Mesin jahit di pojok yang menghadap jendela pembatas teras dan ruang depan mulai memelankan suaranya. Telapak kaki yang mengangguk-anggukkan pedal naik turun serta tangan kanan yang sesekali mengoper kemudi putaran di mesin jahit hitam dengan ornamen emas sudah mulai kesemutan. Jarum pembawa benang mustahil melanjutkan misinya menyambung lembaran kain jika tiada penggerak berupa kaki tangan manusia.
Pantulan samar dari kaca jendela hitam memperlihatkan Ibu Munah duduk menekuni jahitan. Bukan dalam wujudnya yang sekarang melainkan saat dia masih sebaya Munah. Itulah yang tampak di bola mata Ibu Munah. Gadis kecil berkelabang samping dengan seragam merah putih yang segera beralih warna menjadi biru putih menggeser-geser kain perca di bawah jarum yang naik turun. Di belakangnya lelaki berasap tembakau bercampur cengkeh memberi arahan seraya memainkan rangka boneka kayu tanpa baju.
Lengkung bibir Ibu Munah tertahan manakala mendapat kembali gambaran masa lalu diiringi ucapan Mak Kiah yang semakin mengakar di kepala. Kamu pernah mengalami tapi menyangkalnya. Perasaan yang ia sebut kebanggaan memang pernah singgah sebentar ketika Ibu Munah diberi kepercayaan membuat satu boneka untuk dipasangkan dengan boneka kayu andalan mendiang bapaknya. Boneka yang meninggikan sekaligus melemparkan derajat keluarganya. Boneka yang sudah lama menghilang dan beberapa hari lalu kembali hadir bersama putri semata wayangnya.
Rumah ini memang sudah berubah bentuk sejak dibangun kembali pasca ledakan. Namun roh rumah masih menyimpan kenangan kuat. Ingatan akan hadirnya tamu setiap minggu yang menanggap Pak Ndin untuk bermain lakon dengan boneka buatannya, sedikit mengobati kekecewaan Ibu Munah. Apalagi jika dia mengingat berduyun-duyun orang menonton di halaman depan yang mendapat sorotan kamera langsung dari satu-satunya stasiun televisi di masa itu. Tak terkira bungah hati Ibu Munah. Sayangnya kebanggaan itu tak mampu menginjak usia bertahun-tahun. Berbeda dengan getir yang menjejak tanpa bisa terhapus selama puluhan tahun, pada Pak Ndin, bapaknya. Terutama pada boneka Kattok buatannya yang seolah punya nyawa dan pantas disalahkan atas hilang akalnya Pak Ndin.
Ibu Munah mendorong kursi kayunya yang beralaskan bantal tipis. Berlama-lama berhadapan dengan mesin jahit tak serta merta sanggup menjahit kekecewaannya. Matahari masih sepenggalah. Sorot terangnya sulit menembus rasa sepi di kehidupan Ibu Munah walau Mak Kiah absen memijat pasiennya dan Munah menghabiskan hari liburnya di rumah. Keluarganya tak pernah utuh. Tak ada sosok lelaki yang menggenapi.
Lelah sudah rasanya Ibu Munah berselimut kebohongan berlapis-lapis. Namun apa daya, membukanya jauh lebih sulit daripada menambah selembar lagi. Apalagi dia belum siap menerima dinginnya kehidupan tanpa balutan selimut kebohongan. Taruhan harga diri dan cap sebagai anak durhaka membayang jika sekali saja terucap kebenaran.
Ibu Munah menelusuri tembok di dekat mesin jahit. Dulu bapaknya menghias tembok ini dengan lukisan-lukisan yang digambar di atas kertas cokelat tipis selebar satu meter. Kertas yang lebih layak dipakai untuk sampul buku daripada media lukis. Lukisan-lukisan itu digulung berjajar dan digantungkan dengan tali rami. Hanya dibeber ketika pertunjukkan Pak Ndin akan dimulai sebagai penghias latar lakon yang dimainkan.
Semuanya hancur. Ledakan pabrik mercon ilegal yang hanya berjarak tiga rumah menjadi momen tepat untuk menghilangkan Pak Ndin dan segala hal yang berkaitan dengan boneka Kattoknya. Namun apakah yang sanggup menghapus kenangan? Tetua sekitar yang belum dimakan pikun masih terus menceritakan pada anak cucunya tentang Kattok milik Pak Ndin. Padahal mereka sudah bosan dengan jawaban akhir orang-orang tua itu yang selalu mengatakan bahwa Kattok sudah lama tiada tanpa tahu penyebabnya. Lambat laun kisah itu akan menguap seperti harapan Ibu Munah.
Di luar bolehlah menguap tapi di dalam justru ada bara yang mulai membakar harapan Ibu Munah. Putrinya berhasil membuat Ibu Munah menjalankan kembali mesin jahit tua yang tak hancur tertimpa runtuhan, mencoba menerima kembali takdir sebagai penerus bapaknya. Masih ada dua lagi benda abadi peninggalan Pak Ndin tersimpan dalam kamar Mak Kiah. Terakhir kali Ibu Munah menyentuh benda-benda itu saat dia sadar bahwa mengikuti jejak bapaknya sia-sia belaka, hasilnya tak cukup untuk ditukar beras dan minyak tanah. Kala itu Ibu Munah harusnya duduk di bangku SMA tahun pertama, sayang dia lebih memilih mengakhirinya.