Bab 9
Bermula dari Zeno
"Bukan hal atau peristiwa tertentu yang meresahkan kita, tapi persepsi kita akan peristiwa tersebut" (Epictetus)
Sejak pagi buta Taufan sudah di stasiun. Menunggu calon penumpang kereta berdatangan. Berharap ada tas atau barang yang bisa ia bawakan, untuk sekedar mendapatkan beberapa lembar rupiah. Soal besaran rupiah yang ia dapatkan, semuanya tergantung calon penumpang. Ada yang pemurah, ada yang pelit, bahkan tak jarang Taufan mendapatkan konsumen yang hanya berkata “terima kasih ya, nak !”
Ia tak sendirian. Banyak sebayanya, atau malah yang lebih tua mengadu nasib yang sama sebagai porter. Maka sejak pagi buta pula ia mengenal kata “persaingan.” Tubuhnya yang kurus sering terbanting dalam persaingan itu. Tapi, ia tak kalah. Malah gerakannya gesit dibanding yang lain, sehingga Taufan bisa mendapatkan dua hingga tiga bawaan calon penumpang.
Selepas menjadi porter, ketika matahari masih enggan menampakkan dirinya, ia menjadi loper. Ia jajakan berbagai macam koran, dan majalah. Pekerjaan tersebut tidak banyak menyumbangkan rupiah ke kantongnya. Tidak banyak yang membeli atau membaca barang-barang cetakan tersebut.
Pekerjaan tersebut tidak lama ia lakukan, ia mengembalikan koran dan majalah yang tersisa ke penjualnya. Lalu, ia mengambil kotak kesayangannya. Kotak kecil berwarna coklat, dengan karet dari tali ban tersebut telah menemaninya beberapa tahun ini. Isinya adalah sikat yang sudah agak gundul, krim sepatu hitam, krim sepatu coklat dan lap. Sementara ia menjadi porter dan loper, kotak tersebut ia titipkan kepada penjaga toilet stasiun, Pak Amir.
Jika tak ada satupun sepatu atau tas kulit yang disemir hari itu, Pak Amir membolehkan Taufan membantunya membersihkan toilet. Untuk pekerjaan itu, Pak Amir menyelipkan imbalan 100 rupiah ke saku Taufan.
Terkadang pekerjaan di terminal atau stasiun ia lakukan bersama sahabat satu-satunya, Goenawan. Namun, seringkali ia lakukan sendirian. Karena Goenawan sendiri masih bolak-balik ke kantor partai. Ia mendapatkan jatah sembako dari sana. Sementara, Taufan, selepas kepergian Pak Anwar dan Bu Sari, sudah tidak pernah lagi menginjakan kakinya di kantor partai. Awalnya, banyak yang menanyakan keberadaan Taufan. Maklum, semasa Pak Anwar hidup, Taufan layaknya bayangan Pak Anwar, tidak pernah lepas darinya. Tetapi, perlahan pertanyaan-pertanyaan itu surut sendiri, Taufan sudah menjadi “liyan”[1] bagi mereka.
Ketika semua aktivitas sudah dilakukan, Taufan mengaso sejenak di musala stasiun. Ia mengambil air wudhu dan melaksanakan sembahyang duha dua rakaat. Ini pun perubahan dalam diri Taufan. Aktivitas sembahyang mengingatkan Taufan akan ibu-bapaknya. Ia tak hapal gerakannya, tanpa guru siapapun, ia otodidak, belajar sendiri melihat orang-orang yang sedang bersembahyang di musala atau masjid yang ia kunjungi.
Ia kemudian menyelonjorkan kakinya membelakangi kiblat. Pernah, suatu ketika ia masih tidak mengerti, seorang imam menghampirinya dan menegur Taufan agar jangan menyelonjorkan kakinya ke arah kiblat. Tidak sopan, tidak menghormati rumah Allah, rumah Tuhan katanya.
Pada jam-jam pagi, tidak banyak orang yang berkunjung ke musala. Di sudut hanya terlihat si komeng, begitu orang memanggilnya, kucing kampung warna kuning yang memang selalu tidur di sudut, dekat kotak sumbangan. Taufan menghitung pendapatannya hari itu. Ia berusaha tidak mengeluh, apapun yang ia dapatkan semestinya patut disyukuri. Taufan mengingat perkataan Pak Cipto kemarinnya. Ia pun segera mengeluarkan buku Meditations dari tas kanvasnya. Ia kembali tenggelam dalam bacaannya. Taufan menemukan kutipan yang menarik,
“Aku harus pergi bekerja - sebagai manusia. Apa yang harus aku keluhkan, jika aku harus melakukan apa yang ditakdirkan ketika aku dilahirkan - melakukan hal-hal yang harus aku lakukan? Atau untuk apa aku diciptakan? Meringkuk di bawah selimut dan berlindung dikehangatannya?”
