Bab 4
Maryam
Aku menghampiri Goenawan di Stasiun. Rupanya ia sedang melayani pelanggan. Kemejanya yang kusut dan celana pendeknya yang gombrong tidak melenyapkan senyuman di wajahnya. Ia begitu cekatan. Mencelupkan sedikit cairan semir ke sikat, menyikatkannya. Terakhir, lap kusam yang mengalung di lehernya ia gosokkan pada sepatu itu hingga mengkilat. Demikian Ia lakukan berulang-ulang. Terkadang, lap yang sama ia usapkan ke mukanya. Aku kadang tertawa melihat mukanya hitam belepotan semir. Tak terasa, pekerjaan yang Goenawan lakukan sudah berlangsung bertahun-tahun.
Sambil menunggunya, aku bersandar ke tembok dan membuka buku “Das Kapital” yang aku ambil tadi pagi dari rak buku di rumah. Aku membuka-buka lembarannya, tidak dari awal, tapi sekenanya saja ....
Sesaat kemudian melintas seseorang. Tubuhnya semampai, dengan kerudung sederhana yang masih memperlihatkan rambutnya yang hitam. Persis seperti yang kulihat sebelumnya. “Mar ... Maryam” kataku dalam hati. Ya, Maryam berjalan bersama seseorang yang selama ini sering bersamanya. Mata kami bertatapan, ia menyunggingkan senyuman. Aku pun ikut tersenyum. Orang tua yang bersamanya melihatku. Buru-buru aku menunduk dan berusaha menutupi wajahku dengan buku.
“Tunggu sebentar, Abi ke loket beli tiket,” ujar Lelaki tua itu.
“Oh, Lelaki itu ayahnya, aku tidak salah kira,” pikirku.
Aku pikir ini saatnya. Bukan yang lain. Aku segera menghampirinya, mataku masih melirik kanan-kiri, seperti seorang pencopet. Aku takut ayahnya datang. Ia melihatku tergopoh-gopoh ... kepalanya tertunduk, tapi aku melihatnya tersenyum.
Kini aku hanya berjarak 5 meter darinya. Bibirku mulai bergerak, tapi suara tidak keluar juga. “Sialan” pikirku, “kenapa jadi gugup seperti ini.” Duh dasar pengecut !” Aku mencela diriku sendiri.
Tapi aku tetap berjalan mendekatinya. Dan kini aku sudah di hadapannya. Ia tertunduk malu, lalu aku sebagai lelaki berkata terlebih dahulu, “Aku sering melihatmu, namun aku tidak mengenalmu, perkenankan aku ...” tangan kananku bersiap. "Namaku Taufan ...” ujarku memantap-mantapkan diri.
Ia yang semula tertunduk mulai berani menatapku. Namun, ia tak ragu mengulurkan tangannya. “Maryam ... aku Maryam Siddiq.”
Tangannya begitu halus. Sebaliknya, entah, kenapa tanganku bergetar hebat. Tak bisa kuhentikan, duh malunya, pasti Maryam sudah menangkap kegugupanku.
Lalu aku mulai menyerocos, mencoba menutupinya ...”Dddi manakah kamu tinggal, lelaki itu ayahmu ? Ke mana ibumu ? Apakah kamu sekolah ?” tanyaku seperti rentetan peluru senapan mesin.
“Tenang Kang Fan, boleh aku memanggilmu begitu ?...Suaranya yang lembut mencoba menghentikan ketergesaanku. “Bisakah satu-persatu ?” ujarnya sambil tersenyum.
Aku gelagapan, bagai mobil yang berlari kencang, kemudian di rem tiba-tiba. “Oh, iyyy,...iya, iya ...” jawabku semakin gelagapan.
“Oh memang ... rumahku tidak jauh dari sini ... aku tinggal di Pasirkaliki." Giginya yang putih bak mutiara itu memukauku ....
"Duh, seumur ini, aku sudah memiliki perasaan itu" ujarku dalam hati.
“Hei ... kenapa jadi melamun Kang ?” kata-katanya menyadarkanku kembali.
“Aku ... Aku tidak jauh, tempat tinggalku tidak terlalu jauh darimu, Maryam, oh iya, yang barusan itu siapa, ayahmukah ?”
“Oh, itu ... ya itu Abiku ...”ujarnya
“Beberapa kali aku melihatmu, dengan Abimu itu ....”
