Bab 8
Kaisar Filsuf
Taufan tergopoh-gopoh. Ia tidak ingin terlambat. Selepas sholat Zuhur, Ia bergegas ke perpustakaan tua itu. Ia masuk dan seolah sudah menjadi rutinitas, Ia menengok jam dinding tua, teman kesayangannya yang ia sapa Pak Kala. “Ah, 12.30, belum terlambat, terima kasih Pak Kala !” Ia segera naik dan menuju balkon seperti kemarin.
Di sana Pak Cipto sudah duduk, dengan sebatang rokok di tangan kanannya. Melihat Taufan, Ia segera matikan rokoknya. “Ayo duduk, kamu capek kan ?”
“Mari kita lanjutkan obrolan kemarin.”Pak Cipto mengeluarkan sebuah termos kecil. Ia mengeluarkan juga dua buah gelas alumunium kecil dari tas kulitnya. “Praktis dan ngga akan pecah !” ujarnya seakan menjawab keingintahuan Taufan.
“Eh, aku lupa tanya, kamu suka kopi ? Aku sudah bawakan dua gelas ?”
“Ehm, suka Pak.”
“Bapak sukanya kopi hitam dengan sedikit gula, engga terlalu manis”
“Baik, ini untukku, dan ini untuk kamu. Jangan takut, aku sudah minta izin penunggu perputakaan. Ngga apa-apa, kita kan ada di balkon, bukan benar-benar di dalam perpustakaan, yang penting kopinya jangan sampai numpahin buku!”
Taufan masih membolak-balik buku Meditations. Sementara Pak Cipto masih sibuk dengan gelas-gelasnya. Cairan hitam pekat meluncur ke dua buah gelas tersebut. Harum kopi menyeruak menusuk hidung Taufan. Pak Cipto meminggirkan gelas-gelas tersebut.
“Arabika, Saya lebih suka ini, ketimbang Robusta. Kafeinnya lebih rendah.”
“Okey, mari kita lanjutkan. Silakan seruput saja kopinya sambil kita ngobrol, tak perlu menunggu aba-aba.”
“Baik Pak,”jawab Taufan
“Nah, seperti yang aku bilang kemarin, buku yang kamu bolak-balik itu berusia hampir 2000 tahun. Maksudku, bukan cetakannya ya. Tapi ketika buku itu ditulis pertama kalinya.
“Dan penulisnya, mungkin tidak berpikir, dua ribu tahun ke depan tulisannya masih akan dibaca oleh banyak generasi. Karena buku itu lebih kepada catatan harian saja. Untuk konsumsi dirinya pribadi, tidak dimaksudkan untuk dibaca oleh orang lain. Yang menarik, penulisnya bukan orang sembarangan. Malah Ia orang spesial. Spesial karena tidak banyak, atau bahkan dikatakan langka orang yang berkedudukan sepertinya mengarang atau menulis buku semacam ini.”
“Mengapa langka ? Karena pengarang buku tersebut adalah seorang Kaisar. Kamu tahu Kaisar Fan ? Seorang Kaisar, raja diraja yang memerintah sebuah imperium yang sangat luas dan terkenal, yakni Imperium Romawi. Aku yakin kamu tahu, Kekaisaran Romawi adalah negara adidaya pada masanya.”
“Apakah aku perlu mengulang sampai awal mula kekaisaran Romawi berdiri, Nak ?”
“Oh, ngga usah Pak, aku juga pernah membaca sekilas tentang Romawi, aku pikir tidak perlu dari awal, hanya yang berkaitan dengan buku itu saja Pak” balas Taufan.
“Bagus, minimal engkau sudah memiliki pengetahuan tentang Romawi. Jadi, kita bisa fokus pada buku ini saja.”
“Pengarang atau penulis buku ini adalah Marcus Aurelius yang lahir pada 26 April 121 masehi di kota Roma. Namanya sendiri sesungguhnya cukup panjang, yaitu, Caesar Marcus Aurelius Antoninus Augustus. Ya, ia seorang Caesar atau Kaisar dalam bahasa kita. Pemimpin Romawi. Dia juga memiliki paman bernama Aurelius Antoninus yang juga menjadi Kaisar Romawi.”
Dengan demikian, Marcus berasal dari keluarga ningrat. Darah biru. Namun, semenjak muda Marcus dikenal sebagai seorang yang cerdas dan pekerja keras. Sifatnya inilah yang kemudian membuat Kaisar Hadrian tertarik kepadanya. Nah, bisa dikatakan, si Marcus semenjak muda sudah dipersiapkan menjadi penguasa Imperium Romawi berikutnya.”
“Singkat cerita, setelah Antoninus Pius meninggal pada tahun 161 masehi, si Marcus Aurelius naik takhta dan secara resmi dikenal sebagai Marcus Aurelius Antoninus Augustus.”
“Masa pemerintahan Marcus Aurelius penuh dengan tantangan. Pertama, silih bergantinya peperangan. Kedua, menyeruaknya wabah yang banyak merenggut warga Romawi. Untuk yang poin pertama, Marcus Aurelius terpaksa harus memerangi suku-suku yang hendak menyerang Roma.”
“Nah, kamu mungkin pernah membaca Julius Caesar. Salah seorang Kaisar Romawi yang terkenal karena strategi perangnya. Nah, sebaliknya, Marcus Aurelius tidak seperti pendahulunya. Ia tidak terkenal karena strategi perangnya. Tetapi ia dikenal sebagai Kaisar-filsuf karena pemerintahannya yang didorong oleh akal, ketimbang nafsu berkuasa !”
