- Marina POV -
Andrew memandangiku sekilas yang sejak tadi tersenyum ke arahnya, entahlah, rasanya kebahagiaanku terasa sempurna hari ini. Tahu kan aku sudah negative thinking dari tadi, dan sok-sokan bersikap menjadi pacar yang dewasa dengan memotivasi diriku bahwa tidak masalah meski Andrew tidak datang saat aku sidang, padahal sebenarnya aku berharap dia akan datang? Eh, ternyata dia kasih surprise untuk aku. Bagaimana tidak senang coba?
"Kamu ngelihatin aku terus, sebegitu senengnya kamu aku kasih hadiah?" tanya Andrew.
Ya, senang untuk hadiahnya, tapi itu bukan poin utamanya. Aku lebih bahagia karena bunga yang dia berikan. Dan, kenyataan bahwa dia menungguku saat aku ujian di dalam sana.
"Kamu juga sering kayak gitu, lihatin aku terus, emangnya aku nggak boleh?" jawabku.
Mobil Andrew masuk ke dalam parkiran apartemenku. Dia mematikan mesin mobil, kemudian menoleh ke arahku. "Kalo aku kan udah sering bilang, suka aja lihat kamu, Yang. Soalnya kamu cantik, jadi nggak bosen buat dilihat."
Aku hanya menghela napas dan menggeleng pelan mendengar kalimat gombal yang sudah biasa aku dengar keluar dari mulut Andrew. Tapi, tetap saja dia selalu sukses membuatku salah tingkah.
"Sini, aku pakaikan kalungnya, Na," ujar Andrew. Aku pun menyodorkan kotak tersebut ke hadapan Andrew, dia membukanya perlahan. "Kamu hadep sana," titahnya.
Aku pun menuruti perintah Andrew. Hingga akhirnya, aku merasakan sesuatu yang berkilauan sudah melingkar di leherku, membuatku menunduk sejenak dan memperhatikan liontin yang berbentuk bintang di sana.
"Thank you, Ndrew," ujarku tulus sembari membalikkan tubuhku menghadapnya. "This is seriously beautiful, padahal kamu katanya mau beli rumah, tapi malah beliin aku kayak gini," lirihku.
"Emangnya kenapa, Na? Ini nggak semahal yang kamu bayangkan."
Aku menyipitkan mataku, menatapnya. "Emangnya aku nggak tahu apa? Kamu pikir aku sebagai cewek nggak suka lihatin katalog Tiffany & Co? Dan, bahkan dengan cuma lihat dari bentuknya aja, aku bisa tahu kalo ini ada di top list, kalau aku jahat dan pengen ngerusak momen, aku pasti udah marah-marah karena kamu beliin aku barang semahal ini."
"Jangan galak-galak dong, Yang." Andrew mengusap rambutku. "Namanya juga hadiah, aku jarang ngasih sesuatu ke kamu. Jadi, bolehlah sesekali." Andrew mengedipkan sebelah matanya. "Kamu seneng, kan?" tanyanya memastikan.
"Banget. Kamu nggak tahu gimana senengnya aku sekarang."
Andrew mengerutkan dahinya, kemudian melipat tangannya di depan dada. "Tapi kok, aku merasa nggak puas, ya? Belum sih lebih tepatnya."
"Kurang apanya?" tanyaku bingung. Jarang sekali Andrew mengomentari penampilanku. Bukan berarti aku ingin selalu terlihat sempurna di matanya, tapi kebanyakan aku selalu sependapat dengan dia untuk masalah penampilan.
"Ada yang kurang aja gitu."
"Kalungnya terlalu bagus ya, makanya nggak cocok aku pake?"
Andrew menggeleng pelan. "Kamu nggak ngerasa kalo ada yang kurang gitu? Kurang lengkap loh!"
Aku menunduk menatap kalung yang melingkar di leherku. "Ini aja udah bagus banget, apanya yang kurang coba?"
