Katastrofe

Him
Chapter #4

+ 0.03

MALAM kembali datang akibat perputaran bumi pada porosnya. Raja siang kembali ke peraduannya, sementara bulan merajai semesta. Dan cahaya bulan berbarengan dengan sorot lampu sepanjang jalan semakin mempercantik indahnya kota.

Ya, benar-benar cantik!

Sayangnya, aku lebih menyukai malam tanpa sorot lampu. Bersembunyi di gelapnya ruanganku. Menekan tombol on-off lampu meja sambil menunggu waktu berlalu.

Gelap.

Terang.

Gelap.

Selalu seperti itu sampai ponselku menjerit-jerit minta diperhatikan yang ternyata hanya alarm yang memang kusetel tepat pukul 10.00 malam. Ya, pukul sepuluh. Saat ini.

Tanpa membuat ruangan tampak terang, aku menata barang-barangku‒ponsel dan bedak yang tadi kuletakkan di laci‒hanya mengandalkan cahaya yang masuk melalui kaca jendela. Setelah selesai dengan itu, aku bergegas meninggalkan ruangan.

“Astaga.” Seorang laki-laki yang sibuk menata kursi-kursi kaget karena kedatanganku di tengah kegelapan. Danu, sous chef[1] yang bekerja padaku sejak restoran ini dibuka, hampir menjatuhkan kursi yang diangkatnya.

Sorry,” kataku sambil membantunya mengangkat kursi itu dan meletakkannya di atas meja.

“Ibu belum pulang?” tanyanya setelah semua kursi selesai dinaikkan.

“Kamu sendiri?” tanyaku balik.

“Saya kan piket, Bu.”

Sudah berulang kali kubilang pada lelaki berusia 27 tahun ini untuk berhenti memanggilku dengan embel-embel “Ibu”, tapi dia menolak dengan alasan sopan santun. Padahal Harsya yang usianya lebih muda daripada dirinya saja memanggilku dengan sebutan “Mbak”. Oke, Harsya memang cukup dekat denganku, tapi beberapa pegawaiku juga lebih enjoy memanggilku “Mbak”, alih-alih “Ibu”.

Lihat selengkapnya