KAU, AKU DAN GELORA REVOLUSI

Akhmad Faizal Reza
Chapter #4

Bab 2 1955

Bab 2

1 9 5 5

 

B A N D U N G, 1955

Sudah hampir 8 tahun aku tinggal bersama Pak Anwar, dan istrinya, Bu Sari. Mereka tidak dikaruniai anak. Aku sudah dianggapnya anak mereka. Di rumahnya yang cukup luas kami hanya tinggal berempat. Pak Anwar, istrinya, aku dan seorang bujang, Pak Koko.

Kali pertama kali ke Bandung, Aku sadar ini tidak seperti kampungku. Bandung, adalah kota besar. “Nak, ini Bandung. Kau harus ingat, para pejuang kemerdekaan, tokoh-tokoh seperti Bung Karno pernah menimba ilmu di sini, ” begitu ujar Pak Anwar.

Ketika pertama kali menginjak rumahnya, aku masih ragu. Karena memang, aku tidak pernah kenal dengan Pak Anwar sebelumnya. Ayah dan Ibuku pun belum pernah...atau belum sempat bercerita. Di ruang keluarga, terpampang bendera Merah Putih ditempelkan di tembok. Di sebelah atasnya terpampang gambar seorang Lelaki. Bingkai gambarnya nampak mengkilat, sepertinya rutin dibersihkan.

Lelaki di gambar itu memakai Peci hitam, berjas, berdiri tegak dan di tangan kirinya memegang semacam tongkat. Di rumahku dulu ada gambar yang sama, cuma dengan ukuran yang lebih kecil. “Itu Bung Karno, Pemimpin kita,” sahut Pak Anwar menjawab keingintahuanku. “Tentu, di rumah ayahmu, ada juga fotonya kan?”...Aku mengangguk, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Selain bendera, dan foto Bung Karno, ada sebuah bendera lain. Bendera merah. Ada juga gambar lain, dengan bingkai kayu yang sama mengkilatnya dengan gambar pertama. Di gambar yang kedua itu, nampak seorang tua, dengan jenggot putih brewokan. Kali ini Pak Anwar tak menerangkan.

Selebihnya tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami berdua. Kebekuan itu pecah, ketika Bu Sari menyambutku hangat. Tak terasa air mataku menetes ketika beliau memelukku. Aku seperti menemukan kembali sosok ibu. Sementara Pak Anwar, Ia tidak mirip ayahku... Ia lebih dingin. Pak Anwar sendiri tidak pernah bercerita tentang ayah. Semenjak tiba di Bandung, hingga 8 tahun kemudian Ia memang tidak banyak berbincang masalah pribadi, khususnya sosok kakak kandungnya sendiri.

Namun, di balik sikapnya yang dingin, Aku terbilang beruntung. Pak Anwar menaruh perhatian terhadap pendidikanku. Ia sekolahkan aku. Selepas pulang sekolah, Ia sering mengajakku bertemu kawan-kawannya di kantor Partai. Mengikuti rapat-rapat umum, debat dan diskusi. Jadinya semenjak belia aku terlibat dengan dunia Pak Anwar, dunia politik.

P E R T E M U AN I T U....

Meski usiaku 14, aku cepat dewasa. Tiap malam rumah Pak Anwar tidak pernah sepi. Kawan-kawannya datang silih berganti, bahkan sampai larut malam. Harum seduhan kopi hitam dan kepulan asap sering menemani malam-malam itu. Apa yang mereka obrolkan tak jauh dari masalah politk, partai dan kondisi masyarakat. Saking seringnya aku dibawa ke rapat-rapat umum Partai, Aku menjadi tidak asing dengan kata-kata, “borjouis, kapitalis, proletar, neokolim....dan revolusi”. Apalagi kata terakhir ini begitu sering aku dengar.

Suatu hari terjadi debat umum. Seperti biasa, Pak Anwar tak melewatkanku. Tokoh Partai kami, Pak Sidiq akan tanding debat dengan Ahmad Suryakanta, tokoh dari Partai Masyumi. Pak Sidiq sendiri bukan sembarang orang. Ia salah satu singa podium yang sering mematahkan argumen lawan debatnya. Di antara rekan-rekannya, ia sering dipanggil kawan Sidiq. Namanya sendiri cukup kontroversial. Nama berbau-bau Islam, namun menjadi aktivis Partai Komunis. Banyak orang Islam menuduhnya murtad. Di lain pihak, teman-teman Komunisnya mencurigai, mengapa Ia begitu bangga dengan nama Sidiq, dan tidak mau mengganti namanya. Bahkan ada yang mengusulkan nama Marx-dedengkot Komunis- itu. Namun, Pak Sidiq tak bergeming. Ia bangga dengan namanya. Bukankah, Alimin, tokoh PKI tahun 20-an juga berbau-bau Islam?” belanya.

