Katamu Aku Cantik

Farida Zulkaidah Pane
Chapter #1

Putri Cantik dan Pangeran Tampan

Lagi-lagi, Ratna terlambat mengejar angkutan umum yang melintas. Armada berikutnya baru akan muncul sekitar 15-30 menit lagi. Daripada terlalu banyak membuang waktu menunggu, Ratna memilih berjalan kaki menuju terminal bus terdekat.

Kalau ada angkutan umum lewat, aku bisa langsung naik. Kalau enggak, toh, aku udah bisa sampai di terminal. Moga-moga aja bus langsung penuh dan berangkat. Terpaksa deh, berdiri sambil berdesakan. Mau gimana lagi? Daripada enggak bisa ikut pelajaran seharian? Mana hari ini ada ulangan lagi. Uh! pikir Ratna.

Ratna terus saja memacu langkahnya. Sekilas, Ratna menangkap sesosok pria bersepeda motor dari arah berlawanan yang melintas. Jika hanya melewati, tentu Ratna tidak akan terlalu ambil pusing. Akan tetapi, Ratna bisa menangkap bahwa pria itu tampak mengamatinya dari balik helm teropong dengan ragu-ragu sebelum akhirnya kembali melaju.

Beberapa menit kemudian, lamat-lamat Ratna mendengar suara deru mesin sepeda motor yang semakin dekat. Seorang pria bertubuh sedang dengan kulit terang dan berusia menjelang 30 tahunan menjejeri sambil duduk di atas sepeda motor yang bergerak perlahan.

Pria yang tadi! Mau apa dia? Ratna memekik dalam hati.

Kali ini, ia tidak memakai helm. Garis wajahnya cukup bagus dan halus. Panjang rambut ikalnya sedikit melewati kerah jaket kulit hitam yang tertutup rapat. Secara keseluruhan, dandanannya tampak bersahaja, walau tidak bisa disebut biasa-biasa saja.

“Mau ke mana?” tanyanya dengan senyum ramah.

“Ke sekolah,” jawab Ratna apa adanya.

“Saya antar, yuk! Biasanya, angkutan umum di sini agak lama datangnya. Kamu bisa terlambat kalau menunggu. Kamu harus sampai di sekolah tepat waktu, kan?” Pria ini seolah tidak memberi kesempatan Ratna menolak.

Orang sekitar sini, rupanya. Hafal soal kebiasaan angkutan umum yang lewat. Eh, tapi, tinggal di mana, ya? Dari pembawaannya, ia kelihatan seperti orang asing. Mungkin dia hanya pernah punya pengalaman tertinggal angkutan umum saat ke sini? Hati Ratna menebak-nebak.

Lokasi sekolah Ratna memang jauh. Terlambat satu armada angkot saja akibatnya ia bisa terjebak macet di beberapa titik nantinya. Moda transportasi paling lincah di situasi begini memang hanya sepeda motor.

Sejurus kemudian, Ratna melirik ke arah pengendara sepeda motor itu sambil menghela napas berat. Pria itu tampaknya orang baik-baik. Karena merasa tidak punya pilihan lain, akhirnya Ratna memutuskan bersedia membonceng padanya ke sekolah. Ratna menerima helm yang sedari tadi dipeluk pria itu dengan tangan kirinya.

Helm! Saat lewat sebelumnya, dia enggak bawa ini. Berarti dia tadi pergi sebentar untuk mengambil helm ini. Jadi, dia tinggal di sini? Dia sengaja kembali cuma buat mengantarku! Mau apa dia sebenarnya? Apa dia ada niat buruk ke aku? Pikiran Ratna berputar-putar.

Waktu terus berjalan seolah tidak mengizinkan Ratna berpikir lama-lama. Dengan berat hati, Ratna duduk di belakang pria itu dan menyisakan jarak di antara mereka berdua. Cukup untuk membuatnya terjengkang jatuh jika pria itu menyalakan gas tiba-tiba. Untunglah, ia tidak pernah melakukannya. Pemuda itu mengemudikan sepeda motor dengan alur yang halus, menunjukkan perangai dasarnya.

Sambil duduk menyamping, tangan kanan Ratna berpegangan kuat pada area jok yang memisahkannya dengan pemuda itu, sedangkan tangan kirinya menggenggam batang logam di belakang jok.

Aroma harum menguar lembut seiring alunan angin yang meniup dari balik jaket pengendara. Sejenak Ratna merasa rileks dan perlahan menepis rasa khawatirnya akan terlambat sampai di sekolah. Tiba-tiba, rasa tenang itu berubah menjadi gundah. Ia takut jika ini akan membuatnya ... jatuh cinta!

“Sekolahnya di mana?” tanya pria itu sopan.

Ratna baru tersadar, ia belum memberitahu tujuan mereka. Ratna pun menyebutkan sebuah nama sekolah. “Tahu tempatnya?” tanya Ratna menguji.

Melalui kaca spion, hanya bisa menebak-nebak bahwa wajah dari balik kaca gelap helm itu sedang tersenyum. “Saya tidak tahu karena bukan asli sini. Saya dari Bandung,” jawab pria itu.

Oh, pantas! Seharusnya Ratna sudah bisa menebak sejak awal dari raut mukanya.

“Kamu bisa menunjukkan arahnya, kan?” tanya pria itu.

Lihat selengkapnya