Bab 12
Diselimuti Kekecewaan
“Maaf Pak, jika pertanyaanku kali ini kedengarannya konyol,” ujar Taufan sambil menghela nafas.
“Tidak ada pertanyaan konyol. Yang konyol justru yang tidak bertanya,” ungkap Pak Cipto.
“Utarakan saja, aku tak akan menilai kamu berdasarkan pertanyaan kamu,” tambahnya.
“Mengapa begitu banyak kekecewaan dalam hidup ini?" tanya Taufan
“Hmmm, apa yang kau tanyakan tentu bukan pertanyaan konyol. Itulah pertanyaan yang banyak diajukan umat manusia di muka bumi ini. Mungkin, sebuah pertanyaan purba, pertanyaan yang diajukan di setiap zaman,” jawab Pak Cipto
“Aku akan coba menjawabnya dari sudut pandangku, mudah-mudahan bisa menjawab pertanyaanmu, Nak.”
“Begini. Mengkhayalkan sebuah hidup tanpa masalah adalah masalah itu sendiri. Dengan kata lain, jangan pernah berpikir bahwa ada manusia yang hidupnya tidak pernah diterpa persoalan atau masalah. Tidak seorang pun ! Jika membaca biografi tokoh-tokoh besar atau bahkan orang-orang suci, kamu bakalan kecewa bahwa tak satupun dari mereka yang luput dari masalah dan kekecewaan.”
“Sederhananya gini, Fan. Mencuatnya perasaan kecewa disebabkan karena perbedaan antara apa yang diharapkan atau apa yang diinginkan dengan kondisi sesungguhnya. Ada gap atau jarak antara harapan dan kenyataan. Kekecewaan muncul dalam keseharian kita, ya itu tadi, karena kita tidak selalu berhasil memecahkan persoalan atau masalah yang datang menghampiri.”
“Ini bukan perkara siap atau tidak siap, suka atau tidak suka. Kecewa adalah kenyataan yang tidak bisa kita hindarkan. Mengharapkan hidup tanpa ada kekecewaan di dalamnya adalah sebuah ilusi. Bahkan kita harus mempersiapkan kekecewaan yang terburuk sekalipun, "what's the worst that could happen?"
“Di sini, aku akan perkenalkan tentang konsep premeditatio malorum. Ini istilah berasal dari Yunani dan Romwawi kuno, yang artinya berlatih menderita. Sebuah konsep yang menyiapkan kita pada kondisi terburuk. Filsuf stoik, Seneca yang pernah kita bahas sebelumnya pernah menulis begini, “Jika suatu musibah telah diperkirakan sebelumnya, maka efeknya akan terasa lebih ringan. Manusia akan mampu bertahan dengan keberanian yang lebih besar, ketika sudah terbiasa dengan peristiwa tersebut. Oleh karenanya manusia bijak akan selalu membiasakan dirinya dengan masalah yang mungkin akan datang. Terkadang kita mendengar orang berkata: “Saya tahu hal ini akan terjadi pada saya.” Akan tetapi orang bijak tahu bahwa semua hal bisa terjadi padanya. Sehingga untuk tiap kejadian dia berkata: “Saya tahu ini akan terjadi” kata SENECA, dalam Letter to Lucilius.