KAU, AKU DAN GELORA REVOLUSI

Akhmad Faizal Reza
Chapter #12

Bab 10 Eva Jannatun Nisa

Bab 10

Eva Jannatun Nisa

"Tes emas dengan api, wanita dengan emas, pria dengan wanita." Seneca

Seperti biasa, setiap pagi Taufan sudah ngos-ngosan. Ia berlomba dengan Sang Mentari. Menurutnya, disitulah pencarian rezekinya dimulai. Telat bangun atau terlambat sedikit saja, sudah bisa ditebak, rezeki sepanjang hari itu akan seret. Namun, hari ini sungguh berbeda, mentari seakan malas bangkit dari peraduannya.

Langit nampak putih, dan sebentar saja menggelap. “Tes ... tes,” suara air berjatuhan menimpa atap seng. “Sial, pagi-pagi udah hujan lagi !” gerutu Taufan.

“Duh, bagaimana aku jualan koran ? Pastinya basah kuyup semua, siapa yang mau beli ?" Sesekali ia menatap langit, berharap sesuatu yang mustahil, "cepatlah reda, Tuhan !” ujar Taufan.

Dan hujan tidak mau mengikuti kemauan Taufan, yang ada malah makin deras.

Taufan segera mencari pojokan di mana Ia dapat berteduh dari hujan. Dalam pikirannya terbersit, “Ah, apa yang telah aku lakukan. Aku mengutuki hujan. aku mengutuki rezeki yang mungkin seret hari ini. Padahal, keduanya di luar jangkauanku. Keduanya adalah hal-hal yang tidak dapat aku kendalikan. Bukankah demikian nasihat dari Epictetus ? Lalu buat apa aku sudah dongkol sepagi ini ! ”

Dengan pemikiran seperti itu, Taufan masih merasa masygul. “Benarlah kata Pak Cipto kemarin, meski aku sudah sedikit mengerti perkataan Epictetus, Seneca atau Marcus Aurelius, tak lantas kejengkelan dalam hati ini menghilang begitu saja. Di sinilah peran emosi. Karena manusia adalah makhluk yang mengandalkan emosinya !”

“Aku harus terus berlatih. Berlatih sepanjang hayat dikandung badan. Paling tidak aku harus menyadari apa saja hal-hal yang berada di luar kendaliku”

Taufan tidak hendak berteduh berlama-lama. Ia harus menjemput sendiri rezekinya, tak peduli apapun, apalagi cuma sekedar hujan. Ia mencabut daun pisang yang kebetulan ia lihat. Daun pisang itu lumayan besar ukurannya, sehingga bisa dimanfaatkannya sebagai payung.

Dengan tergopoh-gopoh, Ia tiba di stasiun. Kereta telah berangkat, Ia ketinggalan rezeki pertamanya hari itu sebagai porter. Hujan pun masih tak mau berhenti, agen loper koran tak mau memberikan koran dan majalah kepadanya.”Bah, nanti basah kuyup, koranku tak laku nanti !” ujar Pak Saragih dengan logat Bataknya yang kental. Lenyap sudah rezekinya yang kedua. Sepagi itu dia sudah kehilangan dua rezeki.

Taufan kemudian buru-buru menuju Pak Amir. Ia mengambil kotak kesayangannya. Ia mangeluarkan perlengkapan ‘perangnya’, yakni semir, sikat dan lap. Dua jam kemudian, ia dengan lesu menghampiri Pak Amir. “Tidak ada satupun !” ucap Taufan kesal.

“Jangan bilang tidak ada, tapi belum ada” Pak Amir menyela.

“Ya, mungkin belum” Taufan mengusap wajahnya yang basah karena keringat dan hujan.

“Jangan menyalahkan hujan. Sekali-kali jangan. Itu sudah di luar daya upayamu, itu kehendak Gusti Allah”

Pak Amir mungkin tidak tahu Stoikisme, tidak tahu Epictetus, namun melalui kata-kata Pak Amir, Taufan seakan-akan diingatkan akan ajaran Epictetus. “Ya, aku berusaha tidak menyalahkan siapa-siapa Pak,” Taufan berusaha tersenyum.

“Nah, gitu dong, nih !” Pak Amir menyerahkan sapu dan lap pel. Taufan paham apa yang harus dilakukannya. “Ah, ini rezekiku !” sambut Taufan

Tak terasa waktu jam di stasiun sudah menunjukkan pukul 10.15 “Ngga lama lagi aku akan ketemu Pak Cipto, aku sudah ngga sabar mendapatkan ilmu baru darinya,” Taufan ngomong sendiri.

Dia bergegas menuju musala. Masih ada waktu untuk sholat Dhuha pikirnya, sembari mengaso sebentar. Begitu tiba di Musala, matanya tertumbu pada seseorang. Wajahnya tertunduk ke bawah. Ia sedang memasangkan kaus kaki. Sepintas, Taufan melihat telapak kakinya yang kuning langsat sebelum tertutupi oleh kaus kaki berwarna krem.

Taufan terpaku. Wajah gadis itu mendongak, dan tertumbu pada lelaki muda yang sedang terpana melihatnya. Ia merasakan dejavu, beberapa tahun lalu bertemu sosok Maryam. Kini di hadapannya, nampak seseorang yang serupa tapi tak sama, dengan kecantikan masing-masing.

Kulit wajahnya kuning langsat dengan hidung mancung dan bibirnya yang berwarna merah muda, dengan pulasan lipstik yang tipis saja. Rambutnya ? Tertutupi kerudung. Yang istimewa adalah bola matanya yang besar dengan alis tebal bagaikan semut beriringan. Taufan merasakan tatapan mata tersebut menusuk langsung ke jantung hatinya.

Gadis tersebut berdiri. Ia cukup tinggi untuk seorang gadis seusianya, pikir Taufan. Ia mengambil tas, dan menyelendangkan pada pundaknya. Tatapan matanya masih bertumbukkan dengan mata Taufan.

Tiba-tiba, senyuman tersungging di bibirnya. Taufan tidak bisa bergerak sedikitpun, seakan ada belenggu besar pada kakinya. Taufan hanya berdiri sampai si gadis kemudian mengucapkan sesuatu, “Permisi, Kang, saya duluan !”

Seumur hidup Taufan baru dua kali menemukan manusia cantik seperti ini. Maryam, dan kini, entah siapa ... dan barusan Ia lewat di hadapannya.

Lihat selengkapnya