KAU, AKU DAN GELORA REVOLUSI

Akhmad Faizal Reza
Chapter #3

Bab 1 Rawagede

Bab 1

R A W A G E D E

TUHAN. Aku pertama kali mendengar nama ini disebut ketika usiaku 6 tahun. Seingatku, seorang tentara Belanda mengucapkannya kepadaku. Ia pegang daguku dengan kasar. Suara beratnya berkata, “Tuhan, sedang tidak ada di sini, Nak”...jadi tidak ada yang akan melihat perbuatan kita, hahahaha” ujarnya terbahak.

Sejurus kemudian, Ia menyuruh dua orang tentara menyeret ayah dan ibuku ke tengah lapang. Setelah itu, salah seorang dari mereka menghadap si orang Belanda tersebut sembari berkata, “Siap, Komandan !” sahutnya. Ternyata, tentara Belanda yang barusan memegang daguku dipanggilnya Komandan.

Sang Komandan menyalakan cerutu dan mengisapnya dalam-dalam. Mendongak ke langit dan menghembuskan asap lewat mulutnya. Matanya mengedip. Sang anak buah seperti mengerti maksud sang komandan dan tergopoh-gopoh menghampirinya. Sang Komandan mengambil sebuah benda dari sarung di pinggangnya. Benda tersebut diberikan kepada anak buahnya. Meski matahari masih malas menampakkan cahaya, aku tahu benda itu berwarna keperakan. Sang anak buah menarik sesuatu dari benda tersebut, dan terdengar suara “cetrek.”

Ia menghampiri ayahku yang tangannya terikat ke belakang. Benda tersebut diarahkan kepada kening Ayah. “DOR !”...Ibu menjerit sekeras-kerasnya, menggoyang-goyangkan tubuh Ayah....sedetik kemudian “DOR !” benda tersebut meletus untuk kedua kalinya. Jeritan Ibu seketika hilang. Mereka berdua tergeletak tak bergerak. Suara darah yang mengucur deras seakan lebih keras dari suara letusan benda itu. Beberapa tahun kemudian aku baru mengerti benda tersebut adalah pistol.

Aku melihat kejadian itu tanpa berkedip. Tidak menangis, namun terpana. Sepersekian detik sebelum peluru menembus kening, ayah menatapku. Ia tersenyum, bibirnya bergerak, berbisik pelan, tapi aku tahu kata-kata yang diucapkannya,........”Taufan, jangan khawatir.”

Semenjak peristiwa itu, ucapan Sang Komandan Belanda, “Tuhan sedang tidak ada di sini” seakan menjadi kebenaran. Tuhan telah membiarkan aku terpisah, dengan ayah dan ibuku, dengan tetangga-tetanggaku, dengan warga kampungku.                                                                 

Tidak semua penduduk Kampung Rawagede dihabisi. Sebagian kecil disisakan, termasuk aku. Mungkin karena usiaku. Tapi, Selasa itu, 9 Desember 1947[1], banyak istri yang harus dipaksa berpisah dengan suami-suami mereka. Banyak anak-anak, termasuk aku yang harus berpisah dengan ayah atau ibunya, atau keduanya sekaligus. Mereka menjadi yatim atau piatu, atau kedua-duanya, sepertiku.

Pembantaian itu berlangsung dari pagi buta hingga siang harinya. Empat ratus lebih mayat bergelimpangan. Kali Rawagede memerah darah. Bau amis bercampur bau besi memenuhi langit di kampungku. Baru menjelang sore, istri-istri, anak-anak, mencari suami, ayah, dan kerabat mereka yang lain. Hanya dalam satu hari, Kampung kami menjadi Kampung janda. Tak seorang lelaki dewasa pun yang tersisa. Para perempuan bergotong royong menguburkan suami, anak lelaki mereka dengan alat seadanya. Sendok tembok, tongkat, beberapa cangkul, bahkan tangan sendiri mereka gunakan untuk mengubur orang-orang yang mereka cintai.

Lihat selengkapnya