“Ia menulis buku harian yang merupakan catatan pemikirannya yang kelak diberi judul “Meditations.” Tulisan dalam buku ini ditulis pada tahun 171-175 selama masa kampanye militer Marcus di Eropa Tengah. Menariknya, meskipun sudah hampir dua millenium, namun karya dari Kaisar Marcus Aurelius ini masih banyak dibaca orang. Sesuatu yang mungkin tidak pernah terlintas dalam benak Marcus sendiri !”
“Coba kamu bayangkan, pemikiran seseorang nun jauh 2000 tahun lalu masih dipakai sebagai petunjuk yang relevan untuk menjawab persoalan-persoalan masa kini !”
“Aku baru tahu, ada tulisan atau karya seseorang yang masih dibaca setelah orang tersebut berlalu ribuan tahun lalu. Aku pikir, hanya kitab suci agama yang dapat berbuat seperti itu” timpal Taufan.
“Bagus, kamu sudah bisa menganalisis. Tapi, pada kenyatannya, tidak hanya kitab suci agama yang bisa berbuat demikian. Karya-karya filsuf seperti Plato, Aristoteles dan lainnya masih dinikmati orang-orang hingga hari ini,” intinya, tidak perlu menjadi nabi atau rasul agar karya-karyamu dibaca orang.”
“Lalu, apa yang menarik dari karya Kaisar Marcus Aurelius tersebut Pak ? Aku kemarin belum selesai membacanya, baru hanya membolak-balik saja halamannya” tanya Taufan.
“Tentang kehidupan, tentang pengendalian diri, tentang kebahagiaan. Jadi, sama seperti kita, ternyata seorang kaisar pun merasakan hal-hal yang sama, seperti kau dan aku.”
“Aku tantang kamu untuk menyelesaikan buku tersebut, namun aku akan mengutarakan poin-poin menarik yang disampaikan Marcus Aurelius. Mudah-mudahan ini berguna juga buat kamu dalam mengarungi hidup ini.”
"Baik Pak, aku janji akan menamatkan buku ini sampai tuntas ! Tapi, ya, aku juga ingin tahu pesan atau nasihat Marcus Aurelius di dalam catatan hariannya itu Pak" ujar Taufan.
“Ok, pesan atau nasihat pertama Marcus Aurelius untuk kamu adalah”
“Tidak pernah berhenti membuat aku takjub: kita semua lebih mencintai diri sendiri daripada orang lain, tetapi lebih memedulikan pendapat mereka daripada pendapat kita sendiri.”
“Artinya, kita sering dibisingkan dengan pendapat orang-orang. Setiap hari orang-orang bercuap-cuap, dan mereka memang gampang menjadi komentator bagi hidup orang lain, tetapi tidak dengan hidup mereka sendiri.
“Jadi, saranku adalah, yang tentu saja sesuai dengan pesan dari Marcus, jangan terlalu mendengar apa kata orang. Jadilah dirimu sendiri. Jangan biarkan kamu diombang-ambing oleh pendapat orang tentang kamu. Taufan adalah sosok yang percaya diri. Saran atau pendapat orang tentang Taufan bisa jadi bagus untuk pertumbuhanmu, tapi seringkali tidak terlalu mendengar apa yang mereka katakan jauh lebih bagus !"
“Aku ingin cerita sedikit lagi” ujar Pak Cipto
“Dahulu aku adalah orang yang gampang tersinggung. Disentil sedikit saja sakit rasanya. Akibatnya, aku takut melakukan kesalahan di mata orang lain. Sesuatunya harus berjalan sesuai rencana, semuanya harus lancar, sukses, dan memuaskan, sehingga tidak ada celah bagi orang lain untuk menghinaku. Maka, begitu ada seseorang yang melontarkan cacian, atau bahkan kritikan sekecil apapun akan menempel dan membekas di benakku."
"Dengan kata lain, ada fase dalam hidupku yang “anti kritik.” Dalam berorganisasi di masa aku duduk di perguruan tinggi, aktivitas di luar perkuliahan hingga dunia kerja, aku selalu berkoar-koar ngomong bahwa aku menerima masukan dan kritik. Namun, dalam hati kecilku, aku selalu merasa tersakiti atau menyimpan rasa kesal kepada orang-orang yang berani-beraninya mengkritikku. “Siapa pula mereka!” begitu yang terlintas dalam benakku yang pongah. Sampai tiba pada satu titik, aku lelah untuk selalu mengharapkan apreasiasi dari orang lain. Seakan-akan kebahagiaanku tergantung pada “approval” orang lain."
"Di titik ini, aku mulai menumbuhkan sikap cuek dan masa bodoh. Di sini bukan berarti aku tidak bertanggung jawab dengan tugas dan peran yang sudah diamanatkan. Bukan begitu. Yang aku maksud, aku tidak lagi mendengar, apakah itu pujian, kritikan, atau bahkan hinaan sekalipun. Tentu saja, sikap ini tidak datang ujug-ujug. Semuanya berproses. Di sana-sini masih ada rasa sakit hati yang diakibatkan perkataan-perkataan yang dilontarkan kolega, teman, atau bos. Namun, lambat-laun, aku mulai kebal dan imun terhadap hal-hal demikian.”
“Dus, ketika ada orang yang mengejek hidupmu, menjelek-jelekkan orang tuamu, merendahkan pencaharianmu, jangan pedulikan semua itu. Jangan sampai opini atau pendapat orang lain membuatmu sedih, Fan !"
“Kedengarannya mudah Pak, tapi aku selalu dibuat sedih oleh pendapat orang lain tentang diriku. Banyak orang mengejekku, karena aku praktis tidak punya apa-apa dalam hidup ini,” suara Taufan terdengar lirih.