- Andrew POV -
"Gue sedih campur seneng masa lihat lo pake baju adat ginian, Kak," ujar Airyn yang dari tadi menemaniku di salah satu kamar The Darmawangsa Hotel. Airyn terlihat cantik dengan kebaya putih yang dikenakan. Tumben kan aku memuji adikku? Tapi, melihat dia yang dari tadi mengusap matanya dengan tisu sontak membuat hatiku bergetar. Sosok Airyn yang jarang menangis, kini dengan mudahnya dia menangis di hadapanku.
"Walaupun kak Andrew sering ngeselin, tapi Airyn sayang sama kak Andrew. Airyn seneng akhirnya kak Andrew bisa menemukan kebahagiaan kakak," ujarnya masih sembari menangis.
Aku beralih ke tempat duduk di sampingnya. "Iya, Airyn. Makasih. Udah, jangan nangis. Nanti make up kamu luntur," ujarku meledek. Airyn memukul bahuku pelan, namun detik selanjutnya Airyn memeluk tubuhku dengan sangat erat.
"Airyn bahagia lihat kak Andrew bahagia." Suaranya terdengar terisak. "Airyn nggak tahu kenapa Airyn nangis, padahal Airyn seneng."
Hari ini adalah perasaan yang disebut dengan haru. Perasaan di mana senang, hingga rasanya tak bisa diungkapkan hanya dengan senyuman. Aku mengusap punggung Airyn pelan, menenangkannya yang masih terisak.
"Kok kak Andrew nggak nervous, sih?" lirihnya saat menjauh dari tubuhku.
"Nervous parah nih, Ryn. Cuma ditahan aja," ujarku. Kakiku sejak tadi tidak berhenti bergerak karena saking gugupnya. Mami dan papi beserta kak Andreas memasuki kamar dengan senyuman yang merekah di bibir mereka.
Mami tidak banyak bicara akhir-akhir ini, dia hanya mengelus kepalaku pelan.
"Ayo, kita berdoa dulu untuk kelancaran acara, lima belas menit lagi kita harus turun untuk acara akad Andrew," ujar papi. Airyn kemudian berdiri, diikuti olehku.
Kami berdoa dalam diam, dan setelah papi mengucapkan kata 'selesai', aku menatap satu per satu wajah anggota keluargaku. Keluarga yang selama hampir dua puluh tiga tahun menemaniku, membimbing, mengingatkan, memberikan canda dan tawa yang mengisi hariku. Dan kini, tibalah saat untukku membangun keluargaku sendiri.
"Andrew ingin meminta maaf, pada papi, mami, kak Andreas dan Airyn atas kesalahan-kesalahan yang pernah Andrew perbuat. Dan, Andrew memohon doanya untuk kelancaran acara Andrew dan Nana."
Mami tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Dia melangkah selangkah dan memelukku erat, dan dilanjutkan oleh papi, Kak Andreas dan Airyn. Hingga akhirnya, kami semua bersiap-siap untuk ke bawah.
Jangan tanyakan suasana ballroom seperti apa, karena perasaan gugup dan suasana yang terasa sakral jauh meningkat berkali-kali lipat dibandingkan acara lamaran waktu itu. Aku masih berusaha untuk menenangkan diriku agar tidak terlihat gugup.
Di kursi belakang keluargaku, terdapat teman-teman yang memandangiku dengan senyuman lebar khas mereka. Ada Haikal dan Layla. Ada Fardan, Luvia, Reyhan, dan beberapa teman Nana yang lain. Sementara, Cindy dan Tanti lagi menunggu di kamar Nana. Beserta keluarga yang jumlahnya lumayan banyak.
Aku kini duduk di hadapan Om ... eh salah, saking gugupnya, Papa Pras maksudnya. Papa Pras tersenyum ke arahku, karena sepertinya beliau sadar kalau aku sedang gugup sekarang. Aku mencoba membalas senyuman Papa Pras ala kadarnya, di balik jantungku yang sedang maraton menahan gugup.
