- Marina POV -
"Kenapa mama nggak nelpon aku langsung, malah minta kamu yang jemput?" tanyaku pada Andrew yang sibuk menyetir di sampingku.
"Mama tadi nelpon aku pas pulang dari kampus, terus katanya minta tolong anterin kamu ke rumah, soalnya besok mama sama papa kamu mau berangkat besok pagi, kalo nelpon ke kamu pasti kamu nanti naik taksi, bahaya katanya," terang Andrew yang tersenyum sekilas ke arahku sebelum kembali menatap jalanan di hadapannya.
"Mama?"
Andrew terkekeh. "Iya, Tante Rianti minta aku buat manggil beliau mama, nggak apa-apa, kan?" ujarnya renyah. Entah kenapa aku senang mendengarnya.
Aku menggeleng pelan. "Nggak apa-apa kok, aku malah seneng dengernya. Masalahnya di sini, kamu kan capek, harusnya kamu telepon aku aja biar aku pulang sendiri."
"Mana tega aku ngebiarin kamu pulang sendiri naik taksi lagi. Selama aku nggak sibuk-sibuk banget, aku free kok, Yang. Nggak usah ngerasa ngerepotin atau gimana, aku pasti akan nganterin ke mana aja kamu mau. Apalagi ke KUA, langsung di garis terdepan kalo itu," ujarnya dengan nada jenaka.
Aku membalasnya dengan senyuman tipis. Sejujurnya, apa yang diucapkan Kak Ryan tadi sore di telepon masih mengusikku. Sangat mengusikku. Aku bahkan berniat menolak ajakan Andrew untuk pulang ke rumah karena ... Yah, aku takut jika Papa berubah pikiran.
Di mata Papa waktu itu, Arrayan Kharisma adalah sosok menantu idaman baginya. Apalagi papa dan mama tidak tahu apa-apa tentang masalahku dan Kak Ryan. Aku memang sengaja menutupinya karena aku tak ingin membuat kesan baik Kak Ryan di mata orang tuaku berubah. Biarlah tetap seperti itu saja.
Di sisi lain, semua itu membuat rasa khawatirku beberapa hari yang lalu tentang kejelasan hubunganku dengan Andrew semakin terasa.
'Kalau saja Andrew sudah melamarku secara gamblang pasti ini tidak akan terjadi', itulah yang ada dalam pikiranku saat ini. Aku mungkin terlalu panik, tapi ini semua benar-benar membuatku ketakutan. Aku tidak mau kehilangan kepercayaan papa terhadap Andrew, terlebih aku juga tidak mau kehilangan Andrew.
"Ada yang ganggu pikiran kamu, Yang?" Pertanyaan Andrew sontak membuatku kembali fokus. Aku langsung memalingkan wajahku ke arah Andrew yang kini menatapku penuh perhatian. Aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan ternyata kami sedang berada di lampu merah. Tangannya mengusap kepalaku pelan. "Kalo ada yang mengganjal, aku siap kok dengerin cerita kamu," lirihnya.
"Ndrew...," lirihku.
"Iya?" responsnya tanpa mengalihkan perhatian dariku. Dia menatapku begitu sendu.
Ah, shit! Rasanya lidahku begitu kelu. Aku hanya ingin menanyakan masalah kelanjutan lamaran kemarin, tapi malah tidak mau keluar dari tenggorokanku.
Lampu sudah berubah menjadi hijau. Andrew pun mulai kembali melajukan mobilnya. Tangannya meraih jemariku, menggenggamnya dengan sangat erat. "Apa pun itu, kalo kamu belum siap buat ngomong, nggak apa-apa, tapi jangan sampai semua itu menyiksa kamu ya, Na? Aku nggak mau lihat kamu gelisah kayak gini."
Bagaimana tidak terharu coba? Dia sangat-sangat mengerti aku. Bahkan, tanpa aku kasih tahu sekali pun, dia tidak memaksaku untuk bicara, dan memberi waktu untukku sampai aku siap mengatakannya. Di mana coba kalian menemukan laki-laki seperti Andrew di belahan bumi ini? "Thanks ya, Ndrew?" lirihku.
Andrew melepaskan gandengan tangannya dan menarik tubuhku untuk bertumpu di bahunya. "I'm the one who should be thankful, Na." Aku mendongak menatapnya, dengan jarak yang sedekat ini, aku baru menyadari jika rambut-rambut janggut Andrew sudah terlihat tumbuh. Sepertinya dia sibuk sekali minggu ini sehingga tidak sempat mencukurnya. Aku mengusap janggutnya pelan, membuat senyum tipis terukir di wajahnya.
"Can I ask you something?" tanyaku lirih.
"What?"
"Am I good enough for you already?"
Andrew menoleh sekilas ke arahku, dia pasti menyadari jika saat ini aku menanyakan hal tersebut dengan serius. "No. You're not good enough." Dia menggeleng pelan. "You more than that."
