Kotak seng sepanjang lengan orang dewasa itu kembali dibuka. Tetap kosong meski setiap malam seperti merintih meminta isi. Hanya Mak Kiah yang bisa mendengarnya. Maka diisilah kotak seng itu dengan tetes-tetes air mata. Berharap bulir yang jatuh mewujud menjadi pengisi peti yang berkarat di sana-sini.
“Mak ... Mak e sudah selesai mijet? Ganti aku ya Mak. Pokoknya aku pasien terakhir. Pijet aku sampai ngorok.”
Renyah suara cucu perempuannya di balik pintu berhasil menarik ke atas sudut-sudut bibir Mak Kiah. Kotak seng kosong ditutup, didorong ke dalam kolong ranjang besi yang cat hijaunya sudah banyak digantikan karat pertanda usia.
“Sudah, Bing[1]. Masuk saja.”
Pasien terakhir telah pulang bersamaan berakhirnya kumandang puji-pujian setelah azan isya di musala. Namun Mak Kiah masih enggan keluar dari kamar tempatnya memijat. Perempuan senja itu memilih mengingat kenangan mendiang suaminya bersama isi kotak seng dan kisahnya.
Pegangan pintu bergerak-gerak tapi tak kunjung terbuka.
“Dorong, Bing. Musim hujan pintunya seret.”
Mak Kiah merapikan sprei, melipat sarung bekas pijat pasiennya serta mangkuk plastik yang menyisakan aroma gandapura bercampur minyak klentik, sebelum cucunya menggerundel sebab tempat tidurnya berantakan.
“Susah, Mak e. Tarikkan dari dalam.”
Derit pintu yang membuat gatal telinga pun tak bisa dihindari meski Mak Kiah sudah mengangkat daun pintu ketika membukanya. Sembari memeluk mukena yang dibalut sajadah merah, Munah merengut dan langsung tertelungkup di ranjang neneknya. Melihat cucu perempuannya seperti itu, Mak Kiah mulai memijat lembut punggung yang tertutup rambut hitam legam. Berharap amarah yang mulai menjalar ke seluruh tubuh bisa dilemaskan dengan sedikit pijatan, lantas mengalir curahan hati dari mulut cucu ragilnya. Begitulah cara jitu Mak Kiah tanpa perlu bertanya ada masalah apa.
“Ibu membanting boneka kayu buatanku.” Sesenggukan Munah melepas tangis yang ditadahi buntalan sajadahnya. “Katanya boneka kayu seperti itu bisa buat hidupku sengsara. Ibu benar-benar sudah ngawur, Mak. Aku buat boneka itu untuk tugas sekolah. Sebulan aku membuatnya, Mak. Pulang isya’an boneka itu sudah patah. Memang salah bonekaku apa?”
“Mungkin kamu taruh boneka itu di tempat yang salah dan ndak sengaja kesenggol. Jatuh. Patah.”
“Boneka itu ada di atas meja dekat tasku, Mak. Magrib tadi baru saja selesai semuanya. Aku pahat sendiri. Aku cat sendiri. Bajunya juga aku jahit sendiri. Tapi ibu sama sekali tak menghargai karyaku.” Tangis Munah semakin keras, melebihi suara gerimis yang menumbuk atap seng. “Ibu kalau ngomong enak. Buat boneka lagi. Dipikir sehari bisa langsung jadi? Dipikir tugasku cuma buat boneka saja? Pokoknya aku emoh sekolah.”
“Emoh sekolah? Sebentar lagi kamu sudah mau SMP. Lihat itu tanggalan. Sudah bulan apa ini? Masalah sepele jangan dipupuk jadi gede.”