Bab 3
P A K A N W A R
Selepas sekolah Pak Anwar mengajakku ngobrol di beranda rumah. “Taufan ... meski kamu belum dewasa, bapak mengharapkanmu."
“Apa yang Bapak harapkan ?” tanyaku masih bingung.
“Ya, bersama Bapak, membesarkan partai” balas Pak Anwar.
“Bukankah kita selalu bersama-sama, Pak ... aku selalu ikut”
“Ya, semoga dengan hatimu ... aku tak punya orang lain lagi yang bisa diharapkan. Aku menganggapmu sebagai anakku ...." Ia menepuk bahuku.
“Kamu tahu, aku salah seorang anggota Politbiro[1]. Aku turut serta bersama kawan-kawan lain menyelamatkan partai ini dari kehancuran."
“Apa pelajaran sejarah yang kau dapatkan dari sekolah, Fan?” tanya Pak Anwar.
“Partai Komunis Indonesia terlibat pemberontakan. Pemberontakan pertama tahun 1926, dan pemberontakan kedua tahun 1948 !” jawabku tegas.
Pak Anwar melihatku dengan serius. Kumis dan jenggotnya masih saja tak beraturan, masih seperti 8 tahun lalu. Hanya kali ini, rambut yang berwarna putih lebih mendominasi ketimbang yang hitam. Ia tak segera merespon jawabanku. Ia mengambil sebatang rokok kretek dari saku kemejanya, mengeluarkan pemantik dan menyalakannya. Asapnya dia hembuskan cepat-cepat.
“Hmmmm … sudah kuduga ... itulah yang didapatkan dari sekolah. Dari guru-gurumu itu ....” kepulan asap rokok kretek terlihat menutupi wajahnya. Tangannya mengibas-kibaskan asap itu.
“Aku bisa jamin, apa yang dikatakan gurumu itu jauh dari faktanya. Aku jamin !” tegas Pak Anwar.
Aku hanya bisa mendengarkan, tak membantah. tak lebih.
“Tahun 26 ... itu tidak bisa disebut pemberontakan. Itu perjuangan, Nak ... perjuangan meraih kemerdekaan !”
“Kalau apa yang dikatakan gurumu benar, maka para pejuang kita, termasuk Bung Karno tentunya, bisa disebut sebagai pemberontakan !”
“Setelah 26, banyak pemimpin kita yang dikirim ke Digul !”
“Ribuan yang mati di sana ... Dus, jangan pernah menganggap mereka pemberontak, mereka pejuang !”
“Lalu, 1948 ? Bagaimana dengan peristiwa itu ?” tanyaku ingin tahu.
“Emmhhh ... begitu pula 1948, Nak” Ia agak terdiam lama, berpikir. Ia seakan akan hendak menemukan kata-kata yang tepat untuk peristiwa tersebut. Ia berdiri, masuk ke dalam kamar...setelah sekian lama Pak Anwar keluar lagi. Sebuah catatan di tangannya.
“Lebih baik kamu baca ini. Ini, akan menjelaskan semuanya. Catatan ini hasil penelitian Ketua kita nak. Coba baca, resapi ... kau akan mengerti bahwa itu adalah akibat dari kerja imperalisme, imperialisme Amerika !” Ia menyerahkan catatan itu kepadaku.
Aku sekilas membolak-balik catatannya. Tidak terlalu tebal. Sepertinya tidak akan terlalu lama menyelesaikannya, meski belum tentu menjawab keingintahuanku.
“Intinya, setelah 1948 kita hampir hancur ... hampir punah...kalau bukan ada kawan-kawan yang masih revolusioner, tentu kita akan sulit untuk bangkit lagi,” Pak Anwar mencoba meyakinkan.
Pembicaraan kemudian berlanjut, seputar partai, ideologi...hanya sedikit membahas pribadi. Sesuatu pembicaraan yang sesungguhnya aku harapkan keluar dari bibir Pak Anwar ....
................
Tengah malam aku terjaga. Hujan di luar deras sekali. Aku tidak bisa kembali tidur. Lamunan jauh ke belakang. Sejam kemudian hujan telah benar-benar berhenti. Aku berdiri, menengok ke jendela. Hari masih sangat gelap di subuh ini. Kata orang, langit saat subuh adalah langit yang paling gelap sebelum munculnya mentari pagi.
Dari langgar yang tak jauh dari rumah, sayup-sayup terdengar panggilan adzan. Satu persatu, suara itu berkumandang dari langgar-langgar yang lain. Suaranya saling bersahutan, ramai. Dari jendela kamar aku bisa melihat. Cahaya demi cahaya bermunculan dari rumah-rumah...mungkin mereka sedang bersiap sembahyang pikirku. Setelah lebih dari 8 tahun, aku tak hirau lagi dengan suara itu...kini suara itu seakan-akan hadir kembali ... aku lantas teringat ayah dan ibu ... yang kuingat, ketika sayup-sayup terdengar adzan, mereka begitu bergegas memenuhi panggilan-Nya.