“Ya Kang, Maryam selalu ikut Abi, apalagi kalau ada acara-acara partai” jawabnya sambil tersenyum.
“Bolehkah, Aku kapan-kapan main ke rumahmu, atau ke sekolahmu ..." ujarku sedikit memelas.
“Ya, kita lihat nanti, tapi apakah Kang Fan berani ? Mau datang ke rumah ?” katanya sambil mengernyitkan alis.
“Ya, ttttentu ... pasti harus berani.” Ayahku menamaiku Taufan, bukan angin sepoy-sepoy ... hehhe ...." Aku coba memberanikan diri ketika mengatakan hal itu, padahal hatiku ciut, ah, semoga Maryam ngga bisa melihat kegugupanku.
“Baiklah, Kang, itu ... Abi sepertinya sudah selesai, cepat kau pergi Kang Fan ... jangan lupa, Pasirkaliki 46” Maryam buru-buru menghampiri abinya.
Aku masih saja terpaku, melihatnya. Seorang gadis yang manis ujarku dalam hati. Ah, kau, seumur ini sudah jatuh hati saja ....
Sekelebat dalam pikiranku terbersit, bakal ada tembok tinggi dan tebal di antara kita jika ini dilanjutkan. Pertanyaannya, sanggupkah aku ?
Selepas Pemilu
Kata sebagian pengamat, yang ulasannya aku dengar dari Pak Anwar, Indonesia berhasil menyelenggarakan sebuah pemilu yang demokratis. Bayangkan, belum lama merdeka, bangsa ini bisa melaksanakan pemilu yang sukses, begitu kata mereka.
Dari 45 partai yang ikut, hanya sepuluh yang berhasil memperoleh kursi. Di antara sepuluh partai itu, muncul empat partai pemenang, yakni PNI dan Masyumi, masing-masing mendapat 57 kursi di parlemen, NU 45 kursi, dan PKI mendapat 39 kursi.
Sebagai partai yang beberapa tahun lalu diambang kehancuran, PKI sudah mendapat kepercayaan rakyat yang lumayan besar, begitu kata Pak Anwar kepadaku.
Hiruk pikuk politik ibarat cerita bersambung yang tak tamat selepas pemilu. Mr. Ali Sostroamidjojo menjabat sebagai Perdana Menteri. Kabinet Ali Sastroamidjojo II ini adalah gabungan dari PNI, Masyumi dan NU, minus PKI. Kudengar, kabinet ini jauh dari harapan Bung Karno. Bung Karno mau Mr. Ali membentuk kabinet 4 kaki, yang melibatkan semua partai pemenang pemilu kemarin, termasuk PKI di dalamnya.
Namun, penolakan datang dari partai-partai agama, seperti Masyumi, NU dan Partai Katolik. Mereka tidak mau bergabung dengan PKI. Mr. Ali kemudian menyiasati pembentukan kabinet dengan mengajak parta-partai kecil, tetapi tetap tanpa keikutsertaan PKI di dalamnya. Mengetahui hal ini, Bung Karno marah besar. Ia menyebut kabinet yang dibentuk adalah kabinet 3 kaki.
Selepas pemilu, pergolakan di daerah tak kunjung mereda. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau DI/TII masih merajalela. Sebuah pemberontakan yang cukup panjang, domotori sahabat Bung Karno semasa mondok di rumah H.O.S, Tjokroaminoto[1]. Begitulah yang dikatakan guru sejarahku di sekolah. Orang yang dimaksud adalah Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Pada mulanya DI/TII muncul di Jawa Barat, kemudian juga merembet ke Aceh dan Sulawesi Selatan.
Pemberontakan-pemberontakan itu muncul karena suara-suara ketidakpuasan dari daerah kepada pusat. Mereka merasa kue pembangunan terlalu Jawa sentris. Pimpinan-pimpinan tentara di daerah menjadi motor terbentuknya dewan-dewan. Mereka menamakan Dewan Banteng, Dewan Gajah, Dewan Garuda dan lainnya.
Di Sumatera Barat muncul Dewan Banteng yang dibentuk Letkol Achmad Husein pada tanggal 20–25 November 1956. Achmad Husein adalah Komandan Resimen Infanteri IV. Pada 22 Desember 1956 dibentuk pula Dewan Gajah di Medan oleh Kolonel Maludin Simbolon.