Katastrofe

Him
Chapter #11

+ 0.10

SHIT!

Untuk pertama kalinya aku mengumpat. Oh, bukan, tapi sesorean ini kuhabiskan untuk mengutuk Tuhan.

Pertama; ucapan Hesta via telepon yang menunjukkan keputusan terbulatnya. “Pernikahan kita nggak bisa dilangsungkan, Pra.” Uh! Singkat, padat, dan jelas. Sayangnya otakku terlalu pintar untuk menerimanya dengan lapang dada.

Kedua; Danu mengacaukan dapur. Aku tahu kinerjanya cukup baik, namun dia masih kurang untuk mempimpin dapur. Sementara itu, Nando yang harusnya berada di posisi itu belum kembali kerja karena istrinya. Gosip terbaru sih, Athaya tak mengizinkan Nando kerja lagi kalau Harsya masih di sini. Itu jelas pilihan yang sulit. Harsya ada di sini karena Ello menginginkan supaya aku membimbing anak muda itu, dan Nando adalah executive chef sejak restoran ini berdiri.

Dan ketiga; kerumunan pengunjung sekaligus staf restoran di depan layar televisi yang terpajang di dinding. Entah tayangan apa yang membuat benda itu menjadi pusat fokus semua orang, aku tidak peduli. Sayangnya saat kakiku berniat meninggalkan restoran, Harsya malah menarikku ikut bergabung dengan kerumunan tadi.

“Sekarang aku jadi setuju sama kamu, Mbak. Apa pun kendaraanya dan apa pun fasilitas keamanan yang tersedia nggak bisa menjamin keselamatan kita. Makin ke sini, aku makin setuju sama kata-kata yang Mbak Anya bilang. ‘Seenak-enaknya hidup ya, di lingkungan asal kita’.”

Ya, itu kalimat yang selalu kuagung-agungkan–terkecuali di depan Ello, tapi aku masih tak mengerti ucapan Harsya.

“Ih, Mbak, lihat deh beritanya. Ini bakal menambah jumlah korban kecelakaan pesawat,” jelasnya padaku yang masih tak mengerti sambil mengedikkan dagunya ke arah layar televisi.

Terpaksa aku ikut memandangi layar yang masih menjadi fokus Harsya dan yang lainnya. Benar kata Harsya, telah terjadi kecelakaan pesawat. Lagi!

Sambil berusaha mengunci detak jantungku yang berkejaran, aku bertanya pada Harsya. “I-itu pesawat tujuan mana?”

Sebelum menjawabku, Harsya menatapku khawatir. Itu pasti karena suara yang keluar dari mulutku terdengar bergetar. “Ke Halim Perdanakusuma, Mbak. Dari Singapura.”

“Sing―”

Oh, my God! Singapura!

Ada gajah besar yang langsung menindih dadaku, menekan paru-paru, namun membuat jantung beroperasi tak sesuai aturan. Oksigen semakin menipis, sementara darah mengepung otakku dan tubuhku semakin kacau mendengar penjelasan panjang lebar Harsya.

“... pesawatnya kalau nggak salah take-off sekitar tiga jam yang lalu di Changi. Harusnya sudah sampai sini, tapi....”

Lihat selengkapnya