Tahun ajaran baru di TK Ratna telah tiba. Saatnya kembali ke sekolah. Ratna memang tipe murid idaman semua guru. Cerdas, rajin, penurut, disiplin, dan bersemangat belajar tinggi. Cinta melimpah yang didapat selama di sekolah membuatnya betah di sana.
Sebenarnya, beberapa bulan lagi Ratna akan berumur enam tahun. Banyak teman-teman sekelasnya dulu di TK B yang melanjutkan ke SD. Akan tetapi, Mama memiliki pertimbangan lain untuk Ratna.
Pertimbangan pertama, tentu saja berdasarkan imbauan dari pemerintah untuk mulai masuk SD di usia tujuh tahun. Menurut Mama, mending melebihi batas minimal usia tujuh tahun daripada kurang.
Meskipun secara akademis Ratna sudah pasti bisa mengikuti bahkan mengungguli teman-temannya, Mama masih merasa perlu memperhatikan sisi psikologisnya bagi Ratna yang sangat pendiam.
Jika anak seperti Ratna termasuk yang berusia kecil di kelasnya, Mama khawatir itu akan menjadi faktor ancaman bagi Ratna. Bisa saja, Ratna tidak berani menolak permintaan teman-temannya yang lebih besar nantinya. Mama tidak mau Ratna merasa tertekan di sekolah baru.
Lagi pula, Mama merasa Ratna sudah berada di tangan guru-guru yang baik. Sayang sekali jika dilepas terlalu awal. Biarlah Ratna mendapatkan kasih sayang yang lebih lama, daripada diganti dengan tantangan di SD yang belum jelas seperti apa lingkungannya.
Karena itu, Mama menerima tawaran dari TK tersebut untuk anak-anak yang sudah lulus kelas TK B namun belum genap berusia tujuh tahun. TK menyediakan satu program khusus bagi mereka yang disebut kelas Persiapan. Ada sekitar sepuluh murid yang akhirnya mengikuti kelas ini.
Mungkin karena jumlahnya yang sedikit, maka kelas Persiapan tidak dijadikan sebuah kelas tersendiri. Kegiatan belajarnya disatukan dengan kelas TK B yang baru. Itu artinya, Ratna menjadi teman sekelas adik-adik kelas TK A dulu.
Bagi Ratna, itu bukan masalah. Ia tidak tergantung dengan teman mana pun. Memiliki guru-guru yang baik sudah cukup baginya. Walau TK ini sederhana, namun fasilitasnya sudah bisa membuat Ratna sibuk belajar dan mencoba ini-itu.
Hanya satu hal yang mengganjal baginya. Seragam sekolah yang semakin pendek saja di tubuh. Maklum, ini kan, seragam tahun lalu. Ratna bertambah tinggi demikian cepat. Seragam itu berupa blus putih berlengan pendek dengan dua kelopak kerah tidur berbentuk setengah lingkaran. Bagian luarnya dilapisi dengan terusan tanpa lengan berwarna biru, dengan dua saku tempel di bagian depannya.
Mama memang hanya mempertimbangkan lebar baju yang masih muat untuk dilewati tubuh kurus Ratna. Beliau tidak mempermasalahkan ujung rok yang meninggi, menampakkan semakin banyak area paha Ratna.
“Enggak apa-apa. Masih kecil, enggak perlu malu.” Begitu tanggapan Mama saat melihat Ratna sibuk menarik-narik ke bawah ujung terusan birunya. Ratna memang masih kecil. Akan tetapi, ia tetap saja merasa malu. Apakah itu salah?
Ratna pun berusaha berjalan ke sekolah dengan santai. Sepertinya, setiap orang yang lalu-lalang dilewatinya di sepanjang perjalanan, tidak ada yang mempermasalahkan ujung roknya yang pendek itu.
Bulan berganti bulan. Tubuh Ratna semakin menjulang, melewati tinggi teman-teman lelaki di kelasnya. Ratna berusaha untuk tetap tenang setiap akan berangkat ke sekolah. Ia meyakinkan dirinya, tidak ada yang benar-benar memperhatikan rok pendeknya.
Entah apakah memang kekhawatirannya beralasan, atau justru rasa cemasnyalah yang mengundang cara pandang orang lain mengikuti apa yang dipikirkan Ratna. Suatu hari, saat pulang sekolah, Ratna mulai menganggap ia tidak bisa merasa aman lagi.