Munah mendekap potongan batang kapuk yang nyaris seukuran dua kali pahanya. Dia bolos mengaji petang itu hanya karena mendengar di dekat kali ada pohon kapuk yang ditebang Lek Kasiman, tetangganya. Tentu saja Munah sudah siapkan alasan jika ibunya datang ke musala atau mendapat laporan bahwa anaknya tak datang mengaji.
Rumah Mak Kiah yang saat ini Munah tempati berada di gang sempit dengan bangunan berderet rapat. Mustahil berita bolosnya Munah tak sampai di telinga ibu, apalagi sekeliling rumah banyak kawan-kawan Munah yang suka memberi laporan sambil membeli tahu walik atau cilok dagangan ibunya.
Tiga anak sebaya Munah terlihat mengantre di depan rombong. Seperti paham maksud yang tersimpan dalam kepala, kaki Munah ingin berbalik arah dulu sampai para pembeli itu lenyap. Tapi mata ibunya terlanjur tertarik pada terangnya kerudung hijau yang dipakai Munah. Malangnya, anak-anak kecil itu berbalik mengikuti arah pandang Ibu Munah dan langsung mencecar pertanyaan atas absennya Munah. Isyarat kedipan mata dari Munah rupanya tak digubris mereka yang asyik menceritakan calon peserta lomba tartil pilihan ustazah. Munah merasa rona ibunya berubah sewarna saus yang dituangkan dalam plastik.
“Ibu jangan marah dulu. Ini untuk praktik menumbuhkan jamur.” Munah lebih dulu menjelaskan sebelum ibunya mengomel panjang di balik rombong dagangan.
Ibu Munah hanya melengos. Dari ruang depan, Munah melihat Mak Kiah mengacungkan jempol. Munah tak ada niatan berbohong. Hanya saja momennya pas. Ibunya pasti sudah mendengar jika teman-temannya juga sibuk mencari pohon kapuk untuk tugas sekolah. Tapi yang tidak diketahui ibunya bahwa tugas itu berkelompok. Batang kapuk bawaannya adalah tugas rahasia bersama Mak Kiah. Di antara polybag berisi lombok, terong dan ranti[1] di depan teras, dia sembunyikan gelondongan kayu itu.
Munah berharap ibunya tak mencurigai dan sudah melupakan peristiwa perusakan boneka tanpa alasan, meskipun sebenarnya rasa legawa Munah pada ibunya belum bisa sepenuhnya utuh. Boneka kayu berwujud manusia yang mendapat banyak pujian ketika Munah membuatnya, terpaksa harus diganti dengan bentuk ayam jago dari plastisin tanpa ornamen sedikit pun. Teman-teman Munah terus memberondong pertanyaan tentang boneka itu, Munah hanya bisa menjawab bonekanya hancur. Sama seperti kawannya, Munah pun ingin penjelasan kenapa boneka itu dihancurkan. Namun ibunya seolah lupa pernah merusakkan karyanya.
Para pembeli baru saja pergi ketika Munah disuruh segera masuk oleh ibunya. Akhir-akhir ini, setiap kali ibunya mengajak berbicara empat mata, Munah selalu berharap ada ucapan maaf dan alasan di balik perusakan karyanya. Di ruang depan, Ibu Munah dengan wajah kaku duduk berseberangan dengan Mak Kiah yang terus tertunduk.
“Sudah kuputuskan Mak, kami akan pindah tanpa menunggu Munah masuk SMP. Bapaknya Munah dapat tawaran kontrakan harga murah.”
Munah sama sekali tak kaget dengan keputusan ibunya. Sudah sering dia berpindah-pindah tempat tinggal dan sekolah. Belum genap setahun dia tinggal bersama lagi dengan Mak Kiah setelah insiden ledakan pabrik mercon yang menghancurkan banyak rumah termasuk rumah Mak Kiah enam tahun silam. Sejak itu orangtua Munah tak pernah menginjakkan kaki ke tempat itu. Keterpaksaan membuat mereka kembali.
“Kalau begitu biarkan Munah di sini dulu sampai lulus. Lebih baik uang jatah pindahan Munah kamu simpan dulu. Siapa tahu nanti pas masuk SMP butuh biaya banyak.”
“Munah harus ikut. Mak mau aku jadi bahan gunjingan lagi? Mulut-mulut di sini itu lebih pedas dari bakso mercon. Suamiku jarang datang ke sini saja ada yang ngomong kalau aku sudah cerai lagi.”