Dan, ketika prosesi ijab kabul akan segera dimulai. Aku mulai menjabat tangan Papa Pras kuat-kuat. Hingga kalimat yang keluar dari mulut Papa Pras, kemudian disusul denganku, yang aku ucapkan dengan sungguh-sungguh dan penuh keyakinan, dengan lancar aku ucapkan. Bersamaan dengan perasaan haru yang kembali menyeruak saat dengan lantangnya aku mendengar ucapan 'sah' dari para tamu undangan.
Satu kalimat yang mengisyaratkan janjiku pada Nana, pada orang tua Nana, dan juga pada Sang Pencipta. Satu kalimat yang resmi mengubah statusku dan Nana menjadi sepasang suami istri.
Bagaimana aku tak seketika terenyuh, perasaan lega yang begitu membumbung tinggi memenuhi rongga dadaku. Dan, itu membuatku sadar tentang begitu sakralnya kalimat tersebut.
Dan, perasaan gugup kembali menyelimutiku ketika MC mengumumkan bahwa mempelai wanita akan segera memasuki ballroom. Selama satu minggu tidak bertemu Nana efeknya luar biasa dahsyat. Dan benar saja, napasku tercekat saat melihat calon istri. Eh, sekarang sudah menjadi istriku, berjalan didampingi oleh Cindy dan Tanti di sampingnya. Dengan anggunnya dia berjalan bak putri keraton ke arahku.
Aku sampai tak bisa menggambarkan bagaimana cantiknya dia saat ini. Perasaanku terasa campur aduk. Haru. Kagum. Bahagia. Senang. Takjub. Dan, semua hal lainnya yang membuatku tak bisa menahan senyumku saat dia duduk di sampingku. Istriku cantik sekali.
Nana menatapku dengan tatapan teduh, dan aku bisa merasakan jika dia pun juga merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Aku imamnya sekarang, dan dia sudah siap untuk mengikuti langkahku.
Dan, saat ini terjadi lagi, saat aku tak bisa menahan air mataku saat kami berdua bersimpuh di hadapan keempat orang tua kami, memohon restu untuk keluarga baru yang kami bangun. Di situ pertahananku runtuh seketika, bahkan aku bisa mendengar isakan dari Nana yang terdengar lebih kencang dariku. Ketika papi dan mami memelukku erat, mengucapkan rasa syukur dan terima kasih sebanyak-banyaknya atas segala kebaikan, kebahagiaan, dan segala keajaiban yang aku ciptakan di kehidupan mereka. Dan, dilanjutkan ke papa Pras dan mama Rianti, aku pun sama tak bisa menahan diri untuk tidak menangis.
"Saat pertama kali Marina kecil kami terlahir di dunia, dia menjadi simbol kebahagiaan bagi kami, orang tuanya. Papa dan mama besarkan dia dengan segenap jiwa dan raga. Kami didik dengan semaksimal ilmu yang kami punya. Dan, kami jaga dia dengan penuh kehati-hatian." Suara papa Pras terdengar semakin memberat. "Dia kini telah menjadi sesosok gadis yang cantik. Betapa bangga kami memilikinya. Dan, hari ini, akhirnya datang juga. Saat di mana kami harus melihatnya terbalut dalam pakaian cantik, yaitu gaun pengantinnya. Gadis kecil kami sudah tumbuh dewasa. Dan, sesudah ijab kabul ini, Nak Andrew yang kini menjadi penjaganya, menggantikan kami. Tolong, jangan beratkan hatinya, karena sebenarnya pun hatinya telah berat untuk meninggalkan kami dan hanya mengabdi kepada Nak Andrew. Jangan sakiti hatinya, karena hal itu berarti pula akan menyakiti papa dan mama. Marina kecil kami besarkan dengan segenap jiwa raga, untuk menjadi penopang kami di masa depan, untuk mengangkat kehormatan dan derajat kami. Maka hargailah Marina yang telah dengan rela mengabdi kepada Nak Andrew. Maka, hiburlah dia yang telah membuat keputusan yang sedemikian sulit. Maka, sayangilah dia atas semua pengorbanannya yang hanya demi diri Nak Andrew. Kami akan selalu mendoakan kebahagiaan kalian, karena kalian adalah anak-anak yang sangat kami sayangi."