Pak Sidiq, sudah siap dengan pidatonya. Pak Anwar, aku dan kawan-kawan lain duduk di belakangnya. Siap dengan kerongkongan kami, bahkan kalau perlu, siap dengan kepalan tinju kami, begitu pikiran yang melintas cepat dalam benakku. Mataku tertuju pada Ahmad Suryakanta, seorang yang masih muda pikirku. Kacamata bulatnya seakan berjodoh dengan wajahnya yang bulat. Di belakangnya, tentu kawan dan pendukungnya. Jumlah mereka lebih banyak. Sesekali bendera hitam dengan lambang “bulan sabit dan bintang” berwarna putih keperakan itu dilambai-lambaikan. Dari pihak Kami terdengar sorakan “huuuu”, dibalas dari seberang dengan teriakan “huuuuuuu pula. Moderator debat coba menenangkan, “Tenang-tenang sodara-sodara. Kita di sini bukan mau adu jotos, kita di sini mau adu ilmu. Yang mau mengacau silakan keluar. Acara ini tidak akan mulai, kalau tidak tertib !” tegasnya.

Di tengah keriuhan pihak-pihak yang akan berdebat, dari kerumunan para pendukung Ahmad Suryakanta, aku melihat seseorang. Tepatnya tiga baris dari belakang podium tokoh Masyumi itu. Ia hampir seumuran denganku. Seorang gadis. Memakai kerudung, namun rambut hitamnya masih terlihat jelas. Ia duduk dengan anggun, tak ikut berteriak-teriak seperti teman-temannya. Ia melihat sekeliling ruangan, dengan dua bola mata hitamnya yang besar.

Lalu, matanya tertumbuk dengan pandanganku. Entah kenapa, tiba-tiba semuanya seakan-akan bergerak lambat, dunia berhenti untuk sepersekian detik. Di antara dua kubu yang berseberangan jalan, mata-mata yang saling membenci, mulut yang saling mencemooh, Ia tersenyum. Tanpa dikomando, aku pun balas tersenyum. Kami tersenyum. Dinding ideologi yang menghalangi kami serasa runtuh ibarat istana pasir.

Selanjutnya,aku tak tahu lagi yang terjadi. Perdebatan itu berjalan, tapi aku tak lagi serius mengikutinya. Kami masih saling berpandangan. Sesekali ia melihat ke bawah, namun matanya kembali memandangku. Ia memandang ke kiri,...lalu ke kanan....lalu kembali memandangku. Senyumnya merekah lagi.

Seperti itulah yang terjadi selama hampir 2 jam debat berlangsung. Aku tersadar ketika, salah seorang kawanku, berteriak, “Islam sontoloyo !” Dari seberang membalas,.....”Komunis anjing, tak ber-Tuhan !!” TOK, TOK, TOK...sudah ! Sudah ! ini sudah keliwatan,” ujar Moderator mengetokkan palu kayunya sampai hampir terlepas. “ Sudah saya tegaskan, tidak boleh ada kata-kata kasar dikeluarkan !”... dan kalian sudah melanggar peraturan ini !” sahutnya lagi. “Perdebatan ini selesai, bubar semua, bubaaar......jangan buat onar lagi !!” urat leher Sang Moderator terlihat begitu tegang, tapi kami ragu-ragu untuk beranjak. “Hayoo silakan keluar semua,..waktu kalian sudah habis, lain waktu kita teruskan...lagian setelah ini, ada acara lain, tolong beri kesempatan kepada mereka juga !” Dan memang, kulihat dua kelompok lain telah memasuki ruangan. Mereka masing-masing membawa plang nama, bendera, dan para pengikutnya masing-masing. Satu dari Persatuan Islam, yang lainnya dari Ahmadiyah Qodian. Kami pun satu persatu terpaksa keluar sambil sedikit bersungut-sungut, tidak puas dengan jalannya debat tadi.

Untungnya keributan tak menular keluar. Kami keluar dengan aman, dan fokus sebagian dari kami menghampiri gerobak-gerobak kaki lima demi memuaskan perut dan tenggorokan yang hampir 2 jam tadi kekeringan.

 Sebelum jalan kami berseberangan, aku sempat melihatnya sekali lagi..... dan kebetulan, Ia pun melihatku, dan tetap tersenyum.....”Ah, kau”,....kataku dalam hati yang sumringah. Kami terpaku beberapa saat. Ingin sekali menghampirinya menyodorkan tanganku, berkenalan. Ketika tiba-tiba, seorang tua, berkopiah memanggil namanya,”....Maryam....hayo, Maryam kita pulang !”

“Oh,..Maryam..namanya....” kataku dalam hati. Dan lelaki tua itu......mungkin ayahnya, entahlah.

Lihat selengkapnya