CINTA segitiga antara Harsya, Nando, dan Athaya‒istri Nando.
Aku tak mengerti maksud Danu soal itu. Tetapi, rupanya, pagi ini aku mendapat kejutan luar biasa. Dapurku menjadi lahan Athaya melabrak Harsya. Aku terburu-buru menuju dapur sesuai panggilan Amanda, sehabis menyelesaikan satu konsultasi dengan pelangganku tentang diabetes melitus yang dideritanya,
“Dasar perempuan nggak tahu diri! Jalang!” pekik Athaya dengan tangan menunjuk-nunjuk Harsya. Sementara itu, Harsya hanya dia menunduk, bahkan tidak melawan saat Athaya beberapa kali mendorongnya.
Pun Nando yang berusaha meredam amarah istrinya. “Atha, kita bicarain ini di rumah, jangan di sini. Malu sama anak-anak―”
“Malu? Malu kamu bilang?” todong perempuan berparas ayu khas Jawa itu pada suaminya. “Kamu selingkuh sama cewek jalang itu aja nggak malu―”
“Jangan nuduh Harsya seenaknya!” potong Nando dengan suara keras yang seketika itu menyunyikan ruangan.
Dengan amarah yang terpancing sampai ubun-ubun, Nando segera menarik tangan istrinya dan menyeretnya keluar dapur. Aku menangkap kegetiran yang tercetak jelas di kedua mata Nando saat dia melewatiku. Dan kurasa membiarkan dia izin hari ini bukanlah masalah besar.
“Danu, ambil alih pekerjaan Nando hari ini!” perintahku setelah pasangan suami-istri tadi berlalu.
Anggukan Danu selanjutnya membuatku melanjutkan kalimat. “Buat semua orang, tetap jalankan pekerjaan kalian masing-masing dengan baik. Dan kamu, Harsya, istirahatlah. Kamu masih punya waktu untuk memikirkan alasan saat Ello meneleponmu nanti.”
Meski tidak ada yang bersuara, semua pegawaiku bagian dapur setuju akan keputusanku itu. Dan dengan separuh kepalaku berdenyut tak karuan, aku menarik kakiku kembali ke ruanganku. Ada banyak pertemuan dengan pelangganku pagi ini, namun denyutan di kepalaku tidak memungkinkan untuk hal itu. Masalahnya membatalkan janji dengan klien tidaklah keputusan yang bijak. Bukan apa-apa, tapi ini masalah kepercayaan dan tanggung jawab kami sebagai penyedia jasa konsultasi makanan sehat. Butuh 4 tahun belajar di UI agar mendapatkan ijazah ahli gizi. Dan soal makanan aku pernah berencana menimba ilmu di Le Cordon Bleu London cabang London sebelum akhirnya memupuskan impian itu. Sebab itu, aku menghabiskan waktu luang semasa kuliah untuk bekerja di restoran meski berawal menjadi pelayan.
Pintuku diketuk tepat saat aku memijat pelipisku. Amanda datang membawa serta kecemasannya saat tanganku masih memijat pelipis. Tetapi, senyumanku dan binar mata meyakinkan membuatnya mengangguk. Si cantik yang sebentar lagi diwisuda sebagai sarjana Ekonomi itu memberi ruang agar klien obesitas yang sudah menjadwalkan janji temu sejak seminggu yang lalu masuk.
Setelah Amanda pamit, aku membiarkan klien kami mengeluarkan semua keluhan sebelum membantunya menyelesaikan keluhannya itu. Butuh waktu setengah jam bagiku menjelaskan setiap bahan makanan dari menu yang kususun untuknya.
Aku membuka ponselku seusai jam konsultasi perempuan berbadan berlebih tadi selesai. Awalnya aku mengecek pesan WhatsApp yang nyatanya tidak begitu penting. Aku tidak banyak menyimpan nomor teman, tapi grup kuliah dan para pegawai restoran ini cukup membuat ponselku bergetar terus-terusan. Alih-alih membacanya dan mengikuti perkembangan topik pembicaraan yang bakal melebar ke mana-mana, aku lebih memilih mematikan jaringan Wi-Fi di ponselku.
Kubuka menu buku telepon dan berhenti di nomor milik Hesta, namun urung menggesernya ke kanan. Alih-alih menelepon Hesta seperti rencana awal, aku justru menghubungi nomor Ello.