Aku tersenyum, entah mengapa jawaban Andrew berhasil membuat perasaan lega menyelimutiku. Aku ingin memercayainya, aku ingin memercayai kata-katanya waktu melamarku saat itu, bahwa dia ingin hidup bersamaku. Tentu saja, aku pun begitu.
"Thank you, Na," ujarnya, membuatku kembali menatap ke arahnya yang masih sibuk menatap jalanan di depan kami. "Terima kasih karena mau menungguku, sampai hari ini."
Aku menatapnya bingung. "Maksud kamu?"
Tiba-tiba, aku merasakan mobil Andrew berhenti. Aku mengedarkan pandangan dan ternyata kami sudah berada di halaman rumahku. Aku merasakan bibir Andrew mendarat di pelipisku untuk beberapa saat.
"Yuk, turun. Mama sama papa kamu pasti sudah nungguin."
Aku pun mengikuti langkah kaki Andrew memasuki rumah. Kami disambut hangat oleh mama dan papa.
Aku menatap kedua laki-laki yang masih duduk di sofa ruang tamu dengan tatapan takjub saat aku membawa makanan ke atas meja makan. Samar-samar, aku mendengar topik pembicaraan mereka dan menggeleng pelan saat mereka sedang sibuk membicarakan tentang klub bola favorit mereka yang berhasil masuk ke semi-final.
Bukan itu saja, terkadang papa suka ganti topik yang jauh, seperti masalah pertahanan negara atau persenjataan. Dan hebatnya lagi, Andrew bahkan bisa nyambung dengan pembahasan tersebut.
"Bengong aja, Dek." Ucapan Mama sontak membuatku terkikik geli karena ketahuan melihat dua laki-laki di sana. "Lagi ngelihatin dua laki-laki ganteng, makanya bengong?"
"Gantengan papa tetep."
Mama terkekeh. "Pasti dong! Mau gimanapun papa kamu, dia tetep cinta pertama putrinya," ujar mama sembari mengusap kepalaku.
Aku menatap mama sesaat. "Mama masih ingat sama Kak Ryan?"
Mama terlihat berpikir sejenak. "Hmm ... Ryan mantan kamu itu?"
Aku hanya mengangguk pelan.
"Ingat kok, kenapa emangnya?"
Aku menggigit bibir bawahku dan mulai gugup. Menyadari perubahan ekspresiku, mama menggenggam tanganku erat. "Orang tua Ryan tadi siang ke sini."
Tubuhku menegang seketika. Kak Ryan baru saja membicarakan masalah ini sore, dan ternyata orang tuanya sudah terlebih dahulu menemui orang tuaku. Awalnya aku hanya menganggap kalau ucapan Kak Ryan cuma sekadar candaan, tapi setelah mendengar penuturan mama, perasaanku semakin tidak enak.
"Ceritanya di meja makan aja, yuk. Biar rame-rame."
Aku dan mama berjalan ke arah meja makan. Disusul dengan papa dan Andrew dari belakang.
"Eh, ayo makan, Nak Andrew. Kasihan dia baru pulang kampus langsung ke sini," ujar papa.
"Eh!" seru mama. "Ya ampun, Nak Andrew, kok nggak bilang? Tahu gitu kan mama nggak langsung minta tolong kamu buat jemput Ina. Mama malah jadi nggak enak gini."
Mendengar mama memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Mama' di depan Andrew, membuat hatiku menghangat setelahnya.
Andrew tersenyum. "Nggak apa-apa kok, mama, papa. Saya sudah cukup istirahat kok tadi, lagi pula saya malah excited buat makan malam di sini."
Mendengar respons dari Andrew, reaksi orang tuaku tentu bisa ditebak. Aku rasa Andrew mengambil S2 jurusan 'menantu idaman' bukan ilmu bahan-bahan.
"Eh, gimana hafalannya?" tanya papa tiba-tiba.
"Sudah siap, Pa. Insyaallah."
Aku yang sejak tadi hanya diam menikmati interaksi mereka bertiga, akhirnya menatap mereka dengan tatapan bingung. "Hafalan apaan?"
"Surah," jawab papa sambil tersenyum. "Andrew nggak bilang ke kamu, ya?" tanya papa yang aku jawab dengan gelengan singkat.
"Kalo masalah Andrew nemuin kami pas kami di rumah Eyang yang di Jogja, kamu udah denger, kan?" Kini, mama yang bertanya padaku. Aku jawab dengan anggukan kecil.
Mama tersenyum simpul ke arahku, kemudian beralih ke arah Andrew. "Jadi, waktu di Jogja, Nak Andrew nggak cuma minta restu ke papa sama mama, sayang."
Aku mengerutkan dahiku bingung. "Maksud mama?"
Aku menatap ketiga orang tersebut secara bergantian. "Selain papa sama Mama, Nak Andrew juga minta restu sama Eyang kamu, Eyang Pramita."
Aku tertegun untuk beberapa saat. Kemudian menoleh ke arah Andrew yang tersenyum penuh arti ke arahku. Lalu, aku kembali menatap mama karena aku masih butuh penjelasan lebih. "Terus, Ma?"