"Emang iya?" sanggah Andrew, sebelum aku melayangkan pertanyaan kembali. Andrew mengeluarkan kotak kecil dari sakunya. Aku bisa menebak apa isinya, dan entah kenapa, jantungku sekarang seolah berhenti. Apalagi saat Andrew membukanya dan menghadapkannya ke arahku.
"Bagaimana kalau pakai ini juga?"
Ah, gila!
Aku bahkan tidak tahu harus merespons seperti apa. Otakku blank seketika setelah paham apa yang terjadi sekarang.
Sadar kalau aku hanya diam, akhirnya Andrew kembali berbicara, dan wajahnya terlihat sangat serius. "Na, ini sebenarnya udah aku rencanakan dari waktu wisuda aku beberapa bulan yang lalu. Tapi, kamu pasti paham kenapa waktu itu aku nggak mengungkapkannya sama kamu. But, seriously, apa yang aku katakan sekarang berdasarkan dengan apa yang aku pikirkan, aku nggak jago mengungkapkan perasaanku kayak laki-laki lain di luar sana yang harus menyiapkan apa pun untuk melamar kekasihnya." Andrew berhenti sejenak, kemudian menarik napasnya dalam-dalam.
"Kamu pasti tahu, dari awal aku selalu mengatakan kalau kamu adalah satu-satunya sosok yang bisa menempati level tertinggi dalam hidupku selain mami. Kamu wanita satu-satunya yang selalu berhasil menyita perhatian, perasaan, sekaligus pikiranku. Kamu adalah wanita pertama dan aku harap menjadi yang terakhir juga, yang mampu membuatku jatuh cinta. Kamu satu-satunya wanita yang bikin aku nggak tahu harus berbuat apa saat jauh dari kamu. Give me happiness. You're my happiness and my home. Kehilangan kamu adalah salah satu hal yang berhasil membuatku ketakutan, dan aku nggak mau hal itu terjadi lagi dalam hidupku. Aku ingin hidup bersamamu, menghabiskan sisa umurku hingga maut menjemput. Even in the after life, seperti yang sering aku baca di kitab kita, aku harap juga aku bisa bersama denganmu di surga sana. I can see you in my future, and I know that I can't life without you. Dan itulah alasannya, sekarang aku di sini, menanyakan padamu dengan sepenuh hati." Andrew kembali menarik napasnya dalam-dalam. "Will you marry me, Marina Dwi Prasetya?"
Air mata yang tanpa seizinku kini keluar deras setelah mendengar kalimat Andrew yang terdengar bersungguh-sungguh. Aku bisa merasakan betapa tulusnya dia mengucapkan itu semua. I can feel love through his words, his eyes, and everything in him. Aku menatap laki-laki di hadapanku dengan mata yang sudah basah. Dan, hanya dengan melihatnya, aku sudah bisa membayangkan hidupku di sana. Aku mencoba menenangkan diriku, agar suaraku tidak terdengar seperti isakan. "Dengan segala perasaan yang sama-sama aku rasakan sepertimu, dengan harapan yang sama seperti apa yang kamu harapkan untuk masa depan kita..." Aku menarik napasku untuk beberapa saat. "I will, Andrew."
Kami terdiam untuk beberapa detik. Hingga akhirnya, aku menyadari jika Andrew sudah membawaku ke dalam pelukannya, bersamaan dengan tawa yang terdengar sangat bahagia. Dia mengecup dahiku berkali-kali. Kemudian kembali memelukku dalam waktu yang lama. Hingga akhirnya, dia melepaskan pelukannya dan memandangiku lekat-lekat.
"Can I put the ring on your finger?" Aku bisa mendengar suara Andrew yang bergetar, membuat perasaan bahagia kembali menyeruak dalam hatiku. Aku mengangguk pelan dan menahan agar tangisku tak semakin deras ketika melihat Andrew memasangkan cincin di jari manisku.
Andrew menatapku, tangannya mengusap kepalaku pelan setelah cincin tersebut terpasang sepenuhnya di jariku. "I love you so much, Nana. Thank you."
