Katastrofe

Him
Chapter #10

+ 0.09

“HARSYA, tolong hubungi orang ini,” kataku menyerahkan CV salah seorang lulusan gizi yang mendaftarkan diri dan masuk kriteriaku.

Harsya yang semula berbincang dengan Sania‒salah satu pelayan restoranku‒menatap berkas yang kusodorkan padanya sekilas, lalu mengangguk. “Siap, Mbak. Mau disuruh datang kapan? Nanti atau besok aja?”

Aku berpikir sejenak. “Besok aja, Sya. Besok jam satu siang aku lowong kan?”

Harsya mengangguk lagi. “Oke, Mbak,” katanya dengan jempol dan jari telinjuk membentuk huruf O, sementara ketiga jari lainnya terangkat.

Aku tersenyum singkat sebelum berlalu, namun baru satu langkah Harsya menghentikan. “Mbak mobil Mas Hesta masih di sini? Emang dia belum pulang?”

Secara refleks aku ikut memandangi Honda Jazz milik Hesta yang masih terparkir di depan restoran sejak ditinggal pemiliknya ke Singapura hampir semingguan–lebih tepatnya lima hari–ini bareng Harsya. Aku sudah keu-keuh ingin mengembalikannya sehabis acara fitting dengan Mama–kurasa aku harus berlatih memanggil ibu Hesta dengan panggilan “Mama”, tapi beliau menolak. Katanya aku lebih membutuhkan mobil itu daripada beliau sendiri, terpaksalah aku hanya menurut meski mobil itu juga tidak kugunakan.

“Belum.”

“Lah, terus fitting bajunya gimana, Mbak?”

Mm, aku juga perlu memikirkan itu. “Katanya dia pakai pakaian kedodoran juga nggak pa-pa yang penting kami bisa disahkan sama KUA.” Mendengar jawabanku yang asal-asalan, Harsya justru tersipu-sipu. Astaga, anak ini! “Ya, enggaklah. Nanti dia fitting baju bareng Ferdiyan. Ian kan juga masih di Ubud.”

Ferdiyan alias Ian tak lain, tak bukan adik Hesta. Mereka beda delapan tahunan, tapi Ian sudah punya sepasang anak lucu. Anak pertamanya perempuan sudah masuk SD, sementara anak keduanya laki-laki baru bisa berjalan.

Kalau kata Hesta, Ian yang tak pergi ke mana-mana untuk mendapatkan title sarjananya memudahkannya menemukan perempuan yang dia cintai dan mencintai dia. Kalau sudah begitu, mereka pasti langsung ngebet nikah. Sangat berbeda dengan dirinya yang harus tinggal di negeri orang. Nemuin cewek yang nyerempet kriterianya aja udah bagus. Tapi, lain lagi kalau kataku. Aku percaya semua ini takdir. Tuhan sudah menyiapkan cerita indah untukku sehingga Dia menolak menjodohkan aku dengan lelaki yang kutemui sebelum bertemu kembali dengan Hesta.

Uh, jadi melankonis kan!

“Oh, gitu. Emang Mas Hesta kapan pulangnya?”

Lihat selengkapnya