Mama meletakkan sendok di atas piring dan mengusap kepalaku pelan. "Kamu tahu kan Eyang orangnya gimana?"
Aku mengangguk pelan. Eyang adalah sosok yang tegas dan kaku, itulah yang membuat ayahku tumbuh dengan watak yang hampir sama. Terlebih di Jogja, Eyang lebih sering dipanggil Bu Kyai dibandingkan Guru sebagai profesinya dulu.
"Nah, Eyang minta satu syarat agar Nak Andrew bisa menikahi kamu." Mama menjeda kalimatnya sejenak. "Dan, syaratnya adalah hafalan surah Ar-Rahman."
Hatiku berdegup kencang seketika. Aku beralih menatap Andrew yang sekarang menatapku dengan senyuman lebar di bibirnya. Otakku blank seketika saat ini juga. Apa sih sebenarnya yang aku pikirkan?
"Iya. Maaf ya, saya emang sengaja nggak bilang ke Marina karena takut membebani pikirannya. Dan, maaf juga karena saya butuh waktu sampai selama ini untuk bisa menghafal semuanya dengan lancar. Kalau nggak lancar nanti, kan malu sama Eyang," ujar Andrew santai.
Air mataku sudah membendung, kemudian tak lama menetes di pipiku. Selama ini aku meragukan Andrew hanya karena ingin memperjelas hubungan kami, hanya karena di hadapanku Andrew seolah berhenti memperjuangkanku, seolah dia tidak memberiku kejelasan. Tapi, ternyata yang dia lakukan selama ini adalah sedang memperjuangkanku. Dan parahnya lagi, aku tahu ini tidak mudah untuk Andrew.
Bodoh banget kan, aku? Kok bisa-bisanya pikiran pendek seperti itu muncul?
Namun, di samping itu semua, apa yang baru saja aku dengar adalah sebuah hal luar biasa menurutku. Serius, aku pikir Andrew sudah melakukan hal yang membuatku merasa luar biasa terharu sekaligus dihargai dengan meminta izin ke orang tuaku terlebih dahulu sebelum melamarku. Tapi, itu ternyata tak cukup, dia bahkan meminta restu sama Eyang di mana biasanya hal itu dilakukan sewaktu lamaran resmi.
Mama mengusap punggungku untuk menenangkanku.
Andrew menarik napasnya dalam-dalam. "Jadi, minggu depan saya bersama keluarga besar saya berniat untuk bertamu, untuk acara lamaran resmi Marina sebagai calon istri saya."
Mungkin ini maksud kalimat Andrew saat di mobil yang mengatakan: 'Terima kasih karena mau menungguku, sampai hari ini'.
***
- Andrew POV -
"Tadi siang orang tua dari Arrayan datang ke mari," ujar Om Pras yang langsung membuat aku dan Nana mengalihkan tatapan dari makanan di hadapan kami. "Mereka berniat untuk meminang Marina menjadi menantu," lanjut Om Pras.
Bohong kalau aku tidak syok mendengar fakta tersebut, terlebih berita yang aku dengar, justru bertolak belakang, di mana Ryan akan segera menikah dengan kekasihnya yang bernama Nabila. Tapi, melihat Nana yang terlihat tidak terlalu terkejut, sepertinya dia telah mengetahuinya terlebih dahulu.
"Tapi tenang saja, kami berdua tentunya menjelaskan pada orang tua Nak Arrayan bahwa Ina sudah memiliki calon suami, dan itu adalah Nak Andrew," ujar Tante Rianti.
"Tentu kami tak akan menyia-nyiakan calon menantu seperti Nak Andrew yang sudah membuat keluarga kami menjadi lebih akrab seperti sekarang," ujar Om Pras dengan tatapan tulus.
"Andrew tidak membantu apa pun, itu semua murni dari hati papa, mama, serta Marina, makanya bisa tercipta situasi seperti ini."
Om Pras terkekeh, kemudian mengusap bahuku lembut. "Papa Pras sudah mempercayakan putri satu-satunya di keluarga Prasetya Nugroho ini sama Nak Andrew, papa harap Nak Andrew bisa menjaga Marina dengan baik." Aku menatap Om Pras, Tante Rianti, dan Nana bergantian. "Lagi pula, Marina maunya sama kamu, papa jodohin sama Justin Bieber juga pasti nggak mau dianya."
"Ih, Justin Bieber udah nikah Papa! Ina nggak mau jadi istri kedua!"
Semua orang di meja makan tertawa dengan sanggahan Nana.
Aku pun tak bisa menahan senyumku, Om Pras rasanya teramat sangat luar biasa bahagia karena satu kalimat yang keluar dari mulut Om Pras, yang kedengarannya begitu tulus beliau ucapkan. Ternyata begini rasanya dipercaya oleh orang lain sebesar ini? Jadi, begini rasanya memiliki keluarga baru yang menyambutmu dengan penuh kehangatan seperti sekarang.
Melihat senyuman lebar ketiga orang di hadapanku saat ini....
Sungguh....
Rasanya begitu membahagiakan.