KAU, AKU DAN GELORA REVOLUSI

Akhmad Faizal Reza
Chapter #9

Bab 7 Buku dan Lelaki Tua

Bab 7

Buku dan Lelaki Tua

Taufan mengerjakan pekerjaan apapun yang menghampirinya. Kerja keras bagai kuda kata orang-orang. Tak ada waktu untuk berleha-leha pikirnya. Ia harus mengejar kebahagiaan yang selama ini belum didapatnya. Satu-satunya hiburan sekaligus cara Taufan melarikan diri dari segala kerumitan hidupnya adalah buku. Ia tidak paham darimana datangnya kesukaan membaca buku. “Apakah ayahku gemar membaca buku ? Atau ibuku ? Atau malah mereka berdua, entahlah.” Taufan berbicara sendiri. Benak Taufan tidak mempunyai memori yang cukup banyak tentang kedua orang tuanya.

Untungnya, pustaka di rumah Pak Anwar lumayan banyak. Dia sudah bolak-balik membaca buku “Das Kapital"-nya Marx. Namun, tema-tema buku yang lain pun tak jauh dari itu. Seputar politik, ideologi. Taufan merasakan kejenuhan.

Yang pasti, Taufan merasakan dirinya sebagai penikmat buku, bahkan seperti sebutan orang-orang sekitarnya, Ia menjelma menjadi seorang kutu buku. Sementara teman-teman sebayanya asyik dengan permainan-permainan yang sifatnya olah fisik seperti sepak bola, bulu tangkis atau bahkan berlari sekuat tenaga sehabis mencopet dompet dari penumpang bus.

Taufan sering terlihat di sudut-sudut stasiun menghabiskan waktu dengan majalah dan buku-buku bekas. Kesukaan Taufan menjadi bahan cemoohan teman-temannya. “Ah, belagu, sekali miskin tetap miskin, buat apa baca gituan, ngga guna, ngga akan buat Elu jadi kaya juga, manfaatnya apaaa ?” teriak Damar sembari melemparkan buku yang sedang dibaca Taufan.

Taufan tak mengubris cemoohan Damar. Ia bergegas mengambil kembali buku itu, membersihkan debu yang menempel dan lanjut membaca. Bukan satu dua kali perbuatan semacam itu dilakukan. Tapi Taufan tidak bergeming. Ia melahap beragam buku bacaan. Bisa dikatakan Ia haus dan rakus. Perpustakaan tua di sudut kota menjadi tempat favoritnya. Begitu pula dengan tempat-tempat loakan buku. Seakan-akan di sana ia menemukan kebahagiaan yang selama ini ia cari.

Suatu siang dia bergegas menuju perpustakaan. Ia menaiki tangga ke lantai kedua tempat buku-buku umum berada. Ia melihat jam dinding bulat yang tertempel di tembok kusam perpustakaan. Kacanya sudah menguning, namun jarum jamnya masih terlihat dari jarak 5 meteran. Jam dinding itulah yang menemaninya selama berada di sana. Ia temannya yang dengan sukarela menunjukkan sisa waktu sebelum perpustakaan tersebut tutup setiap harinya. Jarum di jam tersebut menunjukkan hampir pukul 14.00. “Ah, aku hanya punya waktu dua jam lagi.” Fffuh, aku tadi terlalu asyik di stasiun” sesalnya.

Taufan lantas bolak-balik di antara rak-rak buku. Suatu ketika matanya tertumbuk pada sebuah buku tua. “Apaan ini ? Aku tak pernah menemukan ini sebelumnya” Gumamnya. Ia membuka-buka buku tersebut. Sampulnya sudah coklat, dan hampir tidak terbaca. Bukan buku lokal, tapi buku berbahasa Inggris. Tapi Taufan tidak terlalu sulit untuk mengerti bahasa asing satu ini. Interaksinya dengan dunia buku, membuatnya familiar dengan buku-buku berbahasa asing, khususnya Inggris. Perhatian Taufan tertambat pada sebuah kalimat, yang Ia coba terjemahkan sendiri :

“Bersikaplah seperti batu karang, yang tidak putus-putusnya dipukuli ombak. Tak saja Ia berdiri tegak, bahkan Ia menentramkan amarah ombak-ombak dan gelombang-gelombang itu.”

Sesaat, Ia mengulang kembali bacaannya. Ia seakan-akan baru saja menemukan harta karun. Kata-kata itu begitu menyengat dirinya. Ia seolah-olah meminjam kata-kata Bung Karno, "ter-elektrifikasi."

“Itu Meditasi, karya Marcus Aurelius” seseorang di sebelah Taufan berucap. Ia tak sadar, di sampingnya ada seorang lelaki dengan rambut yang sudah memutih di sana-sini. Rupa-rupanya lelaki tua tersebut sudah lama memperhatikan gerak-geriknya. Taufan agak sedikit terkejut, tapi lelaki tua itu malah melemparkan senyuman.

“Tenang anak muda, aku hanya mengomentari buku yang sedang kamu pegang, tak lebih !”

“Oh, ya Pak, maaf, aku engga melihat Bapak”

Lihat selengkapnya