AKU kembali menelan pil pahit kekecewaan begitu mendengar Ello meminta maaf karena dia lebih mementingkan pekerjaannya daripada pernikahanku. Itu adalah pukulan terbesar di kepalaku yang tadinya mulai membaik.
“Soal Harsya, kamu nggak usah khawatir. Aku akan segera menghubungi dia.”
Aku mengangguk pelan meski Ello tidak akan melihatnya.
“Ya, udah. Sampai nanti, Hon.”
Mulutku enggan mengeluarkan sepatah kata pun sampai hubungan kami via telepon putus. Dan, lagi-lagi, Harsya muncul di celah pintu setelah diketuk tiga kali olehnya. Sebelum fokusku beralih pada Harsya, aku mematikan ponsel terlebih dahulu, lalu melemparkannya ke tas jinjing merek Gucci pemberian Ello tahun lalu.
“Mbak, jadwal konsultasi Ibu Naren minta diundur tiga puluh menit.”
Harsya menyebutkan klien kami‒pengidap diabetes melitus‒yang sudah menjadwalkan konsultasi setelah konsultasi barusan selesai mendadak ingin mengundurnya tidak sesuai jadwal, padahal jadwal kami seharian ini sudah tertata. Akan tetapi, bukan itu yang membuatku semakin uring-uringan.
“Kamu nggak dengar apa kataku tadi? Renungkan dan pikirkan alasan yang tepat saat Ello meneleponmu!”
Bukankah kata-kataku tadi sudah cukup jelas? Aku tidak suka mengulang-ulang perintah dan seharusnya Harsya tahu itu‒mengingat dia sudah menjadi karyawanku semenjak Honey Lemon berdiri. Lagi pula, Harsya tidak begitu kubutuhkan. Ada Amanda yang mungkin sebentar lagi resign karena harus kembali ke Palembang seusai wisudanya digelar. Amanda memang tidak sehebat Harsya, namun dia cukup mumpuni menggantikan Harsya sementara dirinya mencari alasan yang tepat agar tidak mengecewakan Ello.
Harsya hanya menunduk dalam-dalam.
“Aku nggak mau Ello sampai kecewa. Ingat itu!”
Tepat saat aku memperingatkan Harsya, ponselnya berbunyi mengisi ruangan bersama helaan napasku. Lantas, Harsya mendongak memberitahuku siapa yang meneleponnya. Dan, benar seperti peringatanku, Ello menelepon Harsya.