PERNAHKAH kamu merasa kesepian? Bukan sepi dalam artian yang sebenarnya; sunyi; lenggang, melainkan merasa sendirian di tengah ke padatnya suasana sekitar.
Kurasa semua orang pernah, tapi gadis cilik berbalut gaun bermotif floral itu masih terlalu kecil untuk mengerti. Aku heran bagaimana keluarganya meninggalkan gadis itu sendirian di tengah hiruk pikuk bandara. Lebih heran lagi ketika tidak ada orang yang peduli meski tangisannya semakin memekak telinga.
Aku hanya berdiri dalam jarak 10 meter dari gadis itu, tapi menggapainya begitu sulit. Mataku hanya terfokus padanya, pun otakku yang terus memerintah untuk mendekatinya, namun gerak kakiku begitu terbatas. Orang-orang yang lalu lalang di depanku ini tak mau memberi sedikit ruang bagiku berjalan melewatinya. Aku sudah berkali-kali bilang permisi, tapi mereka tak menghiraukanku. Oh, bukan, melainkan kalimat semacam itu dalam banyak bahasa: Excuse me[1], Sillyehabnida[2], Sumimasen[3], Undskyld mig[4], Nyuwun sewu[5], namun sama saja, mereka masih membentengi jalan.
Aku semakin tak tega mendengar tangisan bocah itu. Sebab itu, aku terpaksa memakai jurus andalanku; memiringkan badan dan menggunakan anggota gerak tubuhku untuk aktif bergerak membelah lautan makhluk bumi bernama manusia. Aku tak segan-segan menonjok mereka, bahkan beberapa kali menginjak kakinya yang tentu saja tanpa kata maaf terucap dari mulutku. Enak saja, mereka yang salah, aku yang minta maaf. Nggak adil bukan?
Dan, tada, akhirnya aku berhasil melewati orang-orang yang membelah jalanku menuju si gadis cilik tadi. Dengan gerakan kaki perlahan aku mendekati gadis tadi. Dia masih berjongkok memeluk lututnya sambil menangis tersedu-sedu. Kurasa gadis ini sudah terlalu lama sendirian sampai isak tangisnya terlalu menyayat. Refleks, tanganku bergerak menjangkau si gadis. Sayangnya....
“Pra?” Seseorang lebih dulu menyentuh tanganku yang tinggal satu jengkal dari pundak si gadis. “Pradnya?” Seseorang tadi ternyata Hesta. Hesta yang menatapku aneh. Oh, bukan, melainkan aku yang menatapnya aneh. Bukan lagi, melainkan menatap keadaan di sekitarku yang nampak aneh. Eh, atau aku yang memang aneh di sini.
“Kamu mimpi?” tanyanya dengan dahi berkerut. Dia mengarahkan tangannya ke dahiku, mengelap beberapa butir keringat yang muncul di sana. “Mimpi buruk?”
Mimpi? Mimpi di pagi menjelang siang begini? Di mobil lagi? Tapi, apa bermimpi soal gadis yang menangis di bandara termasuk mimpi buruk? Ini menguntip pertanyaan Hesta tadi, dan kurasa tidak. Otomatis otakku memberi perintah untuk mengadakan gerakan menggelengkan kepala secara cepat.
“Seriously?” Aku mengangguk yakin. “Tapi, keringat ...?”
“Ah,” aku mengusap keringat di pelipis dengan punggung tanganku. “Hari ini cuacanya terlalu cerah dan ... maaf, aku cuekin kamu selama perjalanan.”
Dia mengerti. “Nggak pa-pa. Kamu pasti capek banget,” dielusnya punggung tangan kananku, “kenapa nggak izin dulu aja? Kamu kan bosnya? Harusnya nggak masalah dong sehari ini kamu nggak masuk?”
Tentu saja tidak boleh! “Aku sudah bilang Harsya datang agak telat tadi, dan kalau aku nggak masuk siapa yang bakal nemuin klien buat jadwal konsultasi mereka?” Yah, aku nggak mungkin membuat klien kami kabur, sementara restoran lagi jaya-jayanya. Iya kan?
“Kamu nggak punya rencana cari ahli gizi lagi? Setidaknya kamu nggak terlalu capek. Kalau kamu mau aku bisa bantu, ada beberapa kenalanku di ahli gizi,” tawar Hesta.
Aku tersenyum, tapi aku tidak membutuhkannya. “Makasih tawarannya, tapi nggak perlu. Sudah ada beberapa pelamar yang tertarik dengan restoranku, cuma tinggal disortir aja,” jawabku apa adanya. Memang beberapa hari yang lalu kami–tepatnya restoranku–memasang lowongan kerja di website resmi dan beberapa platfrom online situs lowongan kerja, tapi masalah yang bermunculan membuatku malas membuka satu per satu CV yang masuk.