Aku mengusap air mataku, kemudian mengalungkan lenganku di lehernya, sebelum mengecup pipinya singkat. "I love you too, Andrew."
Dan, Andrew kembali membawaku ke dalam pelukannya, pelukan yang akan selalu aku rindukan setiap aku pulang, pelukan yang menjadi tempatku bersandar dalam keadaan apa pun, pelukan yang selalu menghangatkan hatiku. Aku bahagia. Sangat bahagia. Kalau ada kata yang mengungkapkan kata lebih dari kata bahagia, maka aku akan menggunakan kata itu saat ini juga.
Aku tak pernah menyangka kalau hubungan kami akan sampai ke tahap ini. Dan sekarang, dengan segala kebahagiaan ini, aku berharap akan selamanya. Because, I love him, and he loves me. And, I'm glad we've found each other.
"Ayo, turun, Na. Kelamaan di mobil ntar dikira yang nggak-nggak sama yang ngawasin CCTV." Begitulah cara Andrew yang dengan mudahnya merusak momen kami.
***
Kami memutuskan untuk mampir dulu di supermarket bawah karena persediaan makananku sudah mulai habis. Andrew dengan sigap mendorong troli dan mengikuti langkahku yang sedang memilih-milih beberapa sayuran.
Andrew tipe orang yang kalau belanja suka lapar mata, dan belanja apa pun itu. Camilan yang kelihatan enak dari kemasan langsung dimasukkan ke dalam troli, bukan hanya itu, seperti baju, sandal, sampai sepatu pun seperti itu. Padahal sepatu dan sandalnya sudah menumpuk sampai bingung mau pakai yang mana. Biasanya nanti setelah dibawa ke rumah, dia baru sadar kalau sepatu yang dibelinya ternyata sama seperti sepatu yang dia beli dua minggu sebelumnya. Dan, contohnya sekarang ini, dalam waktu kurang dari satu jam, troli belanjaan kami sudah dipenuhi oleh barang-barang yang asal dia masukkan.
"Kamu yakin, ini semua bakalan habis sebelum masa expired-nya?" tanyaku saat kami sedang mengantre di kasir. Bukan perhitungan, hanya saja aku belajar dari pengalaman di mana belanjaan sebanyak itu tidak mungkin aku makan sendirian, dan kalian tahu kalau Mike Andrew ini adalah salah satu manusia paling sibuk sedunia yang kadang suka bepergian entah ke luar kota ataupun ke luar negeri dengan waktu yang tak bisa ditentukan. Aku hanya khawatir makanan yang kami beli hanya akan berakhir pada tempat sampah.
"Kalo nggak habis, tinggal kasih yang membutuhkan, Na," jawabnya santai, sampai-sampai aku tidak tahu harus menimpali seperti apa. "Ada yang mau kamu beli lagi?" tanyanya.
Aku menggeleng cepat. "Nggak perlu, Ndrew. Ini aja udah overload," seruku.
Andrew mengusap kepalaku pelan. Barang-barang tersebut kemudian dipacking dan Andrew memintanya untuk langsung dikirimkan ke apartemenku.
Kini, aku sudah menaiki lift dengan beberapa bunga yang dibawa Andrew, dan bunga dari Andrew yang berada di pelukanku.
"Jangan lihatin aku gitu, Ndrew," ujarku saat menyadari jika sejak tadi Andrew menatap pantulan wajahku dari cermin yang ada di dalam lift.
"Emang nggak boleh?" Andrew melingkarkan satu lengannya yang bebas di pinggangku.
"Bukannya gitu, tapi kan..."
Tangannya beralih mengusap kepalaku. "Tapi kan apa, Na? Aku kan punya mata, ya wajar dong buat ngelihat, apalagi ngelihat cewek secantik kamu. Rezeki nggak boleh di tolak, pamali."
"Ndrew, bisa nggak sih nggak usah bikin salting gini?"
