Bab 6
Bahagia ?
Senin, 17 Maret 1969, di kamarnya, seorang perempuan membuka sebuah buku kumal, di sana nampak tulisan huruf sambung, yang tintanya sudah abu-abu, tapi masih terbaca :
Siapa yang tak ingin bahagia ? Setiap orang mengejarnya, tapi tak setiap orang mendapatkannya. Itulah faktanya. Begitupula dengan Taufan. Kebahagian adalah tujuan hidupnya, karena di usianya yang menginjak 15, kebahagiaan tidak pernah menghampirinya. Paling tidak itulah yang dirasakannya.
Ada suatu titik dalam hidupnya bahwa ia berpikir bahwa dirinya tidak ditakdirkan bahagia. Ayah dan ibunya gugur di Rawagede. Taufan kecil diasuh Pak Anwar dan Bu Sari. Keduanya memerankan sosok ayah dan ibu, dan menyayangi Taufan dengan cara mereka sendiri. Tapi, ia pun harus kehilangan Pak Anwar, yang menjadi sandarannya. Kini, tinggal Ibu Sari, seorang Ibu rumah tangga biasa yang ekonomi sehari-harinya bergantung pada suaminya, Pak Anwar.
Taufan jarang menangis, atau bahkan tidak pernah menangis. Sudah banyak tangisan dalam hidupnya yang pahit. Praktis Ia kini hanya berdua, bersama Bu Sari. Tak ada kerabat lain. Bu Sari mencoba sebisa-bisanya. Hidup dari buruh jahit, Afan –panggilan sayang Bu Sari kepada anak angkat satu-satunya itu. Sekolah ? Ketika masih ada Pak Anwar sekolah tidak menjadi masalah. Pak Anwar dan Bu Sari bukan keluarga kaya, tapi mereka juga tidak kekurangan. Namun, sepeninggal Pak Anwar semuanya berbeda. Sesekali bantuan dari partai, atau kenalan-kenalan Pak Anwar berdatangan, tetapi tentu saja tak selamanya. Ada waktunya, ada batasnya, sampai semuanya itu berhenti sama sekali.
Tapi Bu Sari bersikeras agar Taufan tetap bersekolah, meski langit runtuh sekalipun. SPP Taufan dibayarkan dari buruh jahit yang tidak seberapa dan sering tersendat pembayarannya. Maklum, konsumen yang menjahitkan pakaiannya kepada Bu Sari tidak lain adalah para tetangganya yang kondisi ekonominya pun tidak lebih baik dari mereka
Seragam ? Untungnya, keahlian Bu Sari menjahit lumayan membantu. Ia bisa menjahitkan seragam Taufan dari potongan sisa-sisa kain orderan langganannya. Yang penting warnanya mirip, tak peduli bahannya berbeda dengan seragam teman sekolah Taufan lainnya. “Hanya pendidikan yang bisa menyelamatkan hidup kamu, Nak !” sahut Ibu Sari. “Semoga kamu sukses, sambil mengusap kepala Taufan dan mencium keningnya.”