Sepagi ini, Taufan sudah mendapat petuah yang berharga dari Sang Kaisar Filsuf. Ia merasa beruntung menemukan buku itu, dan ia pun merasa beruntung bertemu dengan Pak Cipto.
Setelah ototnya dirasa mengendur, dan kepalanya terasa ringan, Taufan bergegas keluar dari musala. Ia mencoba peruntungan lain dengan melihat keadaan sekeliling stasiun. Ia mempercayai prinsip bahwa selalu ada kesempatan bagi yang terus mencoba. Baru saja keluar, Taufan berpapasan dengan Damar dan kawan-kawannya. “Wah, gawat” Bibir Taufan spontan mengatakannya.
“Elu, ngapain di sini ? Habis baca buku ya ? Buku yang tak berguna itu” tanya Damar ketus.
Kata-kata Damar terasa seperti sengatan. Taufan mencoba membalas kata-katanya, namun ia urungkan. Sepertinya Taufan tidak ingin memulai adu mulut dan gara-gara.
“Memang nyatanya begitu kan, elu, aja yang sok-sokan, udah tau ngga berguna, masih saja lu baca-baca buku segala, pinter kagak !” cerocos Damar semakin kurang ajar.
Sekuat-kuatnya Taufan menahan emosi, darahnya mendidih juga. Tapi sebelum bertindak lebih jauh, ia ingat kutipan di buku Meditations yang barusan ia baca,
“Di setiap saat engkau bangun tidur setiap pagi, katakan ini kepada dirimu sendiri: orang-orang yang saya hadapi hari ini adalah orang yang akan mencampuri urusan orang lain, tidak mampu berterima kasih, arogan, tidak jujur, dipenuhi iri hati dan bermuka masam. Mereka menjadi seperti itu karena mereka tidak mampu membedakan mana hal baik dan buruk. Namun aku telah melihat indahnya kebaikan, begitu juga keburukan dari kejahatan, karena itu aku menyadari bahwa mereka yang bertingkah laku salah memiliki kesamaan alami seperti yang saya miliki – bukan berdasarkan darah atau keturunan, namun karena pikiran yang sama denganku. Karena itu tidak ada seorangpun dari mereka yang mampu menyakitiku. Tidak ada yang bisa meniru keburukanku, begitu juga aku tidak akan mampu merasa marah atau benci kepada kerabatku. Karena kita semua terlahir untuk bekerja bersama bagaikan kaki, tangan dan mata, bagaikan dua baris gigi yang berada di atas dan di bawah mulut kita. Sehingga bukan sifat alami kita apabila kita mengganggu satu sama lain. Begitu juga apabila kita meluapkan amarah kepada orang lain, atau membuang muka di hadapannya; perilaku ini bukanlah perilaku alami kita.”
Ia mengurungkan niatnya beradu mulut dengan Damar. Ia menyingkir dengan segera, meninggalkan Damar dan kawan-kawannya yang berniat memperpanjang masalah. Jam di stasiun menunjukkan pukul 11 lewat 5 menit, ia bergegas menuju perpustakaan menemui Pak Cipto
Setelah sholat zuhur di musala perpustakaan, Taufan bergegas menuju balkon. Ia sudah lupa dengan cacian Damar barusan. Untuk pertama kalinya ia merasa bisa menahan emosi. Ada yang berubah pikirnya. Dulu Taufan merasa mudah menumpahkan amarah kepada siapapun yang menyinggungnya. Ia tak segan menantang mereka yang menyakiti hatinya.
Di balkon, Pak Cipto sudah terlihat. Ia sedang membolak-balikkan sebuah buku. Di meja, termos dan dua buah gelas telah tersedia. “Ah, Ia menungguku,” gumam Taufan.
“Selamat siang Pak,” Taufan menyodorkan tangannya kepada Pak Cipto.
“Mari, silakan duduk, syukurlah, kamu datang tidak terlalu siang, ada banyak yang harus kita bicarakan,” sudah makan ?”
“Sudah Pak” jawab Taufan lugas, meski dalam kenyataannya, perutnya berontak, ia hanya sarapan gorengan tadi pagi. Belum ada sesuatu apapun yang dimasukkan ke perutnya siang ini. Gara-gara Damar, ia harus cepat-cepat menyingkir dari stasiun.
“Aku bawa sedikit bekal, selain kopi tentunya.”
Pak Cipto mengeluarkan sebuah plastik kresek dari dalam tasnya. Dari plastik hitam tersebut, keluarlah dua buah roti yang ukurannya cukup besar.