Dan aku sadar, jika semua harapan orang tua itu satu; kebahagiaan anak-anaknya. Semua ucapan Papa Pras membuatku semakin sadar dengan tanggung jawab yang aku emban sekarang.
Kini, kami berdiri, aku menggenggam tangan Nana erat. "Bantu aku ya, Na, bantu aku untuk jadi imam yang baik buat kamu, dukung aku untuk menjalankan amanah dan tanggung jawab yang sudah aku emban," ujarku sungguh-sungguh.
Nana mengangguk pelan. "I will, I promise. Aku akan selalu berada di samping kamu, Andrew. Mendukungmu, membantumu untuk membangun sebaik-baiknya keluarga kita."
It's a beautiful story. The way we found each other. The way our love a force greater than both of us. And, greater than anything in this world. This is because of her, in my side.
***
- Marina POV -
Aku tersenyum ke arah semua orang yang menyapaku dengan ramah saat aku baru saja akan memasuki lorong menuju para bridemaids-ku.
Kalian pasti pernah dengar istilah 'Kalau kita lagi bahagia, kita bahkan tidak akan merasakan lelah walau sedikit pun'. Dan, itu yang aku rasakan sekarang. Saat aku sadar kalau sedari pagi buta aku sudah disibukkan dengan berbagai macam hal, dan sampai malam ini pun, energiku seolah tak berkurang sedikit pun. Kebahagiaan benar-benar menjadi bahan bakar energiku hari ini. Hari bahagia yang sudah aku tunggu-tunggu, entah dari kapan.
"Lo cantik banget sih, Na," seru Tanti. "Mau pake baju adat kayak tadi pagi, mau pake wedding dress ala-ala Princess Disney gini, tetep aja cantik banget. Pengen pingsan gue, bagi-bagi apa cantiknya ke orang."
"Apaan sih, Tan? Lebay banget! Ini karena bajunya yang super duper cantik, gue aja pertama kali lihat langsung speechless." Aku benar-benar tidak bisa berhenti mengangumi gaun pengantin hasil desain dari granny-nya Cindy. Modelnya sederhana dan memanjang mengikuti bentuk tubuhku. Bentuk gaunnya begitu mewah dan elegan. Perpaduan warna krim dan putih, yang senada dengan setelan jas Andrew.
Tanti mengikuti arah pandangku. "Gue paham sih, kalo lo nggak fokus sama diri lo sendiri makanya lo nggak nyadar betapa cantiknya lo malam ini. Lo terlalu sibuk mengagumi suami lo yang subhanallah gantengnya dan makin shinning shimmering splendid aja, mentang-mentang emang dari sononya ganteng, ditambah aura pengantinnya kelihatan banget. Yah, emang harus gue akui sih, dia emang gantengnya udah level kun fayakun."
Aku hanya tertawa mendengar ungkapan jujur seorang Tanti. Sementara, bridemaids-ku yang mengikuti langkah di belakangku ikut tersenyum karena candaan Tanti.
Aku mendengar suara MC yang sedang menyapa para tamu undangan. Sedangkan, aku menunggu di ruang tunggu bersama bridemaids-ku. Kami sepakat agar Andrew menunggu di ballroom, sementara aku datang bersama bridemaids.
Saat mbak-mbak organizer memberikan aba-aba agar aku masuk ke dalam ballroom, dengan menarik napas dalam-dalam, aku mulai menginjakkan kaki di ballroom. Kilatan flash, lensa kamera, beserta tatapan senang dari semua orang yang berada di sana, otomatis terarah padaku. Aku membalas tiap-tiap senyuman yang mengarah kepadaku.
