- Andrew POV -
I don't really know how to kiss a girl. But for sure, with Nana, I didn't lie when I told you that I've had the best kiss in my whole life, when I did it with her. Sejujurnya, aku belum pernah mengerti rasanya dengan orang lain, tapi entah kenapa saat bersama Nana ada sesuatu yang disebut dengan 'feeling', dan sesuatu yang membuatku terus mengingat semuanya dengan sangat detail.
Itu alasannya kenapa aku merasa harus menahan diri. Seperti sekarang, setelah bermenit-menit kemudian, I finally broke that kiss. Not because I feel enough already, tapi karena aku sadar kalau aku tidak akan pernah merasa cukup, makanya aku harus pintar-pintar buat menahan diri. In the other word, it called as 'self control'.
Pastinya aku akan mengatakan kalau ini tidak mudah untukku. Tentu saja, tapi karena aku paham kalau aku harus melakukannya demi Nana. Karena, aku benar-benar menghargainya.
Yang paling jauh aku lakukan, ketika di apartemenku di Singapura, kalian pasti ingat kejadian itu, kan? Ngaku aja, deh.
But, for sure, aku menghentikannya tepat saat she got hers, paham kan, maksudnya? Tentu saja saat itu I'm not in a good feeling for that one, karena saat itu juga aku sadar kalau Nana melakukan itu untuk mengetes aku. Dan, tentu saja aku meladeninya karena aku juga melakukan hal yang sama, yaitu memastikan asumsiku. Tapi, bahkan sampai sekarang, kami tidak pernah melakukan hal sejauh itu lagi, kecuali hanya sebatas ciuman saja.
Aku mengusap pipi Nana pelan, kemudian dia melingkarkan lengannya di leherku, dan mulai menyadarkan kepalanya di dadaku. Sedangkan, aku sibuk mengusap rambutnya, sembari sesekali menghirup aroma apel segar dari rambutnya.
"Na, aku pengen beli mobil. Menurut kamu gimana?"
Nana langsung mendongak menatapku. "Kali ini kamu pengen beli mobil apa?"
Aku tersenyum. Nana tahu hobiku yang baru, mungkin turunan dari Papi juga bahwa aku suka mengoleksi mobil. Entahlah, kenapa rasanya senang saja seperti punya kepuasan sendiri.
"Mau Lexus NX, kemarin nemenin Papi buat ketemu rekan bisnisnya. Dan, wah, aku speechless pas lihat mobilnya, bikin ngiler banget, Na."
Nana terkekeh mendengar penuturanku. "Your eyes are sparkling whenever you saw cool car like that, Ndrew. Aku udah sering lihat gimana ekspresi speechless kamu tiap lihat mobil semacam itu."
Aku ketawa kencang. "Emang kelihatan banget ya, Na? Kok aku jadi malu sih," ujarku.
"Well, itu kan uang kamu, hasil kerja keras kamu, kalo kamu pengen beli mobil ya beli aja," ujar Nana. "Mungkin aku terdengar ikut campur, tapi emangnya kamu nggak pengen beli rumah dulu gitu? Maksud aku, kan rumah itu kebutuhan primer."
Aku menarik Nana untuk duduk di pangkuanku, meski awalnya dia sedikit terkejut, akhirnya dia diam dan kembali bersandar di dadaku. "Kayaknya kamu perlu tahu deh, mungkin orang-orang mengira kalau duit yang aku dapet itu dari Papi. Well, itu nggak salah, tapi semenjak kuliah, aku udah nggak pernah dapet jatah jajan kayak pas SMA lagi."
Nana mendongak ke arahku. "Maksudnya?"
"Jadi, kita, aku dan Kak Andreas harus bantuin perusahaan Papi, dalam hal entah itu tender, ataupun management. Nah, kalo kita bisa lolos satu projek, maka kita akan mendapatkan imbalan atas itu. So, kayak apartemen, ataupun mobil emang murni uang hasil dari kerja keras kami sendiri. Kecuali uang kuliah, itu emang masih jadi tanggung jawab Papi. Dan, itu berlangsung selama hampir mau empat tahun. So, aku harap kamu nggak mandang aku kayak orang-orang lain, Na."
Nana tersenyum. "Don't worry, Ndrew. Aku nggak pernah mikir kalo kamu anak manja yang memanfaatkan uang orang tua kok. Dan, setelah denger itu semua, aku semakin bangga punya kamu."
Aku tersenyum penuh arti. "Kalo untuk rumah, aku harus nanya kamu dulu."
Nana menaikkan satu alisnya. "Kok aku? Kan, kamu yang mau beli rumah."
"Iya, tapi kan yang mau aku ajak tinggal serumah itu kamu. Sayang kalau beli dan nggak sesuai selera kamu. Jadi, kamu mau punya rumah yang kayak gimana? Kalo yang kayak rumahnya Pangeran Harry belum sanggup aku, Na, harus nabung dulu enam puluh tahun baru bisa beli."
Nana terkekeh setelahnya. "Emangnya kamu mau sama aku?"
"Nggak ada alasan buat aku nggak mau sama kamu, Na." Aku mengecup dahinya. "Nggak ada alasan untuk aku menjauh, karena lihat matamu saja, aku bisa melihat masa depan aku kayak apa. I can see my future in your eyes kalo kata Ed Sheeran."
"Aish, gombal! Coba terangin gimana masa depan kita kalo kamu bilang kayak gitu?" tantang Nana sembari melotot lucu ke arahku.
Aku pun mendekat ke arahnya, dan membuatnya gugup seketika saat mata kami saling menatap dengan jarak yang sangat dekat. "Aku lihat kita bahagia, hidup bersama di sebuah rumah, dengan anak-anak yang lucu-lucu kayak kamu."
"Ih! Gombal lagi, kan?" gerutunya, dan aku pun tertawa. "Jadi, kamu mau beli mobil dulu apa rumah dulu nih?" tanya Nana yang jelas-jelas dengan nada meledek.
"Hmm ... Rumah dulu aja, ya? Atau, gimana?" Aku mengacak rambutku sendiri karena pusing. "Takut ntar kamu malah tidur di mobil bukan di rumah kayak bayangan yang aku lihat di mata kamu."
"Emangnya mata aku kaca benggala apa?"
Aku tertawa seketika. "Kenapa jadi kaca benggala dibawa-bawa, sih?"
"Abisnya kamu! Kalo aku kaca benggala, kamu grandongnya!"
Lagi-lagi, aku tak bisa menahan tawaku. "Kalo aku grandongnya, kamu Mak Lampirnya."
Nana langsung menghujami dadaku dengan pukulan kecil. "Eh, jangan ding," selaku yang membuat dia berhenti memukul. Dia menatapku penasaran. "Kalo aku grandong dan kamu Mak Lampir, artinya kamu nenek aku dong, kita nggak bisa nikah ntar."
Nana memutar bola matanya, membuatku semakin gemas dibuatnya. Dengan refleks, aku memutar tubuhnya dan kini dia sudah berada di bawahku. Wajahnya menegang seketika.
"Ndrew? What are you doing?"
Aku menatapnya intens, kemudian tersenyum miring. "If I say that, I want you, kamu mau gimana?"
Mata Nana membelalak seketika. Tanpa aba-aba, aku langsung memagut bibirnya, menyesap atas dan bawah secara bergantian. Aku melepaskan cengkeraman tanganku di lengannya, dan tanpa diminta, Nana langsung mengalungkan tangannya di leherku, membuat pagutan kami semakin terasa intens dan panas.