Devan (November, 2021)
Aula hotel Swiss-berlin mulai dipenuhi beberapa manusia yang sebagian besar memakai baju toga hitam bercorak biru. Jarak antara wisudawan satu dengan yang lain sekitar satu meter, tidak lupa dengan masker yang menutup sebagian wajah orang-orang yang ada di dalam maupun di luar ruangan. Seharusnya acara ini dilaksanakan tahun 2020, namun karena situasi genting akibat covid-19, kampusku baru bisa melaksanakannya hari ini.
“Congrats ya Ko” Gretha adik sekaligus anak terakhir di keluarga kami menyodorkan buket bunga dan boneka wisuda. Diikuti dengan Mama dan Papa yang menepuk-nepuk pundakku dengan wajah sumringah.
Aku anak kedua dari empat bersaudara, keturunan marga Hu, suku Tionghoa di kotaku. Koko David si anak sulung, memilih tidak melanjutkan kuliah dan langsung bekerja di pulau Bali. Keluarga kami bukanlah keluarga kaya raya. Walaupun suku kami merasa superior dibandingkan suku pribumi, tidak semua suku Tionghoa di Indonesia kaya ataupun pandai berbisnis maupun berdagang.
Aku salah satunya, yang harus bekerja keras untuk lulus dari bangku kuliah. Memilih kuliah malam di Kota Batam, lalu bekerja sampingan sebagai staff IT di Perusahaan asing dari pagi hingga sore untuk membiayai kuliahku. Karena saat ini, adikku, Gania, anak ketiga di keluarga kami juga sedang kuliah. Lalu Gretha, anak bungsu keluarga kami, sedang duduk di bangku kelas dua SMA.
“Foto dulu lah, cepat” Ko David menggiring tubuhku, Mama, dan Papa ke tempat yang lebih lengang, seperti pengarah gaya yang siap memotret kami.
“Ok nice!” -Ucapnya sambil mengacungkan jempol,
Gania dan Gretha langsung mengambil posisi untuk ikut berfoto bersama kami. Sudah lama kami tidak berkumpul bersama karena kebijakan pemerintah yang memberlakukan PPKM sejak akhir tahun 2019 lalu.