Langkahku terhenti seketika, saat melihat jejeran bestman yang berbaris menungguku di sana. Aku mengerutkan dahi karena tak menemukan keberadaan Andrew di sana. Hingga akhirnya, sebuah suara terdengar nyaring, membuatku langsung mengalihkan tatapanku, mencari keberadaan si pemilik suara itu.
"Banyak lagu yang sering aku nyanyikan untukmu."
Aku masih berusaha mencarinya, mengedarkan pandangan di sekitarku.
"Namun saat itu, lagu itu aku tujukan untuk seseorang yang aku cinta, dan belum aku miliki seutuhnya." Lampu-lampu mulai meredup.
"And, this is a song for my beautiful wife."
Satu detik kemudian, para bestman yang berjejer di hadapanku terpecah dan menampilkan seseorang yang sedari tadi aku cari. Namun, bukannya menghampiriku, yang dia lakukan adalah duduk di sebuah kursi kayu, dengan piano di hadapannya. Hal yang tak pernah aku bayangkan karena ini benar-benar di luar dari apa yang telah kita rencanakan bersama. Dia menatapku dengan sebuah senyuman yang memikat, hingga akhirnya denting piano mulai memenuhi ballroom.
Ya Tuhan!
Rasanya aku tak yakin dengan apa yang aku dengar sekarang, nada yang sangat familier masuk ke dalam telingaku tanpa permisi.
For me, most beautiful song from John Legend, All of Me.
Tatapanku terasa terkunci hanya ke arahnya saat dia mulai bernyanyi dengan suara yang luar biasa indahnya. Apalagi tatapannya yang tak pernah lepas dariku, seolah tak ada yang lain yang lebih penting di sini selain aku. Dan, semua ini tanpa sadar membuat ujung mataku basah.
'Cause all of me
Loves all of you
Love your curves and all your edges
All your perfect imperfections
Give your all to me
I'll give my all to you
You're my end and my beginning
Even when I lose I'm winning
'Cause I give you all of me
And you give me all of you
Oh, God! I can't even more thankful to have him as my husband, and to love and be loved by him.
Andrew beranjak dari kursinya, kemudian berjalan ke arahku tanpa melunturkan senyumnya barang sedikit pun. Senyumnya berubah menjadi tawa saat melihatku sudah berurai air mata. "Aku nggak ada niat bikin kamu nangis, sayang."
Aku memukul dadanya pelan dengan buket bunga yang aku pegang. "Bisa nggak sih seharian ini berhenti bikin aku terlalu bahagia, Ndrew?" Aku mendongak menatapnya, dia mendekatkan wajahnya hingga hidung kami saling bersentuhan. "Thank you. It's beautiful."
Lengan Andrew meraih pinggangku dan mengecup dahiku cukup lama. "Aku yang harusnya berterima kasih sama kamu, sayang. Thank you for coming into my life and making me the happiest man in the world. Thank you for being my wife."
Aku tersenyum, kemudian mengusap pipinya pelan. "Thank you for choose me to be your wife, dear my husband."
***
"Udahan?" tanya Andrew saat aku ikut merebahkan diri di sampingnya. Dia langsung menarikku ke dalam pelukannya. "Emangnya MUA-nya nggak bantu bersihin make up kamu? Kamu perlu istirahat, Na. Nggak tega aku lihat kamu seharian ini," lirihnya sembari mengusap kepalaku pelan.
"Kan udah spa tadi," lirihku. Ya, Andrew meminta pihak hotel menyediakan spa untuk malam ini khusus untukku, dan itu luar biasa membantu tubuhku yang lumayan capek. "Kamu juga jangan khawatirin aku mulu, kamu juga kan pasti capek," ujarku.
Andrew tersenyum. "Aku baik-baik saja, Yang. Tenang aja. Hmm ... by the way, I want to ask you one question."
