedikit, walau ujung-ujungnya aku makan juga. Tapi untuk kali ini, aku memilih untuk diam dan membiarkan dia hanya memandangiku yang sedang menghabiskan sisa makanannya.