AKU berusaha membuka kelopak mataku sambil menetralisir denyutan di kepala begitu si gendang telinga menangkap dentingan yang bisa kuduga berasal dari dapur. Kerjapan ikut berpastisipasi mengumpulkan segenap nyawaku. Hanya butuh beberapa detik agar saraf mataku bisa menangkap bayangan jarum jam dinding.
Pukul 22.50 WIB.
Sudah terlalu malam bagi seseorang berada di dapur, tapi jelas-jelas baru saja terdengar suara kompor dimatikan–atau malah baru dihidupkan. Hidungku juga terlalu tajam untuk mengetahui bumbu-bumbu apa saja yang dicampurkan dalam masakannya.
Dengan nyawa yang baru tiga per empat terkumpul, kakiku bergerak ke arah munculnya dentingan benda dapur itu. Dan, benar saja, punggung bidang milik seseorang yang sibuk mengolah barang mentah itu bergerak-gerak kaku. Jelas-jelas dia tidak akrab dengan yang namanya dapur, tapi masih saja sok-sokan di depanku.
Ketimbang menegurnya, aku lebih memilih memeluk tubuhnya dari belakang, menempelkan kepalaku di punggungnya sambil memejam, menghirup dalam-dalam aroma rempah-rempah. Tubuhnya tampak menegang sesaat sebelum bertanya, “Kamu udah bangun?”
“Kok nggak bangunin aku aja sih tadi?” tanyaku, alih-alih menjawabnya.
Kurasakan tangannya menyentuh punggung tanganku yang tergabung di perutnya. “Kamu kelihatan capek banget, jadi nggak tega bangunin. Kamu belum makan malam kan? Nih, aku buatin spageti spesial penuh cinta buat kamu.”
Kepalaku melongok melewati lengannya, mencari tahu plating-an dari masakan yang katanya dibuat dengan penuh cinta itu. Selain pasta berbentuk panjang, pipih, silindris, ada kerang sebagai isiannya (perlu diingat, tanpa sayuran!). Tampak mengoda selera, tapi aku tidak yakin bagaimana rasanya. Bukan apa-apa, tapi calon suamiku ini punya prinsip bahwa sebagai laki-laki pantang baginya masuk dapur.
“Yuk, cobain!” Digiringnya tubuhku menuju meja pantry dapur, lalu mendudukkanku di sana.
“Mana ada makan malam di meja pantry,” kataku mengelak. “Lagian ini sudah terlalu malam untuk makan malam.”
“Nggak ada yang namanya terlambat, apalagi kalau belum ada makanan masuk sejak pagi! Yuk, cobain. Enak lho. Spesial ini!”
Dia menyodorkan lilitan spageti di garpu ke mulutku, sambil berucap, “Aaa ...,” tak lupa memperagakannya dengan mulut yang terbuka lebar-lebar.
Mana bisa aku menghindari makanan tanpa sayuran itu? Dan kurasa cukuplah malam ini aku membiarkan makanan itu dicerna lambungku. Sayangnya, spageti yang dibuat penuh cinta oleh Hesta itu berhasil membuat mukaku berubah.
“Kenapa? Nggak enak?” Kening Hesta berkerut, tapi tangannya bergerak menyendok spageti yang kemudian ia masukkan ke dalam mulutnya. Secara spontan lidahnya menolak makanan yang ia masukkan dengan cara memuntahkannya di wastafel.
Kurasa ekspresiku tadi tak jauh dari ekspresi Hesta saat ini! Setidaknya tidak separah Hesta yang langsung mengambil air keran untuk mengusir‒atau sekadar menetralisir‒rasa asin di lidahnya.