“Nah, yang satu rasa coklat, satu lagi rasa susu, silakan pilih, terserah kamu Fan !”
“Siap, Pak, terima kasih sebelumnya, jangan sampai merepotkan.” Taufan bersyukur, Pak Cipto sepertinya sudah menduga bahwa ia belum makan siang.
“Ah, engga, tidak merepotkan sama sekali.” Tentu, perut harus diisi, Nak, jangan otak saja. Bapak akan bawa makanan, apapun yang ada, selain tentunya kopi.”
“Yu, sekarang kita mulai pembahasannya. Ngomong-ngomong, aku bawa sebuah buku menarik, buku yang aku bawa ini tidak akan kamu temukan di sini, di perpustakaan. Ini buku koleksiku, kamu dapat meminjamnya.”
Pak Cipto memperlihatkan sebuah buku, yang tidak terlalu tebal. Seperti biasa, bukan buku terjemahan, tapi buku yang berbahasa Inggris. Di sampulnya tertera “Discourse by Epictetus”
“Tapi sebelum ini aku berikan kepadamu, aku ingin jelaskan terlebih dahulu. Balik lagi ke soal yang aku bilang kemarin, Marcus Aurelius, yang bukunya kamu pegang itu, dia bukan orang pertama yang mencetuskan filsafat yang dijalaninya”
“Pernah dengar stoicism ? Terjemahan Indonesianya apa ya ? Stoikisme mungkin ?”
“Belum pernah, Pak !” tegas Taufan.
“Nah, jadi, Marcus Aurelius hanyalah pengikut. Penemu filsafat stoikisme yang sesungguhnya adalah Zeno.”
“Biarkan, aku mendongeng sebentar ....”
“Mari kita kembali ke masa yang cukup jauh ke belakang. Ceritanya berkisar 2200 hingga 2300 tahun lalu. Adalah Zeno seorang saudagar kaya raya. Suatu hari dia berdagang dari kotanya di Citium ke Athena, Yunani. Di tengah perjalanan tiba-tiba kapalnya karam, untungnya nyawa Zeno dapat terselamatkan, namun semua harta kekayaanya punah dan musnah ditelan gelombang air laut yang ganas.”
“Bisa kamu bayangkan, bagaimana perasaanmu jika kamu senasib seperti Zeno ? Dari saudagar yang kaya raya, tiba-tiba roda nasib berputar 180 derajat ? Ia jatuh miskin dan tidak punya apa-apa ? Bagaimana kamu menghadapi perubahan drastis tersebut secara tiba-tiba ?”
Taufan tampak serius mendengarkan cerita dari Pak Cipto.
“Apa yang terjadi pada Zeno sesungguhnya dapat terjadi pada siapapun di dunia ini. Mungkin, kamu juga pernah membaca riwayat Nabi Ayub ? Hidupnya serba berkelimpahan. Kaya raya, ternaknya ribuan, kebunnya luas dan subur, serta memiliki istri yang cantik dan anak-anak yang sehat."
“Disebutkan dalam sebuah riwayat, Ayub memiliki 12 orang anak laki-laki. Namun, dengan semua yang dimiliki Ayub, hidupnya berubah dalam 3 hari saja. Hari pertama, dari tubuh Ayub muncul penyakit kulit yang menjijikan. Nanah dan bau busuk menyebar ke mana-mana. Berita tentang kondisi Ayub ini pun tersebar ke seluruh negeri, sehingga seluruh negeri tahu bahwa penyakitnya menular.”
“Di hari kedua, ketika istrinya menghidangkan makanan untuk ke-12 anaknya, atap rumahnya runtuh dan menimpa mereka. Tidak ada yang bisa diselamatkan, semuanya meninggal.”
“Hari ketiga, badai dan hama menimpa tempat tinggal Ayub. Semua ternaknya yang gemuk-gemuk mati seketika, begitu pula dengan kebunnya yang luas, semuanya hancur. Penderitaan yang dialami Ayub dan istrinya berjalan hingga 18 tahun lamanya.”
“Bagaimana sikap Ayub dengan semua perubahan yang drastis seperti itu ? Menurut kitab suci, Ayub adalah abdi yang taat kepada Tuhannya. Apa yang dia alami diterimanya sebagai cobaan. Yang menarik diceritakan, suatu hari, istri Nabi Ayub berkata kepada suaminya,
“Wahai Nabi Allah, sudah 18 tahun engkau tidak berdakwah. Bagaimana jika engkau memohon kepada Allah untuk disembuhkan penyakit ini. Itu saja. Cukup kesembuhan engkau, lalu engkau bisa pergi berdakwah lagi.”
Lalu Nabi Ayub menjawab,
“Wahai istriku berapa lama dulu kita dalam keadaan nikmat?”
Istrinya menjawab,