Aku mendongak ke arahnya. "What is that?"
"Are you happy, my wife?"
Aku tersenyum ke arahnya. "Kamu nggak akan pernah bisa bayangin betapa bahagianya aku hari ini. And, I can't be more thankful," jawabku jujur. "How about you? Are you happy?"
"I can't even describe how I'm happy." Dia mengecup dahiku singkat. "Boleh jujur nggak, Na?" Aku menatapnya lekat-lekat. "I miss you so much," ujarnya.
Satu minggu. Dan, itu waktu yang cukup untuk kami memupuk rasa rindu tanpa bertemu langsung. Hingga sekarang adalah waktu untuk kami memanennya segera. "Me, too."
Sebuah senyum sendu terbit di bibirnya. "Nana..." Aku terkesiap saat Andrew menarik tengkukku untuk mendekat dan menghabiskan diri untuk semakin memperpendek jarak seolah meminta izin.
Aku tersenyum tipis. Aku tahu betul jika selama ini dia telah menahan diri, hingga akhirnya saat ini pun tiba. Entah keberanian dari mana, aku justru menangkup pipi Andrew dan mencium bibirnya terlebih dahulu. Saat aku akan menarik diri, Andrew kembali mempertemukan bibir kami dalam lumatan yang panas.
"Ndrew ... Andrew...," lirihku sembari menahan gejolak aneh yang mengungkung otakku.
"Sebut namaku lagi," bisiknya di antara lumatan kami.
Aku membuka mulutku, membuat Andrew langsung melesakkan lidahnya dalam mulutku, menguasaiku seutuhnya.
"Andrew..."
Andrew menarik tubuhku untuk berada di hadapannya tanpa memutus pagutan kami. Dia mendudukkanku di pangkuannya, dengan lengan yang melingkar di pinggangku.
"Lagi," pintanya.
Aroma mint khas Andrew menyeruak ke dalam hidungku.
"Andrew..."
"Lagi."
"I love you," lirihku. Ucapan itu semakin membuat Andrew memeluk pinggangku begitu erat, memelukku seolah kehilangan kendali.
Aku tahu, ini saatnya, di mana kami akan melewati batas itu bersama, lebih dari sebelumnya, lebih panas, dan mendebarkan, membuatku terlena karena mengambil begitu banyak keinginan dalam diriku dari sosok laki-laki yang sudah berstatus sebagai suamiku ini.
Andrew kembali menelusupkan lidahnya dalam mulutku, tidak sabaran, menuntut, dan membuatku tenggelam dalam karena semuanya terasa begitu kuat.
Aku melenguh saat Andrew menggigit bibir bawahku tak sabaran. Dia kemudian menurunkan tangannya yang berada di pinggangku menuju gaun tidur yang aku kenakan.
Dia menyentuh, mengusap, dan masuk ke dalam gaunku yang berhasil memberikan rasa yang mendebarkan yang membuat jantungku seolah akan keluar dari rongga dadaku.
Napasku tertahan.
"Can I?" tanya Andrew berbisik. Dia mengecup bibirku dengan tangan yang mulai bergerak di perutku.
"Jawab aku, sayang," pintanya terlihat frustrasi.
Aku terdiam menatapnya. Sementara, Andrew dengan mata yang sayu, bibir yang basah, dan dada yang naik-turun karena menghirup kuat-kuat oksigen di sekitar kami, membuatku menelan salivaku dalam-dalam.
"Andrew?" panggilku pada akhirnya.
"Hm?"
"Be gentle to me, Andrew." Andrew tersenyum tipis, kemudian mengecup dahiku, hingga berakhir pada bibirku.
Hingga akhirnya, dia menarik bibirnya dan memandangiku dengan intens. Membuat perasaan gugupku beribu kali lebih parah.
"This is my first. So..."
Andrew menunjukkan smirk-nya yang menggoda.
"I will take it slow, sayang," bisik Andrew di telingaku.