Andrew terkekeh, kemudian mengecup puncak kepalaku. "Nggak bisa, Na. Mulut aku kalo godain kamu lancarnya Masya Allah, udah kayak ibu-ibu kalo lagi gibah gitu."
Aku terkikik geli mendengarnya. Hingga akhirnya, lift berhenti di lantai apartemenku. Kemudian dengan cepat aku memasukkan passcode.
Namun, satu detik setelahnya, aku terpaku melihat apa yang ada di hadapanku.
"Congratulations, Marina Dwi Prasetya, Sarjana Desain!" seru orang-orang di hadapanku dengan wajah mereka yang terlihat sumringah. Terdapat balon-balon dan tulisan besar di sana 'Marina Dwi Prasetya, S.Ds'. Perasaan haru itu kembali menyeruak masuk ke dalam hatiku.
"Selamat ya, Sayang!" Mama terlebih dahulu memelukku dengan erat, tangannya mengusap punggungku pelan. "Semoga ilmunya bermanfaat. Makasih karena sudah berjuang sampai sejauh ini. Ah, iya, akhirnya kamu menemukan kebahagiaan kamu, Dek. Mama sama papa pasti bakalan dukung kalian berdua," lirih mama setelah sadar ada sesuatu yang melingkar di jariku.
Kemudian papa mendekat dan memeluk kami berdua, membuat perasaan hangat yang berhasil penuh sesak di dalam hatiku. Kini, kak Mario dan kak Yuni yang menyemangatiku. Dan, tak lupa juga Alice yang memberiku sekuntum bunga nawar merah dengan ucapan selamat yang tergantung di sana.
Kami akhirnya mengambil potret kebersamaan kami. Hingga pukul tujuh malam, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang.
"Is it good?"
Andrew mencondongkan tubuhnya melihat potret yang baru saja kami ambil. Celebration pictures, kami menghasilkan banyak pose. Dari formal seperti foto keluarga, hingga fotoku bersama Andrew di mana dia sedang mengecup dahiku dan memperlihatkan cincin. Tak lupa, tawa bahagia yang tercetak sempurna di wajah kami.
"Kalung sama cincinnya, seriously beautiful," ujarku saat menatap foto kami berdua. Aku dan Andrew bukanlah pasangan yang suka mengabadikan momen dengan selfie atau semacamnya. Kecuali Andrew yang terkadang mengambil potretku diam-diam, begitu pun sebaliknya. Seperti saat dia wisuda ataupun momen khusus lainnya. "Makasih banyak ya, Ndrew?"
"It's beautiful, because you're the one who wearing it, Yang," ujarnya lancar seolah tanpa dosa karena membuat jantungku berdegup kencang.
Ya, karena kejutan yang lainnya. Aku benar-benar heran dengan pergerakan Andrew di dalam keluargaku. Bahkan, Kak Mario dan Papa pun mengakui jika Andrew adalah negosiator yang baik. Dia membuat semua rencana ini dengan segala jurus melobi-nya yang selalu berhasil memenangkan tender, akhirnya pun terbukti di keluargaku. Dan, pada akhirnya mereka berhasil terayu. Meski tetap, dengan membawa-bawa namaku tentunya. Dia adalah orang yang pernah berada di situasi baik papa, maupun Kak Mario. Makanya dia sangat tahu bagaimana rasanya berada di situasi keduanya.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke dalam ponselku, sebuah pesan dari Tante Miranda, ucapan selamat dengan yang mencantumkan fotoku dan Andrew.
"Mama sama Papa tahu rencana kamu dari kapan? Mami sama Papi kamu juga udah tahu?"
Andrew mengangguk pelan. Kemudian meletakkan ponselnya dan melebarkan tangan, tanda bahwa dia ingin dipeluk. Aku pun mendekat dan memeluknya. "Waktu itu, dua minggu aku pergi ke Jogja yang aku bilang ada urusan kerjaan, itu buat nemuin mama papa kamu, minta izin untuk kedua kalinya sama mereka, mengatakan niat baikku sama kamu, dan segala hal yang ingin aku usahakan untuk kebaikan kamu. Dan, aku juga mengatakan segala hal lain tentang Kak Mario yang begitu menyayangi mereka. Bagaimanapun, Kak Mario tetap kakak kamu, aku pengen dia dan keluarga kecilnya pun ikut merasakan kebahagiaan yang kamu rasakan. Karena sampai kapan pun, tidak ada yang namanya mantan anak, ataupun mantan saudara. Dan, syukurlah papa kamu bisa menerima semua ucapanku, dan bersedia untuk hadir di hari ini bersama dengan Kak Mario. Kalo papi sama mami mah nggak usah ditanya, mereka mendukungku sepenuhnya. Kalo nggak aku cegah mungkin mami udah booking ballroom buat nikah besok, saking semangatnya." Andrew terkikik geli. "Dan, akhirnya hari ini, semuanya bahagia. Aku dan kamu, begitu pun keluarga kita. Oh ya, aku nervous banget waktu itu, tapi abis itu benar-benar lega pas mama sama papa kamu peluk aku, dan ngucapin terima kasih sama aku. Padahal harusnya aku yang mengucapkan itu pada mereka, karena telah menghadirkan sosok sesempurna kamu di dalam hidupku."
Aku memang tidak ada di sana saat Andrew bertemu dengan papa dan mama, tapi hanya dengan mendengar ceritanya saja entah kenapa aku bisa merasakan perasaan bahagia yang Andrew rasakan. Aku mengerjapkan mataku agar tidak menangis lagi, tidak untuk di hari ini; hari bahagiaku.
"Kamu melakukan ini semua untuk kebahagiaanku?"
Andrew mengangguk pelan. "Aku udah bilang kalo kamu itu sumber kebahagiaan aku, Na. Itulah yang sedang aku perjuangkan. Dan, yang namanya menjalin hubungan bukan hanya tentang kita berdua, right? Itulah yang aku pikirkan, karena sumber kebahagiaan yang nggak pernah lepas dari hidup kita adalah keluarga. Maka dari itu, aku ingin kamu jadi pasangan aku, maupun kamu jadi anak dan adik di keluarga kamu. Aku ingin melengkapi itu semua. Karena selama kamu bahagia, aku juga demikian."
Melihatku yang masih bergeming, dia kembali berucap. "Hmm ... Aku pengen ngajak kamu ke hotel deket Anyer besok sama keluarga aku dan keluarga kamu, Na. Buat ngerayain kelulusan kamu."
Tatapanku yang awalnya sendu berubah menajam. "Ndrew, jangan bilang kamu yang reservasi..."
Andrew meringis. "I just want to give you my best, Na. Sekalian pertemuan keluarga untuk pertama kalinya. Mami juga setuju, sekalian buat menyampaikan niat baik keluarga aku ke keluarga kamu."
"Aku nggak mau kamu ngabisin uang kamu buat sesuatu yang sebenarnya bisa dilakukan di rumah aku contohnya."
Dia mengusap pelan kepalaku. "Airyn sama Alice bilang kalo mereka butuh liburan, dan aku mengusulkan itu mereka langsung seneng. Lagi pula, nggak apa-apa, Na. Aku melakukan ini buat kebahagiaan kita bersama, jadi jangan tolak apa pun, apalagi yang aku kasih ke kamu. Yang ini..." Andrew mengusap tanganku yang sudah dihiasi cincin. "Kamu harus pakai terus. Nah, kalau yang jari sebelah kanan, ntar kita cari bareng-bareng."
See? Kemampuan melobi-nya memang tidak diragukan lagi. Kemudian aku menatapnya intens dan tersenyum ke arahnya. "Makasih, Ndrew, karena udah bikin aku sebahagia ini."
Andrew memperpendek jarak di antara kami. "Trust me, aku ingin melakukan hal ini selamanya, dan cuma buat kamu, Na," ujarnya sebelum akhirnya menunduk dan mencium bibirku.
***